Sementara Misel asyik dengan perasaan amarah dalam hatinya, perempuan juru masak itu datang dan menjamah testanya. Misel kaget. Namun, tidak mengatakan apa-apa. Perempuan juru masak itu tersenyum melihat Misel berbaring tak berdaya. Dengan nada yang lembut namun tegas, ia berkata kepada Misel:
"Aku bisa saja mencekikmu sekarang. Tapi aku bukanlah seorang pembunuh. Aku perempuan yang tengah berjuang menyadarkanmu. Aku mencintai cita-citamu untuk menjadi pastor, imam selibater. Aku sama sekali tidak mencintai kemunafikanmu. Engkau ingin menjadikan aku sebagai pelampiasan syawatmu. Dan, aku membenci itu. Aku perempuan jelek dalam penilaian matamu dan mungkin saja menurut mata semua pria yang ada di sini. Tapi, aku masih memiliki harga diri, harkat dan martabat sebagai manusia yang layak dicintai dan bukan cuma sebagai obyek pemuas hasrat."
Mendengar itu, perasaan Misel semakin terpukul. Kini ia menyadari kalau apa yang dikatakan perempuan juru masak itu benar adanya. Ia tidak sanggup menanggapinya. Ia berusaha tersenyum meski hatinya kesal. Tapi dalam posisi seperti ini ia mengaku kalah untuk beradu argumentasi. Perempuan juru masak itu menghela nafasnya sejenak kemudian melanjutkan perkataannya:
"Jika engkau tidak menyadari perbuatanmu dan mengubah perilakumu, aku akan memberitahukan kepada pimpinanmu bahwa engkau sudah tidak layak lagi berada di rumah karantina. Aku akan melaporkan semua perbuatanmu terhadapku selama ini."
Perempuan juru masak itu sebenarnya tidak ingin melaporkan kejadian itu. Ia juga tidak mau menjadi penyebab seseorang menjadi gagal. Lagi pula ia memang senang menatap wajah Misel untuk waktu yang tak pasti.
Perkataan perempuan juru masak itu membuat Misel merasa terancam. Ia belum siap menerima kenyataan dikeluarkan dari rumah karantina. Wajahnya pucat dan berkeringat. Perempuan juru masak itu tahu kalau Misel benar-benar tidak menginginkan agar perbuatannya dilaporkan kepada pimpinannya. Hal itu akan membuatnya malu dan ia bakal diusir dari rumah karantina. Perempuan juru masak itu pun berlalu dan membiarkan Misel terpekur dalam kecemasannya sendiri:
"Aish...! Sialan! Baiklah. Aku tak bisa membantah perkataan perempuan juru masak itu. Semua yang dikatakannya benar adanya. Sebelum semuanya terjadi alangkah baiknya kalau aku menyatakan pengunduran diriku. Ini jauh lebih terhormat bila dibandingkan dengan hukuman dikeluarkan dari rumah karantina ini."
Misel menyiapkan batinnya. Sendiri dalam keheningan. Ada dorongan yang begitu kuat dalam dirinya untuk menanggalkan jubah putih, busana ekslusif untuk seorang rohaniwan dan calon rohaniwan. Ia memilih untuk melepaskannya secara terhormat. Ia tidak membenci busana itu. Tetapi, ia merasa bahwa ia sudah tidak layak lagi mengenakan busana yang menjadi simbol relasi yang khusus dengan Sang Ilahi. Ia akhirnya membulatkan niatnya untuk mengundurkan diri dan pamit di hadapan teman-temannya.
"Teng...teng...teng..."
Lagi-lagi, bunyi lonceng pecahkan kesunyian. Mengajak semua penghuni rumah karantina agar meninggalkan aktivitas pribadinya menuju perjamuan bersama. Misel juga ikut bergegas dengan hati gembira.
Jamuan makan malam bersama memang selalu membawa kenikmatan tersendiri baginya. Ia telah mempersiapkan diri untuk secara jujur dan berani menyampaikan kepada teman-temannya apa yang telah ia putuskan.