Abstark
Negara adalah entitas politik dan teritorial yang memiliki pemerintahan sendiri, penduduk, dan kedaulatan. Pemerintahan suatu negara dapat berbentuk monarki, republik, atau bentuk lainnya, tergantung pada sistem politik dan konstitusi negara. Di Indonesia pemberian grasi hanya berhak dilakukan oleh seorang presiden sebagai hak prerogatif yang dimilikinya dengan melalui pertimbangan Mahkamah Agung (MA). Sedangkan Amerika Serikat yang melakukan pemberian grasi melalui Presiden (pada tingkat federal) atau Gubernur (pada tingkat negara bagian) yang dibantu melalui Pardon Attorney. Dan Inggris yang melakukan pemberian grasi yaitu melalui Ratu atau Raja atas saran dari Menteri Kehakiman atau Dewan Grasi. Penelitian ini merupakan penelitian hukum dengan pendekatan pendekatan yuridis normatif, suatu penelitian yang menekankan pada sistem hukum dan sistem pemerintahan suatu negara terkhususnya penerapan pemberian grasi di Indonesia, Amerika Serikat, dan Inggris.
Kata kunci:
Negara, grasi, terpidana.
I. PENDAHULUAN
Negara adalah entitas politik dan teritorial yang memiliki pemerintahan sendiri, penduduk, dan kedaulatan. Negara memiliki otoritas pemerintahan yang bertanggung jawab atas pengambilan keputusan, pelaksanaan hukum, dan penyediaan layanan kepada penduduknya (Marzuki, 2012:24). Pemerintahan ini dapat berbentuk monarki, republik, atau bentuk lainnya, tergantung pada sistem politik dan konstitusi negara. Negara juga memiliki kedaulatan yang merujuk pada kekuasaan dan kontrol penuh negara atas wilayahnya, pemerintahannya, dan keputusan-keputusan yang diambil di dalamnya. Kedaulatan dapat diinternalisasikan atau dibagi-bagi, tergantung pada sistem politik dan hubungan internasional (Muladi, 2019:67). Serta Negara juga memiliki sistem hukum yang mengatur perilaku individu dan institusi di dalamnya. Hukum ini dapat mencakup konstitusi, peraturan, dan norma-norma hukum lainnya. Kewarganegaraan adalah hubungan hukum antara individu dan negara yang memberikan hak dan kewajiban tertentu.
Seperti negara Indonesia yang menganut sistem pemerintahan republik dan juga sistem hukum Eropa Kontinental (Civil Law), sebagaimana dalam sistem pemerintahan republik akan dipimpin oleh seorang kepala negara yang disebut dengan Presiden dan sistem hukum Eropa Kontinental akan lebih mengutamakan rechtsstaat atau negara hukum yang memiliki berkarakter administratif dan menganggap hukum itu tertulis. Artinya, kebenaran hukum dan keadilan terletak pada ketentuan yang tertulis (Agus, 2016:74).
Namun disamping itu masih terdapat berbagai jenis sistem pemerintahan dan sistem hukum lainnya yang dianut oleh beberapa negara lain, seperti negara Amerika Serikat dan juga Inggris. Sebagaimana pada dasarnya Amerika dan Indonesia sama-sama menganut sitem pemerintahan republik yang dipimpin oleh seoerang presiden sebagai kepala negara, namun pada sistem hukum Amerika berbeda dengan Indonesia hal ini dikarenakan Amerika manganut sistem hukum Anglo Saxon (Common Law). Sedangkan, Inggris menganut sistem pemerintah Parlementer Konstitusional yang merupakan bagian dari Monarki Konstitusional yang berbeda dengan sistem pemerintahan Indonesia, namun Inggris menganut sistem hukum yang sama dengan Amerika yaitu sistem hukum Anglo Saxon (Common Law).
Dari adanya perbedaan tersebut nyatanya masih terdapat adanya persamaan antara sistem pemerintahan dan juga sistem hukum yang dianut, hal inilah yang membuat beberapa negara seperti Indonesia, Amerika Serikat dan juga Inggris masih memiliki kesamaan dalam sistem pemerintahan dan juga sistem hukum. Namun dari adanya perbedaan dan persamaan sistem tersebut, terdapat kesamaan yang sama-sama dimiliki dan juga diterapkan oleh ketiga negara tersebut yaitu berlakunya pemberian grasi kepada terpidana yang dilakukan oleh pemimpin negara. Dengan melihat adanya suatu perbedaan dan juga persamaan dalam sistem pemerintahan dan sistem hukum, terkhususnya dalam penerapan grasi di negara Indonesia, Amerika Serikat, dan Inggris, maka penelitian ini dilakukan untuk menindak lanjuti pengkajian lebih lanjut. Berdasarkan uraian di atas, terdapat dua kajian delik yang akan di kaji dalam penelitian ini:
- Bagaimanakah perbedaan penerapan grasi antara Indonesia, dengan Amerika dan juga Inggris ?
