Jaka Someh terdiam beberapa saat, sebelum akhirnya berkata dengan sopan kepada pak Rohadi
”Terima kasih banyak pak, atas tawarannya… tapi saya masih merasa berat kalau harus meninggalkan gubuk peninggalan orang tua saya...”
Pak Rohadi berkata
”Iya, iya…Bapak juga mengerti kamu pastinya berat untuk melepaskan segala sesuatu yang berkaitan dengan kenangan bersama orang tuamu. Hanya saja Bapak merasa punya kewajiban untuk merawat kamu…anak dari sahabat Bapak sendiri yang sudah Bapak anggap sebagai saudara sendiri… bapak benar-benar menerima Jang Someh dengan tangan terbuka”.
Ketika Jaka Someh dan pak Rohadi sedang asyik mengobrol, tiba-tiba terdengar suara orang yang datang, rupanya orang tersebut adalah Asih, putri semata wayang pak Rohadi. Dia sudah ada di dekat pintu rumah, di temani dua pemuda yang kelihatan eksentrik. Dua lelaki yang baru dikenalnya sewaktu nonton pagelaran wayang golek seminggu yang lalu. Pemuda itu bernama Panji dan Udan. Panji yang memiliki wajah tampan dan pandai mengucapkan kata-kata gombal dengan mudahnya membuai hati Asih yang masih polos.
Hanya berselang dua hari semenjak pertemuan itu, mereka sudah saling mengikat jalinan asmara. Asih berkata manja kepada Panji
“Ayo, kang Panji masuk dulu ke rumah, Asih ingin mengenalkan akang ke bapak”
Panji menjawab pelan sembari tersenyum simpul
“Nanti saja ya nyai...lain kali saja...! Akang sekarang sedang terburu-buru...ada keperluan yang harus akang selesaikan segera hari ini…”
Asih terlihat kecewa dengan penolakan Panji. Dia pun segera memegang tangan Panji dengan mesra, seakan` tidak mau berpisah dengan pujaan hatinya itu
”Ada Keperluan apa sih Kang…? Koq buru-buru begitu...ayo masuk dulu kang… sebentar...saja…!”