Ada rasa bersalah menyeruak ke dalam hati Utari, ketika melihat tubuh Bagus Pandhita hampir terjatuh ke atas lantai. Utari terlalu kuat mendorong. Untung saja pria itu berpegangan pada dinding lift, jika tidak mungkin dia akan benar-benar jatuh terjengkang.
Gadis itu melirik sejenak pada wajah Bagus Pandhita yang masih saja setenang air mengalir. Utari berpura-pura memperbaiki bajunya yang masih rapi, sebelum berdiri bersidekap di salah satu sudut lift. Dia ingin bumi terbelah, dan menelan tubuhnya saat itu juga. Rasa malu itu hampir tak tertahankan.
"Kamu benar-benar marah padaku?" Bagus Pandhita menyandarkan tubuh, setelah merapikan letak topi hitam yang dikenakannya. Dia berdiri tidak jauh dari Utari, namun seperti tidak berniat menyentuh kembali gadis itu.
"Pikir saja sendiri!" Utari berusaha bersikap cuek.
Bagus Pandhita menatap sejenak pada Utari. Dia benar-benar seperti ingin menerkam gadis itu. Namun akhirnya dia hanya memilih bersandar santai, dan mengembuskan napas dengan berat.
Mengejar gadis muda seperti Utari memang tidak mudah, terlebih bagi pria seusia dirinya. Pola pikir mereka sungguh jauh berbeda. Utari baginya masih sangat kekanakan. Namun dia selalu mamaklumi, karena usia Utari yang masih sangat muda. Pola pikir Utari masih belum dewasa, tapi jika dia berterus terang sudah dipastikan perang dunia ketiga pasti akan meletus.
Bagus Pandhita terbiasa di kelilingi para wanita yang sangat mengerti dirinya. Teman diskusi yang mengasyikkan, dan tidak membuat otaknya bertambah pening. Mereka akan dengan senang hati mendengarkan semua keluh kesah Bagus, demikian juga sebaliknya. Para wanita itu berpikiran sangat matang dan dewasa, tidak seperti Utari yang sangat suka merajuk.
Pria itu harus mengakui, jika dirinya memang sedang berusaha keluar dari zona amannya. Jika semula dia menyangka Utari adalah seorang gadis penurut, maka pikirannya sudah salah besar. Gadis itu ternyata sangat manja dan juga seorang pembangkang.
"Jadi, kenapa Bapak mengikuti saya?" ketus Utari tanpa menoleh sedikitpun pada Bagus.
"Aku tidak mengikutimu. Kebetulan saja aku sedang berada di sini, dan ingin naik ke atas."
"Dasar pembohong! Saya baru mendengar ada seorang kepala daerah yang sangat pandai berbohong seperti Bapak!"
Bagus memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana jeans hitam yang dikenakan. Pria itu memang terlihat berkali lipat lebih muda dengan penampilan trendi seperti sekarang. Kaos pendek pas badan v-neck ditutup dengan jaket berwarna hitam juga. Tubuhnya yang proposional terlihat kian menggiurkan, seakan lemak enggan hinggap di sana.
"Sudah puas memandangnya?" Bagus menyeringai hingga membuat Utari gelagapan. Dia berusaha berpaling untuk menyembunyikan pipinya yang sudah merona merah.
"Ge-er banget!"
"Kamu harus sabar jika ingin melihat semua bagian tubuh saya tanpa atribut apapun. Atau kamu ingin kita mencobanya dulu, kebetulan tidak jauh dari sini ada hotel keluarga."
"Jangan bicara macam-macam! Saya hanya sedang berpikir, ternyata selera berbusana Bapak lumayan juga."
"Ya? Boleh aku tahu apa maksudmu?"
"Ehm, menyukai merk terkenal juga rupanya."
"Apa kamu meragukan penghasilanku? Aku orang yang suka membeli barang berkualitas, dan nyaman dipakai tentunya."
Untuk pertama kalinya, Bagus merasa bukan seperti dirinya sendiri. Seharusnya dia tidak terpancing dengan pembicaraan tidak penting seperti itu.
"Aku---" Utari berteriak panik, ketika benda itu tiba-tiba berguncang keras. Lampu juga perlahan-lahan padam, hingga suasana di dalam menjadi hanya remang-remang.
"Apa---apa yang terjadi?" tubuh Utari mulai gemetar. Dua tangannya berpegangan erat pada lengan Bagus Pandhita.
Tangan Bagus Pandhita meraih kedua tangan Utari dan menggenggamnya erat, "Sepertinya kita terjebak di dalam sini."
"Apa---apa maksudnya kita terjebak?"
"Aku lupa mengatakan kepadamu, jika lift ini sudah jarang digunakan karena sering macet. Mungkin aku harus menghubungi tekhnisi untuk segera memperbaikinya."
