Mohon tunggu...
Yasintus Ariman
Yasintus Ariman Mohon Tunggu... Guru - Guru yang selalu ingin berbagi

Aktif di dua Blog Pribadi: gurukatolik.my.id dan recehan.my.id

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Jiwa Tersangkar

18 Desember 2017   11:56 Diperbarui: 18 Desember 2017   12:21 593
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perempuan itu berkata lugas penuh percaya diri. Ia tak menyangka kalau ia bisa berbicara layaknya seorang yang memiliki pengetahuan tinggi. Misel tak sanggup menanggapinya. Ia berlalu dari perempuan juru masak itu dan kembali ke kamarnya. Suasana hati dan pikirannya benar-benar kacau. Hancur. Berantakan.

"Aiishh, Tuhan...! Apa yang terjadi pada diriku? Aku sedemikian konyol di hadapan perempuan juru masak itu. Harkat dan martabatku hancur. Wahai perempuan pemuas syawat, sebegitu cerdaskah engkau di hadapanku hingga lidaku kelu menanggapi perkataan dan nasehat salehmu? Dan, tak berkutik di hadapanmu? Ketahuilah aku mengenyam pendidikan tinggi dan memahami segala sesuatu. Engkau, perempuan adalah degradasi laki-laki. Engkau diciptakan dari tulang rusuk laki-laki. Engkau ada setelah laki-laki ada. Bagaimana  engkau bisa menasehatiku seperti itu hingga seakan-akan perempuan diciptakan lebih awal dari laki-laki?"

Misel mengungkapkan kemarahan dan kegusaran di dalam kamarnya. Tetapi, percuma. Karena, hal itu tidak didengar oleh perempuan juru masak itu. Sekiranya perempuan juru masak itu mendengar kegusaran dan kemarahan Misel yang bernada penghinaan terhadap perempuan yang adalah dirinya, mungkin ceritanya berbeda.

Walau demikian, Misel menaruh dendam pada perempuan itu. Ia ingin agar perempuan juru masak itu mendengarkan secara langsung isi kemarahannya. Dan, kesempatan untuk bisa menjumpai perempuan itu hanya pagi hari. Itu pun jika ia bangun lebih awal dari semua penghuni rumah karantina.

Sebab, mereka sama sekali tidak diperkenankan untuk berduaan dengan perempuan. Dan adagium yang selalu hidup kekal dalam pikiran mereka ialah perempuan sebagai biang kerok atau faktor pencetus jatuhnya laki-laki ke dalam dosa.

Keesokan harinya Misel bangun lebih awal. Hasrat amarahnya menggebuh-gebuh untuk menghina perempuan juru masak itu. Pagi itu ia menunggu lebih awal dari balik jendela dapur. Tatkala perempuan itu datang, kemarahannya lenyap seketika. Yang muncul hanyalah hasrat seksual yang kian memuncak. Ia tidak bisa marah.

Perempuan juru masak itu datang dan melakukan aktivitasnya seperti biasa di dapur. Terbersit dalam pikirannya kalau Misel sedang mengintipnya dari balik jendela. Perempuan itu pun diam-diam menceknya. Dan ternyata benar. Misel sedang asyik dalam kesendiriannya. Melihat hal itu, muncul perasaan kasihan dalam dirinya:

"Misel, Misel. Engkau masih belum mengerti juga perkataanku kemarin. Engkau masih terjebak dalam perilaku yang sama. Aku kasihan padamu. Tapi aku tak berdaya. Aku tak mungkin melakukan hal seperti yang kau inginkan dan hal itu memang tidak sepatutnya aku lakukan."

Melihat tubuh Misel yang tampan, gaga perkasa, muncul keinginan perempuan itu untuk memuaskan hasrat seksual Misel. Namun hal itu urung ia lakukan. Ia tetap berpegang teguh pada pendiriannya bahwa Misel adalah pribadi yang dipersiapkan secara khusus untuk menjadi hamba Ilahi.

Dan, entah roh apa yang mendorong perempuan juru masak itu. Tiba-tiba mengambil sepotong balok. Perlahan-lahan ia berjalan mendekati Misel. Kali ini, ia tidak menyergapnya dengan suara lembutnya tetapi dengan sebatang balok yang ia tabuhkan dengan sekuat tenaga ke punggung Misel.

"Braaakkk! Mampus kau lelaki bermata mesum. Aku ingin menghentikan perilaku anehmu dengan balok yang digunakan sebagai alas untuk mencincang  daging babi kesukaan kalian semua di rumah karantina ini."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun