Mohon tunggu...
Maya Batari
Maya Batari Mohon Tunggu... Guru - Single Cool

mencintai diri sendiri dimulai dari dalam hati yang selalu berpikir positif dan bahagia

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Rahasia Cinta Sang Pewaris #Bab 29

8 Mei 2021   06:13 Diperbarui: 8 Mei 2021   06:20 247
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.bola.net/lain_lain/kata-kata-bijak-soal-menggenggam-tangan-bantu-belajar-lebih-dewasa-1bd713.html

"Jadi istri itu, harus selalu bisa nyenengin suami. Selain itu, kamu juga harus selalu jaga penampilan kamu. Jangan sampai suami pulang kerja, istri masih acak-acakan. Apalagi Mas Bagus itu banyak yang ngidolain."

"Iya, Ma. Riri juga tau, kok!"

"Terus ilangin juga sifat merajuk kamu! Nggak lucu, kalo seorang istri pejabat tapi masih kekanakan."

"Ih, Mama apaan! Aku udah berusaha buat jadi istri yang baik! Manja sama suami sendiri kan hukumnya wajib!" Utari menyemil bolu coklat panggang yang baru diangkat sang Mama dari oven.

"Nanti bawa ini untuk suami dan mertua kamu." Rika mengambil dua dus kue, yang langsung diisi dengan bolu baru masak itu.

"Toko kue Mama gimana? Denger-denger sekarang tambah rame, ya?"

"Semua juga berkat Mas Bagus. Kalo bukan karena dimodalin dia, mana mungkin Mama bisa punya toko kue sebesar sekarang."

"Riri seneng dengernya. Mudah-mudahan Mama nggak lupa buat bayar cicilan setiap bulannya!"

"Kamu lagi ngeledek Mama? Meski dia menantu Mama, mana tega Mama ngutang nggak bayar!"

Riri tertawa lirih melihat kegusaran sang Mama. Dia kemudian beranjak dari kursi, dan memeluk lengan mama Rika dengan sayang, "Maafin Riri, Ma. Riri becanda kok!"

"Udah, nggak perlu bahas itu juga. Ehm, nanti malam kamu ada acara nggak?"

"Emang kenapa, Ma?" Riri menatap sang Mama yang terlihat sedikit salah tingkah. Kecurigaan segera menghantui pikirannya.

"Ehm, gini. Tapi kamu janji dulu, nggak akan marah sama Mama." Rika memasukkan potongan terakhir bolu ke dalam kardus.

Wanita itu memberi isyarat agar Utari duduk di salah satu kursi di meja makan mereka. Utari tidak bisa menghentikan matanya, untuk mengawasi semua gerak gerik sang Mama. Ada sesuatu yang berbeda pada diri sang Mama. Utari mengernyit bingung.

Mama Rika tidak pernah berdandan. Setelah Papa Utari meninggal sepuluh tahun lalu, Mama tidak pernah bersolek. Waktunya banyak dihabiskan untuk bekerja. Membuat kue dan berusaha agar dapur mereka selalu mengepul.

Terakhir Utari melihat Mama berdandan itu, saat kedua orangtuanya merayakan ulang tahun pernikahan mereka yang ke 15. Tepat sebelum Papa meninggal satu Minggu kemudian. Wajah Mama terlihat cantik dan ceria. Seperti yang ditunjukkannya sekarang ini.

"Mama lagi jatuh cinta?" tebak Utari dengan penasaran. Beberapa kali Utari mendesak Mama agar mau menikah lagi, tapi jawaban Rika selalu sama. Dia hanya ingin melihat kedua anaknya bahagia. Utari dan Kakaknya bahkan sampai kesal, karena Mama seperti sudah menutup hati untuk pria manapun.

Namun sekarang sepertinya kondisinya sudah berbeda. Setelah Utari menikah, dan toko kue juga sudah menempati ruko yang lebih besar, sepertinya Mama memutuskan untuk membuka hatinya kembali. Diam-diam hati Utari ikut senang dengan keputusan itu.

Setelah menikah, dia tidak akan sesering dulu untuk pulang ke rumah. Mama pasti akan kesepian, dan membutuhkan seorang teman. Mama membutuhkan pendamping, untuk menemani kesepiannya.

"Kok, kamu ngomongnya gitu?" Rika berusaha mengelak, meski bahasa tubuhnya tidak dapat menutupi.

"Mama nggak usah boong sama Riri. Jadi, siapa orang itu?" Utari mencolek-colek lengan Mama sambil menaik-naikkan alis dengan dramatis.

"Pokoknya nanti malam kamu dateng lagi ke sini bareng Mas Bagus. Mama mau ngenalin seseorang sama kalian."

"Mbak Anti dan Kak Dewo gimana?"

