Mohon tunggu...
Yohanes Budi
Yohanes Budi Mohon Tunggu... Human Resources - Menulis kumpulan cerpen "Menua Bersama Senja" (2024), Meminati bidang humaniora dan pengembangan SDM

https://ebooks.gramedia.com/id/buku/menua-bersama-senja

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mas Guru

19 Januari 2021   16:40 Diperbarui: 19 Januari 2021   16:52 293
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
aku dan anakku (dokpri)

"Buka pintunya, Mas Guru. Buka pintunya!" Teriakan orang-orang merobek pagi yang sepi dan tenang. Tampak di luar rumah sudah banyak orang berkumpul, sambil mengepal-epalkan tangannya. Beberapa di antaranya membawa golok dan cangkul. Mendadak suasana mencekam. Ayah membuka pintu.

Seorang lelaki yang membawa golok, berteriak, "Hei. Mas Guru! Mulai sekarang, Mas Guru harus pergi dari kampung ini!" Orang-orang menyambutnya dengan pekik, "Setujuu!"

Ayah tampak kebingungan. Senyatanya ayah tidak tahu persis duduk permasalahannya. "Tenang, bapak-bapak. Mohon maaf. Ijinkan saya bicara..."

"Kami tidak perlu penjelasan lagi, Mas Guru. Kami sudah terlanjur kecewa. Ternyata Mas Guru sudah membohongi kami selama ini!" sahut seorang lelaki bersarung dan berkaos singlet. 

Ayah semakin kebingungan tak mengerti. Tapi, ayah berusaha tetap tenang. "Baik. Bapak-bapak. Maaf sekali lagi. Kalau saya, isteri, dan anak-anak harus pergi dari kampung ini tidak apa. Hanya tolong jelaskan, ada apa sebenarnya?"

Orang-orang kampung yang emosi sudah tak sabar. "Usir saja. Usiirrr....!" Salah seorang di antaranya memprovokasi. Massa pun hampir tersulut, dan hendak merangsek masuk ke rumah Mas Guru. Tampak satu di antaranya adalah Yu Turah. Ia maju ke depan. Wajahnya sayu, matanya sembab seperti habis menangis semalam-malaman. Ia mengangguk kepada Mas Guru.

Seseorang yang memimpin rombongan berkata, "Gara-gara air dari Mas Guru, Yu Turah kehilangan Asti, anak semata wayangnya! Paham sekarang, Mas Guru!"

Ayah terkejut bukan kepalang. "Maaf, Yu. Saya ikut prihatin. Tapi..."

"Tapi apa... Mau mengelak apa lagi, Mas Guru. Semua sudah jelas. Lebih baik, Mas Guru segera berkemas dan pergi dari kampung ini selamanya. Selamanya!" kata seseorang yang membawa cangkul.

Ayah tidak punya pilihan lain. Membela diri di depan orang-orang kampung yang sedang kalap, sepertinya percuma saja. Hanya saja, ayah merasa aneh dengan kehadiran Yu Turah di tengah massa. Ia mengenal Yu Turah sudah sekian lama, dan tak mungkin Ayah tega membunuh Asti dengan cara yang tak masuk akal. Ayah yakin, Yu Turah pun tahu akan hal itu. 

Di tengah kebuntuan, terdengar suara, "Mas Guru, tidak bersalah!"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun