Wanita itu memutar tubuhnya hingga bisa kulihat wajahnya. Dan....
Tubuhku membeku dalam sekejap, semua di sekelilingku seakan runtuh. Sebuah wajah yang pernah kukenali, yang selama ini ingin kutenggelamkan-bersama rasa perih yang tak pernah bisa kuredam. Wajah itu, kini muncul di hadapanku. Begitu jelas! Wajah yang kupikir tak bisa lagi kutatap, yang hanya bisa kuingat dalam kenangan.Â
Dan wajah itu, menampakan ekspresi yang sama kagetnya dengan diriku. Tentu ia juga tak akan mengira kami bisa bertatapan lagi seperti saat ini.
"Wil," Reo menepuk bahuku, membuatku tersadar hingga mengalihkan pandangan ke arahnya. "Bukan saatnya terpesona dengan seseorang," ia masih bisa menyelipkan candaan dalam situasi seperti ini!Â
"Apa yang bisa kubantu?"
"Mungkin suster Nita sudah menjelaskanya padamu, sebelumnya..." ia menatap wanita itu, "ini Bu Hanggono, putrinya yang mengalami kecelakaan,"Â
"Ouh," sahutku. Kami berpandangan kembali, lalu kuangsurkan tangan seraya memperkenalkan diri. "Wildan,"
Ia tak langsung menyambut, matanya masih mengarah padaku. Dan perlahan turun menatap tangan yang terjulur menunggu sambutannya. Perlahan ia mengangkat tangannya yang putih, menggenggam tanganku dengan lembut.Â
Tubuh ini sedikit terlonjak, seperti ada aliran listrik yang menyengat saat kulit kami bersentuhan. Ia tak berubah, tangannya masih selembut dulu, masih menyalurkan aliran arus yang membuatku bergetar. Tapi karena aku tak ingin terjebak ke jurang kembali maka harus kusudahi jabatan kami.
Reo menatap dengan penuh selidik. Tapi ia cukup profesional hingga lebih mengutamakan tugas.
"Dan yang tadi suaminya, Pak Defian Hanggono," seru Reo. Tapi pria itu sudah menghilang, mungkin terlalu frustasi! "Putri mereka, kehilangan banyak darah, sementara operasi harus segera dilakukan. Dan sampai detik ini kami belum menemukan golongan darah yang cocok. Itu sebabnya kami membutuhkan bantuanmu, karena di tempat ini... yang kutahu-kau memiliki golongan darah yang sama. Apa kau bersedia membantu?"Â