Kata pisah yang diucapkan Misel membuat kaget kawan-kawan seperjuangannya. Hati dan pikiran mereka bercampur baur antara percaya dan tidak percaya, yakin dan tidak yakin. Pasalnya, empat pilar utama penopang bangunan panggilan untuk hidup selibat yang Misel tunjukan yakni kerohanian, intelektual, kepribadian dan humaniora sama sekali tidak diragukan berdasarkan pengamatan dan penilaian mereka.
Namun, akhirnya mereka juga sadar dengan berlandaskan kebenaran iman kristiani bahwa jalan panggilan khusus untuk menjadi imam selibater itu memiliki aspek kemisteriannya. Sebab, hal itu bukanlah perkara manusia semata tetapi tetap dalam campur tangan Sang Ilahi.
Seusai makan malam, Misel kembali ke kamar dan mengemas barang-barangnya. Kawan-kawannya datang hendak menyampaikan salam perpisahan. Ia berjuang menahan air mata. Entah mengapa, ia benar-benar merasa sedih. Padahal kata pisah yang dia ungkapkan di ruang makan sangat berapi-api.
Waktu terus berjalan. Malam pun kian larut, satu persatu  kawan-kawannya meninggalkan Misel dan pergi ke kamar masing-masing untuk urusan rutinitas pribadi. Tinggalah Misel seorang diri dalam kamarnya yang sepi. Ia sungguh mengalami kesendirian. Ia belum bisa memejamkan matanya. Kalaupun ia menutup mata, hatinya tetap bangun.
Ia ingat pada ibunya yang tergolong fanatik dalam mendukung perjuangannya. Ibunya memiliki kehendak yang kuat agar Misel tetap bertahan di rumah karantina, selalu mengenakan jubah putih, dan harus menjadi seorang imam selibater.
Semenjak ditinggal pergi sang ayah yang memilih bunuh diri karena ulah ibunya yang doyan sekamar dengan pria lain, Misel bergantung sepenuhnya pada ibunya. Ibunya pun berjuang sendirian membiayai sekolah dan kehidupan Misel yang merupakan anak semata wayang.
Misel tak lagi mengingat masa lalu ibunya. Ia sudah memaafkannya dan bahwa ia tidak memiliki siapa-siapa, selain ibunya yang mencurahkan seluruh perhatian dan kasih sayang untuk dirinya. Ia tahu persis watak ibunya, perjuangan serta pengorbanannya. Misel selalu ingat wejangan sederhana yang tak pernah letih keluar dari mulut ibunya:
"Nana (sayang), engkau kuliah baik-baik, belajar yang rajin biar selesai tepat waktu. Bersikaplah ramah kepada teman-temanmu. Ingatlah perjuangan dan penderitaan ene(ibu )mu."
Pesan inilah yang selalu disampaikan ibunya setiap kali Misel meninggalkan kampung halaman guna melanjutkan pendidikan. Selama ia mengenyam pendidikan, wejangan yang sama selalu diuncapkan ibunya.
Misel membayangkan kembali bagaimana ibunya selalu bangun pagi-pagi untuk menyiapkan sarapan pagi, selanjutnya membangunkan Misel yang tengah terlelap dalam tidur. Kadang Misel memberontak. Namun, kasih keibuannya sanggup meluluh-lantakan ketegaran hatinya. Ibunya selalu membuat kripik pisang kesukaan Misel.
"Ini buat makan di jalan supaya jangan keluar uang lagi untuk beli jajan dalam perjalanan."