"Buka pintunya, Mas Guru. Buka pintunya!" Teriakan orang-orang merobek pagi yang sepi dan tenang. Tampak di luar rumah sudah banyak orang berkumpul, sambil mengepal-epalkan tangannya. Beberapa di antaranya membawa golok dan cangkul. Mendadak suasana mencekam. Ayah membuka pintu.
Seorang lelaki yang membawa golok, berteriak, "Hei. Mas Guru! Mulai sekarang, Mas Guru harus pergi dari kampung ini!" Orang-orang menyambutnya dengan pekik, "Setujuu!"
Ayah tampak kebingungan. Senyatanya ayah tidak tahu persis duduk permasalahannya. "Tenang, bapak-bapak. Mohon maaf. Ijinkan saya bicara..."
"Kami tidak perlu penjelasan lagi, Mas Guru. Kami sudah terlanjur kecewa. Ternyata Mas Guru sudah membohongi kami selama ini!" sahut seorang lelaki bersarung dan berkaos singlet.Â
Ayah semakin kebingungan tak mengerti. Tapi, ayah berusaha tetap tenang. "Baik. Bapak-bapak. Maaf sekali lagi. Kalau saya, isteri, dan anak-anak harus pergi dari kampung ini tidak apa. Hanya tolong jelaskan, ada apa sebenarnya?"
Orang-orang kampung yang emosi sudah tak sabar. "Usir saja. Usiirrr....!" Salah seorang di antaranya memprovokasi. Massa pun hampir tersulut, dan hendak merangsek masuk ke rumah Mas Guru. Tampak satu di antaranya adalah Yu Turah. Ia maju ke depan. Wajahnya sayu, matanya sembab seperti habis menangis semalam-malaman. Ia mengangguk kepada Mas Guru.
Seseorang yang memimpin rombongan berkata, "Gara-gara air dari Mas Guru, Yu Turah kehilangan Asti, anak semata wayangnya! Paham sekarang, Mas Guru!"
Ayah terkejut bukan kepalang. "Maaf, Yu. Saya ikut prihatin. Tapi..."
"Tapi apa... Mau mengelak apa lagi, Mas Guru. Semua sudah jelas. Lebih baik, Mas Guru segera berkemas dan pergi dari kampung ini selamanya. Selamanya!" kata seseorang yang membawa cangkul.
Ayah tidak punya pilihan lain. Membela diri di depan orang-orang kampung yang sedang kalap, sepertinya percuma saja. Hanya saja, ayah merasa aneh dengan kehadiran Yu Turah di tengah massa. Ia mengenal Yu Turah sudah sekian lama, dan tak mungkin Ayah tega membunuh Asti dengan cara yang tak masuk akal. Ayah yakin, Yu Turah pun tahu akan hal itu.Â
Di tengah kebuntuan, terdengar suara, "Mas Guru, tidak bersalah!"