- Bagaimanakah persamaan penerapan grasi antara Indonesia, dengan Amerika dan juga Inggris ?
Secara umum penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana perbedaan dan juga persamaan dalam sistem pemerintahan dan sistem hukum, terkhususnya dalam penerapan grasi antara Indonesia, dengan Amerika Serikat, dan Inggris.
II. METODE PENELITIAN
Metode penelitan yang digunakan dalam kajian ini adalah penelitian normatif. Sesuai dengan metode penelitian hukum yang digunakan, pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif, suatu penelitian yang menekankan pada ilmu hukum dan menelaah kaidah-kaidah yang berkaitan dengan sistem hukum dalam pemberian grasi antara Indonesia, dengan Amerika Serikat, dan Inggris. Sumber bahan hukum yang digunakan oleh penulis untuk menunjang hasil penelitian ini adalah: pertama, bahan hukum hukum primer, yang diperoleh melalui studi kepustakaan (Sonata, 2014:56). Studi kepustakaan adalah suatu bentuk penelitian yang dilakukan dengan mempelajari, mengkaji, menganalisis bahan-bahan hukum dan doktrin-doktrin hukum yang meliputi sistem hukum dalam pemberian grasi antara Indonesia, dengan Amerika Serikat, dan Inggris. Kedua, bahan hukum sekunder yang meliputi bahan hukum yang memberi penjelasan tentang bahan hukum primer dan berbentuk literatur-literatur, artikel jurnal-jurnal, buku, artikel serta surat kabar. Ketiga, bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan yang memberikan informasi tentang bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, yang relavansinya dengan adanya grasi. Bahkan bahan hukum tersier diperoleh dari sumber di luar hukum yang sedang dipergunakan untuk melengkapi atau menunjang data penelitian, seperti internet, situs website, kamus hukum, dan ensiklopedia.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Pemberian Grasi Indonesia
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan sebuah negara kesatuan hukum dengan berlandaskan Undang-Undang Dasar 1945. Dalam bentuk pemerintahannya, Indonesia memiliki bentuk pemerintahan republik konstitusional yang artinya Presiden sebagai pemegang kekuasaan untuk menjadi kepala negara sekaligus kepala pemerintahan (Jacoba, 2022:77). Seorang Presiden memegang peranan yang sangat penting dalam penyelenggaraan pemerintah, karena mempunyai dua fungsi sekaligus, yaitu sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan yang melekat erat dalam diri seorang Presiden (Rannie, 2020:101).
Disamping itu, Presiden juga memiliki hak istimewa yaitu hak prerogatif sebagaimana kebijakan Indonesia menganut sistem pemerintahan presidensial (Fauzi, 2021:65). Hak prerogatif merupakan kekuasaan istimewa yang dimiliki oleh seorang Presiden, tanpa adanya campur tangan oleh lembaga lain dan bersifat mutlak. Hak prerogatif merupakan hak tertinggi yang tersedia dan disediakan konstitusi bagi kepala negara (Hendarmin, 2019:198).
Dalam hak prerogatif biasanya Presiden memberikan empat kebijakan diantaranya yaitu memberikan grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 14 UUD 1945. Dalam Undang-Undang 1945 mengatur tentang hak prerogatif  Presiden, salah satunya dalam memberikan grasi, amnesti, abolisi, dan rahabilitasi yang diatur pada Pasal 14 ayat (1) dan (2) UUD 1945, yang berbunyi: (1) Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung. (2) Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.
Secara umum pengertian grasi adalah istilah hukum yang merujuk pada tindakan resmi atau hak prerogatif seorang kepala negara, seperti presiden atau raja, untuk mengurangi atau menghapuskan hukuman yang dijatuhkan atas seseorang yang telah dihukum oleh pengadilan (Adida, 2023:55). Tindakan grasi dapat berupa pengampunan sepenuhnya (pembebasan dari hukuman) atau pengampunan sebagian (pengurangan hukuman) (Khairawati, 2014:67). Tindakan grasi ini biasanya dilakukan atas pertimbangan kemanusiaan, keadilan, atau alasan-alasan politik tertentu (Djaja, 2014:54). Menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi: "Grasi adalah pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh Presiden".
