Mohon tunggu...
Yohanes Budi
Yohanes Budi Mohon Tunggu... Human Resources - Menulis kumpulan cerpen "Menua Bersama Senja" (2024), Meminati bidang humaniora dan pengembangan SDM

https://ebooks.gramedia.com/id/buku/menua-bersama-senja

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mas Guru

19 Januari 2021   16:40 Diperbarui: 19 Januari 2021   16:52 293
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
aku dan anakku (dokpri)

Ibu berhenti sejenak, menarik napas dalam-dalam. "Tentang air yang menjadi perantara kesembuhan bapak ibu, atau siapa pun yang pernah ke sini, itu pun tergantung dari keyakinannya sendiri. Ayah berdoa sesuai keyakinannya. Bapak ibu berdoa sesuai dengan keyakinannya juga. Tuhan yang Maha Baik, tidak akan pernah meninggalkan umat-Nya yang percaya kepada-Nya!"

Ayah mengelus pundak istrinya. Dalam hati, ayah mensyukuri keberanian istrinya. Ayah pun mengambil sikap. "Baiklah, bapak ibu sekalian. Sekali lagi, mohon maaf jika saya, istri dan anak-anak selama di sini berbuat kesalahan dan menyakiti perasaan bapak ibu. Seperti bapak ibu mau, kami akan segera bersiap-siap. Jadi, mohon bapak ibu bisa pulang ke rumah masing-masing. Siang ini, kami akan pergi dari kampung ini, segera!" kata ayah dengan tenang.

Yu Turah menatap wajah ayah dengan mata berkaca-kaca. Ia tahu, ayah tak mungkin membunuh Asti, anaknya. Hanya saja ia tak kuasa menolak desakan warga agar menjadikan mas Guru sebagai tertuduh. Yu Turah mendekat ke ayah dan ibu, sambil berbisik, "Maafkan saya."

Satu per satu, orang-orang pun pergi. Namun, tidak berapa lama kemudian, mereka kembali lagi bersama dengan mbah Minto. Wajah mereka tidak garang lagi. Orang-orang berjalan tenang dengan muka sedikit tertunduk. Dengan memakai tongkat, mbah Minto tertatih ke arah mas Guru.

"Mas Guru dan ibu. Juga Mas Mantri. Maafkan orang-orang kampung ini. Mas Guru masih sangat diperlukan di sini. Anak-anak di sekolah membutuhkan bimbingan mas Guru," kata mbah Minto penuh wibawa. "Leluhur kami sangat menghormati keberagaman. Ini hanya kesalahpahaman saja. Siapapun bisa tinggal di kampung ini, termasuk mas Guru."

Ayah dan ibu mengangguk hormat pada mbah Minto. "Terima kasih, mbah Minto. Saya bisa mengerti apa yang mbah Minto sampaikan. Saya juga minta maaf, kalau ada yang salah dari kami selama ini."

Mbah Minto menepuk pundak ayah. Lalu, mbah Minto pun memberi isyarat kepada orang-orang yang berkumpul. Satu per satu, mereka menyalami ayah dan ibu, sambil saling memohon maaf. 

"Tetaplah di sini, mas Guru!" kata mbah Minto sekali lagi.

Depok, 31.05 | 20-21

_________________

1 kandelar (Latin) -  tatakan tempat lilin

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun