Artinya, kita membandingkan daya beli relatif kedua mata uang (dollar AS terhadap rupiah)---atas sejumlah barang dan jasa. Yang paling sering digunakan adalah standar Big Mac. Harga satu porsi besar McDonald di AS dan Indonesia.
Ada banyak loh, mereka pekerja serabutan, buruh tani dengan upah harian Rp.10 ribu - Rp.20 ribu/hari. Dengan konversi PPP/US$ Rp. 5.341,5, kira-kira cukup tidak untuk konsumsi kilo kalori 2.100 perkapita/hari? Ini belum aspek non makanan !
Kebayang tidak, dengan fixed income yang kecil, mereka kemakan inflasi harga pangan bergejolak, secara tahunan yang kini mencapai 10,07 persen menurut data BPS per 1 Juli 2022. Belum lagi pengeluaran non makanan.
Dari sinilah, saya berpandangan, ekonomi bukan sekedar kuantifikasi atas teori dan data atau theory choices tapi base on social class choices. Kita berpihak pada siapa?
Kekhawatiran
Wajar saja, orang khawatir terhadap inflasi. Karena ada hal yang akan memicu inflasi. Pertama, kebijakan moneter hawkish di negara-negara ekonomi utama. Kedua, gangguan rantai pasok global atas energi dan pangan.
Saya tidak melihat ekonomi di negara-negara utama atau AS alami overheating. Wong mereka stagflasi. AS contohnya, pertumbuhan ekonomi Q1-2022, negatif 1,6 persen secara tahunan. Atau Inggris ekonomi pada Q1-2022 melambat 0,8 persen. Sementara inflasi AS 8,6 persen, setali tiga uang Inggris.
Jadi pandangan ekonomi AS sudah overheating itu belum tentu benar. Karena makna ekonomi overheating sendiri, adalah siklus bisnis yang disebabkan kondisi perekonomian yang tumbuh positif, namun dibarengi dengan tingkat inflasi yang tinggi.
Utamanya akibat kenaikan daya beli masyarakat. Dalam siklus bisnis, kurva overheating itu berada pada menjelang puncak pertumbuhan ekonomi.
Yang terjadi saat ini di negara-negara utama adalah stagflasi, belum overheating. Kondisi dimana, terjadi perlambatan ekonomi bahkan bisa kontraksi, disertai tingginya harga komoditas akibat gangguan global supply chain.
Kebijakan moneter hawkish bank sentral di negara-negara utama, bertujuan untuk memoderasi pergerakan inflasi, agar memperkuat fundamental ekonomi negaranya.