"Ya Tuhan! Aku harap ini tidak akan terlalu lama."
Bagus meraih tombol darurat di salah satu dinding, kemudian memencet angka yang menghubungkan langsung ke bagian teknisi. Utari tidak sekalipun melepaskan pegangan kedua tangannya.
"Sebentar lagi mereka akan memperbaikinya."
"Apa Bapak yakin jika tombol itu berfungsi dengan benar?"
"Percayalah! Para tekhnisi itu akan datang, jadi kamu tidak perlu cemas lagi."
Utari tanpa sadar melepaskan pegangan tangannya. Tubuhnya merosot ke lantai begitu saja. Dia mengambil ponsel dari dalam tas selempang, dan mulai mengetik pesan untuk Mamanya. Namun tentu saja tidak ada sinyal satupun.
"Berapa lama?" Utari menghela napas dengan berat.
"Tergantung kerja mereka." Bagus mengikuti dengan duduk berselonjor kaki di samping Utari.
"Kang---Bapak kan pemilik tempat ini, masa iya tidak bisa memberi instruksi pada mereka agar lebih cepat!"
"Mereka juga manusia, sayang. Kemampuan mereka terbatas, tidak seperti para pahlawan di film itu."
"Film? Ini benar-benar keterlaluan! Aku datang ke sini untuk menonton film terbaru, dan lihat apa yang terjadi padaku di sini?"
Utari memasukkan ponselnya kembali dengan kesal. Dia menggeser duduknya sedikit menjauh dari Bagus.
"Bagaimana jika kita bertaruh?"
"Bertaruh?"
Bagus membuka jaketnya, hingga otot lengannya yang bertonjolan menjadi pemandangan indah di keremangan. Utari berpura-pura menatap sekeliling sebelum mata dan jantungnya semakin tercemar.
"Menurutmu berapa lama para tekhnisi itu akan menyelesaikan pekerjaannya?" Bagus bertanya dengan nada serius, hingga Utaripun mau tidak mau memperhatikan pria itu.
"Satu jam? Tiga puluh menit?"
"Tebak secara acak saja."
"Dan?"
"Kita harus memiliki kesepakatan mengenai yang menang dan yang kalah."
"Haruskah?"
"Kecuali jika kamu takut melakukannya."
Utari terlihat mengerucutkan bibir dengan sebal. Setidaknya pria itu berusaha membunuh waktu agar tidak terasa menjemukan. Hanya iseng, tapi Utari menjadi bersemangat. Meski sebenarnya dia bukan tipe gadis yang takut pada kegelapan.
"Aku? Katakan saja apa permainannya, maka aku akan melakukannya!"
"Yang kalah maka harus mengikuti tiga permintaan dari pemenang. Bagaimana?"
"Aku tidak akan setuju, jika belum mengetahui pertanyaannya."
"Pertanyaannya sangat mudah, kita akan menebak secara acak berapa lama lift ini akan terbuka? Satu jawaban akan dikunci. Kamu boleh menjawab jika sudah yakin dengan pilihanmu itu."
Utari merasa ada yang aneh, "Kang---Bapak kan pemilik tempat ini, tentu saja sangat mengetahui berapa lama waktu untuk memperbaiki benda ini. Itu tidak adil!"
"Aku jarang berkunjung ke sini. Lagipula untuk apa aku ambil pusing untuk mengurusi hal sepele seperti ini? Beberapa laporan memang masuk, tapi aku pikir benda ini sudah lama diperbaiki."
Benarkah? Siapa yang mengetahui fakta di balik pertanyaan itu. Baiklah, Bagus bukan pria bodoh. Akan tetapi, dia akan menggunakan cara sedikit licik untuk menaklukan si gadis jelita yang sudah membuat dirinya terpesona.
"Aku merasa seperti hendak dibodohi."
"Apa yang membuatmu akan mempercayaiku?"
Utari terlihat sibuk mempermainkan pinggiran tasnya. Sebenarnya ada banyak sekali hal yang ingin dia tanyakan kepada Bagus. Namun nyalinya seketika ciut, manakala pria itu menatap dalam.
"Baiklah, aku percaya! Bagaimana permainannya?"
Bagus Pandhita tampak menyeringai senang, dan Utari menyesal mengiyakan permintaan pria itu. Namun dia yakin, Bagus tidak akan meminta macam-macam darinya, atau dia akan merasakan akibatnya.
"Masing-masing dari kita hanya akan menebak berapa lama kira-kira benda ini akan terbuka. Jawaban yang paling mendekati, maka dialah yang akan menang."
"Baiklah, aku setuju. Lalu hadiahnya?"
Bersambung...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H