"Mama juga memberitahu mereka. Tapi nggak mungkin kan, Mama nyuruh mereka pulang hanya untuk makan malam?"

"Iya, juga. Jadi, siapa calon Papa baru Riri? Apa Riri kenal, Ma?"

"Udah, ah! Nanti kamu juga tahu."

"Mama udah yakin pilih dia?" Riri mencoba mencari kesungguhan di wajah Mama.

Rika jelas mengetahui kekhawatiran anaknya. Bertahun-tahun hidup sendirian, semua dia dedikasikan untuk dapat memberikan kehidupan yang layak bagi Antari dan Utari. Sekarang setelah kedua anaknya menikah, Rika merasa sudah saatnya membutuhkan teman lagi.

Tidak mungkin bagi Rika, untuk menuntut Utari agar selalu datang ke rumah. Apalagi Antari juga ikut dengan suaminya, yang kini berpindah tugas di Jogja. Tidak. Dia tidak mau menyusahkan anak-anaknya. Melihat mereka bahagia, Rika juga merasakan hal yang sama.

Tapi terkadang dia kesepian. Dia membutuhkan teman untuk berbagi. Hingga suatu hari dia bertemu dengan pria itu.

"Kalau Mama nggak yakin, Mama nggak mungkin bakalan seserius ini." senyum mengembang di bibir Rika. Dia mengusap-usap tangan Utari dengan penuh kasih sayang.

"Mama." Utari menghambur ke dalam pelukan Mama Rika. Wanita itu mengusap-usap punggung sang putri yang mulai terisak dengan lembut, "maafin Riri ya, karena udah nggak bisa sering-sering pulang. Aku sayang Mama, dan Riri akan mendukung apapun itu yang terbaik buat Mama."

Rika mengusap sebutir kristal bening di sudut mata. Ada rasa bangga menyelinap di dalam hatinya, ketika merasakan perubahan besar pada diri Utari. Gadisnya sudah menjadi seorang wanita dewasa. Putri kecilnya sekarang sudah menjadi istri seseorang.

Rika menahan diri, agar dia tidak menggerung di dalam pelukan Utari. Rasanya memang begitu melankolis, ketika menyadari jika anak yang sejak kecil diasuh ternyata kini sudah menjadi milik orang.

Tubuh mungil itu tak bisa sesering dulu didekap. Utari takkan lagi bermanja di dalam pelukannya. Anaknya tidak akan lagi merengek hal-hal sepele kepada dirinya. Semua terasa begitu cepat. Rasanya baru kemarin dia menggendong dan membuai Utari, namun sekarang gadis itu sudah menjadi seorang wanita.

Wajar jika ada satu sisi di dalam diri Rika yang tidak rela. Karena dia hanya seorang Ibu. Namun melihat gurat bahagia di wajah Utari, Rika merasa jika kehilangannya tidak sia-sia. Gadisnya berada dalam perlindungan orang yang tepat. Dia tidak perlu merasa khawatir, karena dia tahu jika Bagus Pandhita akan menjaga sang putri dengan baik.

"Terima kasih, sayang. Kamu mungkin agak terkejut. Tapi percayalah, ini adalah pilihan terbaik dari Mama."

"Mama nggak mau cerita apapun? Misalnya aja, kapan pertama kali kalian bertemu? Apa dia pelanggan toko Mama?"

"Ehm, ini agak rumit." Rika terlihat tersipu.

"Maaa." Utari merajuk begitu sudah melepaskan pelukannya.

"Iyaa, kamu itu nggak sabaran amat! Dia temen SMA Mama dulu." Rika mulai berkisah, "Tiga bulan yang lalu secara nggak segaja kita ketemu. Dia kebetulan nemenin sahabatnya yang mau beli kue untuk ulang tahun istrinya."

"Wah, itu pasti kejutan yang manis."

"Mau dengerin cerita Mama, nggak?"

Utari mengangguk, kemudian mengenggam kedua tangan Mama dengan erat. "Lanjutin, Ma!"

"Setelah itu kita ngobrol-ngobrol, dan tukeran nomer hape. Nggak taunya dia udah duda. Istrinya udah meninggal. Dia nggak punya anak, karena beberapa kali istrinya hamil tapi keguguran terus. Setelah itu, dia nembak Mama."

"Cieee, yang ditembak langsung klepek-klepek."

"Ih, kamu apaan sih! Mama dan dia udah kenal baik. Jadi, Mama nerima pas dia mau ngajak serius. Udah nggak jaman, orang seumuran Mama pacaran. Jadi, dia mau minta izin sama kamu dan Antari buat nikahin Mama."

"Beneran, Ma?"

"Iyalah! Mama serius Ri!"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun