Malam itu, setelah semua tamu pulang, ayah baru bisa istirahat. Waktu menunjukkan pukul sembilan malam. Tapi rasa lelah dan penat sungguh sudah menumpuk. Sejak pagi sampai siang, mengajar di SD Inpres, berlanjut rapat Pengurus RT di Balai Desa. Sesampai di rumah jam lima sore, orang banyak sudah menunggu untuk berobat.
Suatu ketika, ayah memberiku nasihat. "Bud. Kalau kamu mau bantu orang, jangan lihat dia siapa, rumahnya di mana, atau agamanya apa. Jangan! Lihatlah ia sebagai pribadi yang luhur dan bermartabat di hadapan Tuhannya." Saat itu, aku hanya mengangguk.
"Bu. Aku dengar mbah Minto panen padinya naik 3x lipat?"
"Iya, Pak. Kemarin, mbah Minto kirim beras ke sini, diantar Suparmin. Katanya, ada salam dari mbah Minto. Air yang bapak berikan kemarin, manjur mengusir hama," kata ibu.
Ayah menghela nafas. "Syukurlah! Lho. Suparmin masih rewang di tempat mbah Minto?"
"Ya, masih to Pak. Suparmin itu yang cerita kalau mbah Minto merasa sangat senang melimpahnya hasil panen tahun ini. Tidak ada wereng coklat, tidak ada tikus, tidak ada burung. Semua tanaman padi aman terkendali."
"Ya syukurlah Bu. Kalau Gusti sudah berkehendak, apapun bisa kelakon. Apapun yang Tuhan mau, terjadilah."
**
"Tok Tok Tok ..."Â
Terdengar suara pintu diketok berkali-kali dengan kerasnya.