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi merupakan pengganti dari Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Permohonan Grasi yang dibentuk pada masa pemerintahan Republik Indonesia Serikat, sehingga saat ini tidak sesuai lagi dengan sistem ketatanegaraan Indonesia dan substansinya sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan tata hukum Indonesia (UUD No.22 Tahun 2002). Dalam pemberian grasi, Presiden harus memperhatikan terlebih dahulu petimbangan dari Mahkamah Agung (MA), karena pada pemberian grasi sangat menyangkut pada putusan hakim (Muhammad, 2018:66). Oleh sebab itu kuatnya otoritas yang dimiliki Presiden dalam menggunakan hak prerogatif untuk memberikan grasi kepada terpidana dapat dibatasi, sehingga dapat menghindari penyalahgunaan kekuasaan dari Presiden (Sujatmiko, 2021:45).
Menurut Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi, "Terhadap putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, terpidana dapat mengajukan permohonan Grasi kepada Presiden". Pemohon grasi diatur berdasarkan pada Pasal 6 Undang-Undang Grasi, yang berhak mengajukan grasi yaitu: terpidana atau kuasa hukumnya, keluarga terpidana, dengan persetujuan terpidana, keluarga terpidana tanpa persetujuan terpidana, dalam hal terpidana dijatuhi pidana mati, demi kepentingan kemanusiaan dan keadilan, menteri yang membidangi urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia dapat meminta para pihak mengajukan permohonan grasi.
Dan dalam pengajuan grasi, terpidana juga harus memperhatikan syarat prosedur dalam mengajukan permohonan grasi. Beberapa prosedur dalam mengajukan permohonan grasi yaitu:
- Permohonan grasi diajukan secara tertulis oleh terpidana, kuasa hukumnya, atau keluarganya, kepada Presiden.
- Salinan permohonan grasi disampaikan kepada pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama untuk diteruskan kepada Mahkamah Agung.
- Permohonan grasi dan salinannya dapat disampaikan oleh terpidana melalui Kepala Lembaga Pemasyarakatan tempat terpidana menjalani pidana.
- Dalam hal permohonan grasi dan salinannya diajukan melalui Kepala Lembaga Pemasyarakatan Kepala Lembaga Pemasyarakatan menyampaikan permohonan grasi tersebut kepada Presiden dan salinannya dikirimkan kepada pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak diterimanya permohonan grasi dan salinannya.
- Dalam jangka waktu paling lambat 20 (dua puluh) hari terhitung sejak tanggal penerimaan salinan permohonan grasi, pengadilan tingkat pertama mengirimkan salinan permohonan dan berkas perkara terpidana kepada Mahkamah Agung.
2. Pemberian Grasi Amerika Serikat
Pemberian grasi di Amerika Serikat merupakan proses di mana seorang pejabat pemerintahan, biasanya Presiden (pada tingkat federal) atau Gubernur (pada tingkat negara bagian) dibantu melalui Pardon Attorney, memberikan pengampunan, pengurangan hukuman, atau keringanan lain kepada seseorang yang telah dihukum (Maya, 2015:22). "Pardon Attorney" adalah pejabat pemerintah yang bertanggung jawab untuk mengelola dan meninjau permohonan grasi di tingkat federal di Amerika Serikat (Willa, 2023:55). Posisi ini berada di bawah Departemen Kehakiman Amerika Serikat dan memiliki peran penting dalam proses pemberian grasi. Berikut adalah beberapa hal yang perlu diperhatikan terkait pemberian grasi di tingkat federal di Amerika Serikat:
- Otoritas Presiden: Pasal II, Bagian 2, Klausul 1 Konstitusi Amerika Serikat memberikan kekuasaan kepada Presiden untuk memberikan reprieves dan pardons (grasi) untuk pelanggaran terhadap hukum federal, kecuali dalam kasus pemakzulan.
- Pardon Attorney: Pada tingkat federal, proses pemberian grasi dikelola oleh Pardon Attorney, yang adalah pejabat di bawah Departemen Kehakiman AS. Pardon Attorney membantu Presiden dalam menilai permohonan grasi.
