Mohon tunggu...
Munir Sara
Munir Sara Mohon Tunggu... Administrasi - Yakin Usaha Sampai

“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian” --Pramoedya Ananta Toer-- (muniersara@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Inflasi, antara Cinta dan Benci

13 Juli 2022   19:21 Diperbarui: 14 Juli 2022   07:15 465
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi inflasi. (sumber: SHUTTERSTOCK/SAUKO ANDREI via kompas.com)

Tentu saja kebijakan ini resisten terhadap output di sektor esensial seperti produksi pangan dan energi dalam negerinya. Namun menguatnya US dollar sebagai global currency, kebijakan The Fed, membuat AS lebih resilien dalam menghadapi volatilitas global.

Namun kebijakan hawkish negara-negara tersebut merugikan negara emerging countries. Misalnya, dengan terkereknya Fed Fund Rate, AS treasury yield kian seksi. 

US dollar kian manis sebagai safe haven asset atau defense assets saat pasar ekuitas global mengalami volatile. Aliran modal global akan cenderung mengalir ke pasar keuangan AS.

Akibatnya terjadi capital outflow di emerging countries. Hari-hari ini fenomena itu kita lihat. Index composite yang terkoreksi di bawah 7000, SBN yang sepi atau realisasi selalu di bawah target indikatif, memberikan signal gejala kekeringan likuiditas.

Sementara kita butuh likuiditas tersebut untuk pemulihan ekonomi dan investasi sektor produktif jangka panjang. Kekeringan likuiditas tersebut juga berdampak pada melemahnya kurs rupiah.

Melemahnya rupiah akan berdampak pada imported inflation dan cost push inflation. Dus, rata-rata industri dalam negeri, bergantung pada bahan baku dan penolong impor (faktor input). 

Oleh sebab itu, fenomena inflasi, memang wajar dalam siklus bisnis, tapi melihat risiko dan keberpihakan, adalah hal urgen dan tak kalah penting dengan cara menangani inflasi.

Tentu saja ada langkah fiskal diskresioner dan moneter diskresioner. Secara fiskal diskresioner, melalui penyesuaian belanja dan insentif. 

Demikian juga secara moneter, selain melalui kebijakan suku bunga, juga stabilisasi di sektor makroprudensial, intervensi di pasar spot dan mengatur transaksi Domestic Non Delivery Forward/DNDF, dalam rangka memoderasi inflasi agar tidak terlampaui tinggi atau di bawah asumsi APBN.

Pemerintah dan DPR mematok inflasi 3 persen dengan deviasi -+ 1 persen (dalam APBN 2022), maka dengan inflasi tahunan 4,35 persen (rilis BPS 1 Juli 2022), menggambarkan bahwa pertumbuhan ekonomi telah tergerus 1.34 persen. Dari inflasi umum tersebut, andil dan tingkat inflasi inti secara tahunan 2,63 persen.

Inflasi inti yang rendah, di bahwa 3 persen, menggambarkan inflasi akibat permintaan-penawaran barang dan jasa tidak begitu tinggi atau relatif terkendali. Atau output cenderung stabil terhadap permintaan agregat. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun