Orang-orang mengalihkan pandangannya ke arah suara. "Pak Mantri?!"
Orang yang disebut Pak Mantri menerobos kerumunan massa. Orang-orang kampung sangat menghormatinya. Pak Mantri, yang bertugas di Puskesmas kecamatan sering berkunjung ke kampung, melakukan pemeriksaan kesehatan rutin.Â
"Maksud, pak Mantri?" tanya ayah.
"Tenang, mas Guru. Biar saya yang jelaskan!" kata pak Mantri. Pak Mantri berpaling ke kerumunan, "Nah, bapak ibu. Kalau bapak ibu masih percaya sama saya, mohon dengar penjelasan saya."Â
Orang-orang saling berpandangan. Seseorang yang disebut pemimpin menganggukkan kepala. Pak Mantri pun tersenyum.
"Pertama. Kepada Yu Turah, saya ucapkan turut berduka cita atas kepergian Asti. Yang kedua, saya dan tim dari medis dari kecamatan sudah memeriksa penyebab kematian Asti. Mohon maaf, Yu Turah. Sebenarnya Asti meninggal karena infeksi tetanus. Kalau saja, Yu Turah cepat membawa Asti ke puskesmas atau ke rumah sakit, mungkin tetanus Asti bisa ditangani lebih cepat." Pak Mantri menjelaskan panjang lebar.
Sebagian orang mulai mengerti. Tetapi sebagian lain masih mencari celah kesalahan Mas Guru.Â
"Maaf, Pak Mantri. Bukan hanya soal Yu Turah ini. Sebenarnya lebih dari itu!" kata seorang lelaki berpeci. Ia berkata lagi. "Kang Kodir saksinya. Mas Guru ini, musrik pak Mantri. Geledah saja di kamarnya. Pak Mantri akan temukan patung seorang wanita yang disembah-sembah dan dimintai doa!"
Orang-orang yang sudah agak tenang, kembali bergolak. Emosi mereka terusik kembali.
Mas Guru dan Pak Mantri saling berpandangan. Istri mas Guru yang dari tadi berdiri di balik pintu, bergegas ke belakang dan mengambil patung yang dimaksud. Dengan tenang dan keberanian yang tak biasa, ia pun berdiri di samping ayah.
"Bapak ibu semua. Ini adalah patung Bunda Maria. Bapak ibu tidak perlu cemas. Ayah tidak berdoa kepada patung. Ayah tetap berdoa kepada Tuhan yang Maha Esa, seperti halnya bapak ibu semua. Bagi kami sekeluarga, Bunda Maria adalah sosok teladan kerendahan hati dan keteladanan tulus membantu orang lain."Â