Sementara itu, dengan berlinang air mata, Asih terus berupaya membujuk, “Sudahlah, Kang. Ayo pulang. Malu, Kang. Malu…!”
Nama lengkapnya Sriasih. Ia adalah kembang dusun yang tak beruntung. Setidaknya itulah anggapan orang-orang saat ia bersikukuh menikahi Samir, pemuda pengangguran.
Gosip yang beredar luas, Sriasih sudah hamil sebelum nikah. Sebagian lain, menganggap Sriasih terkena sirep, semacam pelet katresnan.
Waktu terus berjalan. Sriasih melahirkan Bisma anak pertamanya, satu tahun setelah usia pernikahannya. Sepanjang bersama Samir, Asih pun terlihat biasa-biasa saja, tidak cinta berlebihan seperti yang ditakutkan orang. Tak ada satupun tuduhan orang-orang yang terbukti.
Bahkan sejak lahir Bisma, Samir tak berselera untuk mabuk lagi. Bau alkohol tak baik untuk kesehatan si bayi, kata Asih mengingatkan suaminya. Samir mengangguk pasrah.
Kerumunan orang makin menyemut. Jalan besar yang biasa lengang, berubah padat dan penuh sesak. Pengendara motor yang penasaran berhenti di pinggir jalan hingga tiga sap. Kemacetan mulai mengular.
Tibalah Haji Anwar di lokasi. “Samir. Apa yang kau lakukan? Pulanglah, Nak. Pulang!” kata Haji Anwar sambil memohon. Mata Samir menatap tajam ke arah ayah mertuanya.
“Maaf, pak. Bapak diaaam sajaa!! Ini bukan urusan bapak!” kata Samir.
Sementara di sudut-sudut lingkaran kerumunan, para intel dan aparat kepolisian yang tak berseragam telah siap siaga menjaga segala kemungkinan.
“Samir. Ini bu Umu sudah hadir. Katakan apa maumu, Samir?” kata pak RT dengan hati-hati.
“Ada apa, Kang Samir. Kita bisa bicarakan baik-baik. Semua pasti ada solusinya. Ibu siap mendengarkan…” kata bu Umu dengan penuh kelembutan.