- Pengajuan Petisi Grasi: Seseorang yang berharap mendapatkan grasi harus mengajukan petisi grasi melalui Pardon Attorney. Petisi ini harus menyediakan informasi rinci tentang kasus, hukuman yang dijatuhkan, alasan untuk pemberian grasi, dan dukungan yang mungkin diterima dari pihak lain.
- Pertimbangan Pardon Attorney: Pardon Attorney melakukan peninjauan menyeluruh terhadap petisi grasi, mempertimbangkan faktor-faktor seperti karakter terpidana, rekam jejak kriminal sejak hukuman diterapkan, dan alasan-alasan kemanusiaan atau hukum lainnya.
- Rekomendasi kepada Presiden: Setelah meninjau petisi, Pardon Attorney memberikan rekomendasi kepada Presiden. Meskipun rekomendasi ini dianggap sebagai pedoman, Presiden memiliki otoritas penuh untuk membuat keputusan akhir.
- Keputusan Presiden: Presiden memutuskan apakah akan memberikan grasi atau tidak. Keputusan ini bersifat final dan tidak dapat diajukan banding.
Dasar hukum pemberian grasi di Amerika Serikat terletak dalam Pasal II, Bagian 2, Klausul 1 Konstitusi Amerika Serikat. Klausul ini memberikan Presiden wewenang untuk memberikan reprieves and pardons (grasi) atas pelanggaran hukum federal, kecuali dalam kasus pemakzulan (impeachment). Berikut adalah teks lengkap dari Klausul 1 Pasal II: "The President shall have Power to grant Reprieves and Pardons for Offenses against the United States, except in Cases of Impeachment". Yang artinya, "Presiden memiliki Kekuasaan untuk memberikan Penangguhan dan Pengampunan atas Pelanggaran terhadap Amerika Serikat, kecuali dalam Kasus Pemakzulan".
Tata cara pengajuan grasi di Amerika Serikat melibatkan beberapa langkah dan prosedur, tergantung pada tingkat yurisdiksi (federal atau negara bagian). Di tingkat federal, prosedur pengajuan grasi dikendalikan oleh Departemen Kehakiman AS. Berikut adalah gambaran umum tentang tata cara pengajuan grasi di tingkat federal:
- Persiapan Petisi Grasi: Terpidana atau pengacaranya mempersiapkan petisi grasi. Petisi ini harus mencakup informasi lengkap tentang terpidana, kejahatan yang dilakukan, hukuman yang dijatuhkan, serta alasan dan bukti untuk mengajukan grasi.
- Pengajuan Petisi ke Departemen Kehakiman: Petisi grasi diajukan ke Pemohon Grasi, Office of the Pardon Attorney, di Departemen Kehakiman Amerika Serikat. Petisi dapat diajukan dalam format tertulis dan harus lengkap dengan semua dokumen yang diperlukan.
- Pemeriksaan Petisi: Petisi grasi akan dipelajari oleh Pemohon Grasi, yang dapat merekomendasikan atau menolak pengajuan tersebut. Mereka akan mengevaluasi argumen-argumen yang diajukan dan merinci alasan-alasan grasi yang diajukan.
- Rekomendasi kepada Presiden: Jika petisi grasi diterima, Pemohon Grasi akan memberikan rekomendasi kepada Presiden Amerika Serikat. Presiden memiliki otoritas penuh untuk mengikuti atau tidak mengikuti rekomendasi tersebut.
- Keputusan Presiden: Presiden akan memutuskan apakah akan memberikan grasi atau tidak. Keputusan ini bersifat final dan tidak dapat diadakan banding.
Selain itu, penting untuk dicatat bahwa pemberian grasi oleh Presiden Amerika Serikat bersifat diskresioner dan tidak dapat diajukan banding. Presiden memiliki keleluasaan penuh dalam membuat keputusan terkait pemberian grasi, dan keputusan tersebut tidak tunduk pada pengawasan atau persetujuan dari cabang pemerintah lainnya.
3. Pemberian Grasi Inggris
Di Inggris, pemberian grasi merupakan prerogatif kerajaan, yang berarti keputusan tersebut diambil oleh penguasa monarki. Pada umumnya, grasi diberikan oleh Ratu atau Raja setelah menerima rekomendasi dari Menteri Kehakiman atau Dewan Grasi. Grasi dapat berupa pengurangan hukuman, penggantian hukuman, atau pembebasan bersyarat. Pemberian grasi bisa diberikan untuk berbagai alasan, termasuk pertimbangan kemanusiaan, perubahan dalam keadaan kejahatan, atau pertimbangan lain yang dianggap sesuai. Namun, meskipun terdapat prosedur tertentu, keputusan akhir tetap menjadi wewenang monarki.
