Suara perempuan juru masak itu makin kencang terdengar. Misel kalang kabut. Ia tidak ingin semua orang terbangun dan menyaksikan seorang perempuan berdiri di depan pintu kamarnya. Dalam keadaan panik, Misel membukakan pintu kamarnya.
Malam semakin suntuk, hening, tak ada bunyi-bunyian seperti jengkrik, longlongan anjing dan percikan air di kamar mandi pun tak kedengaran. Perempuan juru masak itu mengenakan gaun tidur tipis berwarna putih hingga membuat wajah hitamnya bercahaya. Ia menatap Misel dengan wajah garang penuh sindiran:
"Aku tak habis pikir, mengapa orang yang memiliki pengetahuan tinggi sepertimu begitu egois. Padahal bila dibandingkan dengan aku yang berpendidikan rendah dan hanya seorang perempuan juru masak, rasanya aku lebih cerdas dibandingkan kau. Ha...ha...ha..., kau hanya mementingkan dirimu sendiri. Keputusanmu untuk meninggalkan rumah karantina ini hanyalah keputusan sepihak. Kau hanya berpedoman pada hasrat murahan dan bukannya pertimbangan logika. Pikiranmu telah dikaburkan oleh hasrat egomu. Ha...ha...ha..., betapa bodohnya kau. Apakah kau tidak mempertimbangkan bagaimana ibumu yang selalu mendukungmu dengan harapan serta doanya yang tulus?"
Perempuan juru masak itu menghentikan ucapannya sejenak. Ia menarik nafas dalam-dalam kemudian menghebuskannya kembali dalam sekejab. Pria tampan nan gaga perkasa seperti Misel hanya bisa diam dan tertunduk dengan wajah penuh penyesalan. Kemudian perempuan juru masak itu melanjutkan perkataannya:
"Sesungguhnya kau telah mengecewakan ibumu yang adalah seorang perempuan sebagaimana aku juga kecewa padamu. Kau pasti menyesal namun Penyesalanmu tidak memiliki dampak apa-apa. Kau resmi keluar dari rumah karantina ini. Pergilah...! Semoga hari-harimu menyenangkan. Ha...ha...ha..."
Perempuan juru masak itu pun berlalu dalam sekejab mata. Malam kian larut. Semua penghuni rumah karantina terlelap dalam mimpinya masing-masing. Sementara Misel harus menerima cercaan dan hinaan dari perempuan juru masak. Perasaannya semakin hancur. Namun ia tidak bisa berbuat apa-apa hingga pagi menjemputnya.
Misel tentu tidak boleh lagi berlama-lama ada di rumah karantina. Ia sudah harus mengemas barang-barang bawaannya untuk segera pergi. Entah mengapa Ia merasa waktu seakan berjalan begitu cepat.
Pagi yang sebenarnya indah namun terasa menyesakan dada. Kawan-kawannya bergegas ke tempat kuliah. Mereka melambaikan tangan dan perlahan-lahan menghilang. Sungguh suatu lambaian perpisahan yang tak mungkin bersatu kembali seperti keadaan semula. Dan, benarlah bahwa segala sesuatu berubah, segala sesuatu mengalir.
Misel kembali terpekur bisu dalam kesendirian menunggu bus angkutan umum. Tak lama setelah itu, bus pun datang. Ia masuk ke dalam bus yang tak banyak penumpangnya. Dalam bus ia tidak ditemani siapa-siapa. Perasaan dan pikirannya bercampur baur, antara cercaan perempuan juru masak semalam dan upaya mempertanggungjawabkan keputusannya di hadapan ibunya.
Ia pun dihantui perasaan bersalah, karena telah menodai ketulusan dan perjuangan ibunya dalam menyekolahkannya. Ia juga telah menghancurkan obsesi ibunya yang menginginkannya untuk tetap menjadi pria berjubah putih dan menjadi imam selibater.
"Ene (ibu)..., tidakkah ene (ibu) tahu kalau aku sedang dalam perjalanan kembali ke rumah? Aku tidak membawa hasil sebagaimana yang ene (ibu) impikan. Aku hanya membawa segudang kekecewaan buat ene (ibu). Aku tak tahu, harus bagaimana. Inilah keputusan yang aku ambil bukti ketidaksanggupanku. Ene (ibu)..., kuharap ene (ibu) memahami keadaan serta keterbatasanku."