Pemberian grasi di Inggris secara tradisional diberikan oleh Ratu atau Raja atas saran dari Menteri Kehakiman atau Dewan Grasi. Dasar hukum untuk pemberian grasi di Inggris mencakup beberapa elemen:
- Prerogatif Kerajaan: Pemberian grasi berasal dari prerogatif kerajaan, yang memberikan penguasa monarki wewenang untuk bertindak tanpa persetujuan parlemen.
- Kekuasaan Monarki: Monarki memiliki hak untuk memberikan grasi, yang mencakup pengurangan hukuman, pembebasan bersyarat, atau penggantian hukuman.
- Rekomendasi Menteri Kehakiman atau Dewan Grasi: Sebelum pemberian grasi, Menteri Kehakiman atau Dewan Grasi dapat memberikan rekomendasi kepada monarki. Rekomendasi ini dapat didasarkan pada pertimbangan hukum, etika, dan kemanusiaan.
Selain itu, seiring dengan evolusi sistem konstitusional Inggris, telah ada upaya untuk membawa lebih banyak transparansi dan akuntabilitas dalam proses pemberian grasi. Proses pemberian grasi di Inggris melibatkan serangkaian tahapan dan pihak yang terlibat. Berikut adalah tata cara umumnya:
- Permohonan Grasi: Biasanya, pemohon grasi mengajukan permohonan ke Dewan Grasi. Permohonan ini dapat diajukan oleh narapidana atau pihak yang mewakili narapidana.
- Pertimbangan Awal: Dewan Grasi melakukan pertimbangan awal terhadap permohonan grasi. Ini mungkin melibatkan pemeriksaan bukti-bukti tambahan, pertimbangan aspek-aspek hukum, dan evaluasi faktor-faktor kemanusiaan.
- Rekomendasi Menteri Kehakiman: Jika Dewan Grasi berpendapat bahwa grasi layak diberikan, mereka dapat merekomendasikan hal tersebut kepada Menteri Kehakiman. Rekomendasi ini dapat menyertakan alasan-alasan hukum, etika, atau kemanusiaan.
- Pemeriksaan oleh Menteri Kehakiman: Menteri Kehakiman memeriksa rekomendasi Dewan Grasi dan mempertimbangkan elemen-elemen yang terkait dengan hukum dan kebijakan. Setelah mempertimbangkan semua aspek, Menteri Kehakiman dapat memberikan rekomendasi ke monarki.
- Keputusan Monarki: Pemberian grasi akhirnya bergantung pada keputusan monarki. Ratu atau Raja dapat memutuskan untuk memberikan grasi sesuai dengan rekomendasi Menteri Kehakiman atau menolaknya.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
1. KesimpulanÂ
Dari deskripsi pembahasan yang telah diuraikan diatas, juga dari rumusan masalah yang telah dibuat maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
- Sebagaimana diketehaui bahwa antara negara Indonesia, Amerika Serikat, dan juga Inggris memiliki suatu perbedaan dalam sistem pemerintahan dan juga sistem hukum, walaupun memiliki adanya persamaan dalam menerapkan pemberian grasi kepada terpidana sebagai bentuk periganan, pengampunan, dan juga pengahpausan hukuman. Namun, dibalik adanya perbedaan tersebut seperti Indonesia, pemberian grasi di Indonesia hanya berhak dilakukan oleh seorang presiden sebagai hak prerogatif yang dimilikinya dengan melalui pertimbangan Mahkamah Agung (MA) sebagaimana diatur dalam UU No.22 Tahun 2002. Berbeda dengan Amerika Serikat yang melakukan pemberian grasi melalui Presiden (pada tingkat federal) atau Gubernur (pada tingkat negara bagian) yang dibantu melalui Pardon Attorney sebagaimana diatur dalam Pasal II, Bagian 2, Klausul 1 Konstitusi Amerika Serikat. Begitu juga dengan Inggris yang melakukan pemberian grasi yaitu melalui Ratu atau Raja atas saran dari Menteri Kehakiman atau Dewan Grasi yang diatur secara tradisional, sehingga pemberian grasi di negara Amerika Serikat dan juga Inggris bukanlah menjadi otoritas khusus yang dimiliki oleh seorang presiden atau kepala negara seperti di Indonesia.
- Sebagaimana diketahui bahwa antara negara Indonesia, Amerika Serikat, dan juga Inggris memiliki perbedaan dari segi dasar hukum dan juga tata cara dalam pemberian grasi kepada terpidana di negara masing-masing. Akan tetapi perbedaan tersebut tidak mempengaruhi penerapan grasi di negara masing-masing selama ini, bahkan adanya perbedaan dalam berlakunya pemberian grasi tersebut dapat dijadikan pertimbangan dalam menyempurnakan dasar hukum dan tata cara dalam memberikan grasi sehingga persamaan dari berlakunya pemberian grasi dari ketiga negara tersebut dapat terjaga dan juga semakin sempurna.
2. Saran
Dari simpulan dari pembahasan diatas, adapun saran yang dapat diberikan adalah :
- Dengan adanya perbedaan dari segi dasar hukum dan juga tata cara dalam pemberian grasi kepada terpidana di negara masing-masing, diharapkan dapat menjadi suatu nilai pertimbangan dalam menyempurnakan dasar hukum dan tata cara dalam memberikan grasi ke arah lebih baik.
- Dengan adanya persamaan dari penerapan pemberian grasi kepada terpidana di negara masing-masing, diharapkan dapat menghasilkan dampak baik sehingga ketiga negara tersebut dapat menjalin hubungan baik dari adanya kesamaan tersebut.
Â
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Agus. (2016). "Sejarah Hukum: Konsep, Teori, dan Metodenya dalam Pengembangan Ilmu Hukum". Karanganyar: Oase Pustaka.
Djaja, E. (2014). "Memberantas Korupsi Bersama KPK". Sinar Grafika, Jakarta.
Hendarmin, Ranadireksa. (2019). "Visi Bernegara Arsitektur Konstitusi Demokratik". Bandung.
Marzuki, Peter M. (2012). "Pengantar Ilmu Hukum". Prenada Media, Jakarta.
Muliadi, A. (2019). "Politik Hukum". Akademia Permata. Jakarta.
JURNAL
Adida. (2023). "Politik Hukum Pemberian Grasi Oleh Presiden Dalam Kasus Korupsi". Universitas Islam Negeri. Volume 4. Nomor 2 (hlm.35).
Fauzi, Suyogi Imam. (2021). "Politik Hukum Pemberian Grasi, Amesti, Dan, Abolisi Sebagai Konsekuensi Logis Hak Prerogatif". Jurnal Hukum & Pembangunan. Universitas Indonesia. Volume 51. Nomor 3 (hlm.40).
Jacoba, Dkk. (2022). "Hak Prerogatif Presiden Dalam Pengangkatan Menteri". Fakultas Hukum Universitas Patimura. Volume 2. Nomor 7 (hlm.34).
Khairawati, D & Soponyono, E. (2014). "Kebijakan Hukum Pidana Pemberian Grasi Kepada Terpidana Narkoba Dalam Perspektif Pembaharuan Hukum Pidana". Universitas Diponegoro. Volume 9. Nomor 2 (hlm.67).
Maya. (2015). "Sejarah, Pemberian Grasi, dan Landasan Hukum". Jurnal Guru PPKN. Volume 3. Nomor 2 (hlm.22).
Muhammad, R, F. (2018). "Analisis Hukum Tentang Pemberian Grasi Terhadap Kekuasaan Kehakiman yang Bebas dan Merdeka Dirinjau dari Pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945". Volume 8. Nomor 2 (hlm.73).
Rannie, Mahesa. (2020). "Hak Prerogatif Presiden Di Indonesia Pasca Perubahan UUD 1945". Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya. Volume 27. Nomor 2 (hlm.79).
Sujatmiko & Wibowo, W. (2021). "Urgensi Pembentukan Ragulasi Grasi, Amesti, Abolisi, dan Rehabilitasi". Jurnal Penelitian Hukum De Jure. Volume 21. Nomor 1 (hlm 43).
Sonata, Depri Liber. (2014). "Metode Penelitian Hukum Normatif Dan Empiris Karakteristik Khas Dari Metode Penelitian Hukum". Jurnal Hukum. Volume 8. Nomor 1 (hlm.56).
Willa. (2023). "Rechterlijk Pardon atau Konsep Pemanfaat Konsep". Universitas Indonesia Libary. Volume 21. Nomor 4 (hlm.55).
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tentang Kekuasaan Pemerintah Negara. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1959 Nomor 75).
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 108). Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI