Part 4
Sebelumnya, Part 3
"Jadi, apakah itu perbuatanmu?" tanya Magnolia menatap Nikho tanpa kedip.Â
Nikho tak menyahut. Hal itu sudah menjadi jawaban pasti bagi Magnolia, rasa kecewa dan marah bercampur.
"Kenapa?" desisnya, "Kenapa kau lakukan itu?"
Nikho tetap berusaha tenang, "Karena aku tidak suka kau bekerja di sana."
"Itu bukan urusanmu,"
"Apa kau tidak sadar? Saat kau berdiri di sana, banyak pria yang menatapmu liar. Tentu saja kau tahu apa yang ada dalam pikiran mereka, kau mungkin juga masih ingat saat pertama kita bertemu, apa yang terjadi padamu?" seru Nikho sedikit geram. "Itu adalah salah satu akibat dari pekerjaanmu!"
"Ya, aku tahu. Aku tahu resikonya dari awal ... aku akan sering bertemu dengan orang-orang sepertimu. Apa kau tidak ingat bahwa kau juga memandangku sama seperti mereka, kau mendatangiku dengan niat yang sama dengan mereka. Kau ... tidak ada bedanya."
Nikho mengeraskan rahangnya.Â
Sementara Magnolia mulai bangkit dari duduknya dan mengayunkan kaki menuju pintu keluar. Nikho mengepalkan tinjunya sejenak lalu menyusul dengan langkah lebar. Dengan cepat dia meraih lengan wanita itu, memutar tubuhnya hingga mereka berhadapan.Â
"Kau tidak bisa pergi dari sini, kita belum selesai!" geramnya.
"Lepaskan aku!" ronta Magnolia.Â
"Tidak."
"Lepaskan!"
"Kau hanya boleh pergi dengan ijinku."
"Lepaskan aku atau aku akan berteriak!" ancam Magnolia masih dengan ronta kecilnya.
"Teriak saja, tidak akan ada yang menolongmu di sini," tantang Nikho.
Magnolia terdiam, dia menyadari sesuatu. Matanya menyapu ke sekelilingnya. Semua orang yang ada di ruangan itu, mereka tampak tidak peduli dengan apa yang terjadi. Mereka pasti bukan pelayan restoran, mereka adalah ....
Anak buah Nikho!
Jadi pria itu menjebak dirinya? Berpura-pura mengajak makan malam. Tapi ternyata mereka dikelilingi anak buah pria itu! Pandangan Magnolia kembali ke wajah Nikho. Ada sesuatu yang menghantam dadanya saat mata mereka beradu.Â
Tatapan tajam itu!
Tapi kenapa Nikho lakukan semua itu?
"Apa yang kauinginkan?" tanya Magnolia.
"Bukankah sudah kukatakan," sahut Nikho tegas.Â
"Kau tahu, kenapa aku tidak suka berurusan dengan orang sepertimu?" tanya Magnolia. Nikho hanya diam, menunggu kelanjutan kalimat wanita itu. "Karena seperti inilah yang terjadi, kalian sok berkuasa dengan uang dan kekuatan. Memaksakan kehendak kalian sesuka hati, menghalalkan segala cara. Itulah hal yang paling kubenci ... tidak semua, bisa kau beli dengan uang dan kekuasaan. Khususnya diriku, jika kau pikir dengan membuatku kehilangan pekerjaan aku akan menyerahkan diriku padamu. Itu tidak akan terjadi. Aku ... tidak akan menyerahkan diriku pada orang sepertimu!" Tegas Magnolia melepaskan diri dengan kasar dan meninggalkan tempat itu.
Nikho terpaku di tempatnya. Mencoba mencerna ucapan wanita itu, dirinya sudah berusaha bersikap lembut. Tapi kenapa selalu berakhir seperti ini?
Aku berdiri bersandar mobil di halaman depan restoran. Sengaja aku menyusul untuk mengetahui perkembangan dua orang itu. Kuharap kali ini mereka akan memiliki malam yang lebih manis. Tapi anganku hilang saat kulihat Magnolia muncul dari pintu restoran dengan mata sembab. Aku tahu terjadi hal diluar rencana yang kusiapkan untuk mereka. Pasti Nikho mengacau lagi!
Magnolia melihatku tapi dia tak peduli, dia terus berjalan cepat meninggalkan restoran. Aku terpaksa mengejarnya.
"Lia, tunggu!" panggilku.Â
Wanita itu tak memedulikan seruanku. "Lia!"
Dia malah berlari, aku pun ikut berlari mengejarnya. Kuraih lengannya dan dia meronta. Berteriak memintaku untuk melepaskannya. Tapi aku tak bisa melepaskannya. Dan dia kian kuat meronta seraya memukuliku dengan tasnya.
Karena dia sepertinya mengamuk, aku harus meraih tubuhnya dan memeluknya dari belakang untuk menenangkannya.
Dia menangis dan masih berteriak meminta kulepaskan.Â
"Lepaskan aku!" tangisnya.
"Tenanglah, aku tidak akan menyakitimu." bujukku.Â
"Tidakkkk ...."
"Percayalah padaku, aku akan melepaskanmu tapi kau harus tenang!" janjiku.
Perlahan dia mulai tenang, hanya isak tangis yang tersisa. Aku pun mukai melepaskan dekapanku. Kutatap punggungnya yang berguncang lembut.
"Apa yang terjadi di sana?" tanyaku lembut.
Dia menolehku. "Kau bertanya apa yang terjadi? Bukankah kau tahu apa yang terjadi?" serunya berbalik tanya.
Aku hanya menatapnya sebagai jawaban tidak.
"Kalian semuanya sama, kalian pikir siapa kalian? Tuhan! Hingga merasa berhak menentukan nasib seseorang!" serunya. "Apa sebenarnya yang kalian mau?"
"Lia,"
"Katakan padaku apa yang dia inginkan, kenapa dia terus menggangguku?"
"Nikho menyukaimu dan dia menginginkanmu."
"Tubuhku," potongnya, "tepatnya tubuhku. Dan kau melakukan segalanya untuk membantu niatnya, kau mengikutiku sepanjang waktu. Menyuruh seseorang mengawasi rumahku, dan sekarang lihat apa yang kalian lakukan?"
"Maafkan aku,"
"Apa kalian tahu?" potongnya, "Adikku koma di rumah sakit, hidupnya tergantung pada peralatan yang tersambung ke tubuhnya. Dan itu semua, membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Dan kalian membuatku kehilangan pekerjaanku. Â Sekarang, bagaimana aku bisa membuat adikku terus bertahan?" tangisnya terisak. Airmata memenuhi wajah cantiknya. Kubiarkan dia menumpahkan amarah dan tangisnya sampai beberapa menit, lalu dia menyeka airmatanya sendiri dengan telapak tangan. Menghela nafas panjang lalu berseru,
"Sudahlah, kau tidak akan mengerti!" dia memutar tubuhnya dan mulai melangkah.
"Lia," panggilku menghentikan langkahnya. "Biarkan aku mengantarmu, sekaligus ... ada yang ingin kubicarakan."
Dia masih memunggungiku, bergeming.
* * *
Dia mengijinkanku ikut ke rumah sakit, seorang wanita paruh baya duduk di sofa seraya membaca surat kabar. Sebuah tongkat tersandar di sisinya. Senyum wanita itu mengembang saat melihat putrinya masuk.Â
"Lia, kenapa kau ke sini? Bukankah harusnya kau bekerja?"Â
"Aku merasa tidak enak badan, Ma. Jadi ijin cuti dulu," bohongnya tanpa menatap wajah mamanya untuk menyembunyikan kebenaran.Â
Seorang pemuda tampan terbaring tak berdsya di ranjang pasien. Beberapa selang terhubung ke tubuhnya.Â
Magnolia menatap pemuda itu, sementara  mamanya terus menatapku. Jadi kuhampiri dia dan menjabat tangannya. "Saya Ervan, teman Lia."
Magnolia menolehku saat kukatakan itu, mamanya hanya tersenyum padaku. Lalu wanita itu melepaskan surat kabarnya, memungut tongkat itu dan menggunakannya sebagai penyangga saat dirinya berjalan. Rupanya wanita itu pincang!
Dia menghampiri Magnolia dan berbisik. "Lia, bagaimana? Kau sudah meminjam uang dari menejermu?"
Magnolia terdiam. Dia melirikku sejenak.Â
"Ma," desisnya,
"Apa Pak Edy tidak mau meminjamkannya?" terka mamanya, "lalu bagaimana dengan Orion? Kau dengar sendiri dokter bilang apa, kan? Keadaan Rion semakin menurun, dia membutuhkan perawatan yang lebih intensif dan untuk itu kita harus membayar dua kali lipat atau Rion ...." mamanya tidak melanjutkan kalinatnya. Tapi justru terisak pilu.
"Ma, tidak akan terjadi sesuatu pada Rion. Kita akan melakukan yang terbaik, aku tidak akan membiarkan perawatan Rion terhenti. Mama jangan khawatir, aku sudah mendapatkan uangnya, tapi ... hanya separuh," jelas Magnolia. Wajah mamanya sudah mulai panik. Tapi Magnolia segera menanggapi, "aku akan berbicara pada pihak administrasi besok, semoga saja mereka bisa memberi keringanan,"
Dan mamanya kian terisak. Hal itu justru menbuat Magnolia yang menjadi panik.
"Mama jangan menangis, kita tidak akan kehilangan Rion," serunya menenangkan.
"Tidak, bukan itu ... Mama hanya, maafkan Mama, karena Mama tidak bisa melakukan apa pun. Mama membiarkanmu menanggung semua ini sendirian, Mama tidak bisa membantumu, maafkan Mama ...."
Magnolia menyentuh kedua bahu mamanya, "Mama jangan bicara seperti itu, ini adalah tanggungjawabku untuk mengurus Mama dan Rion."
"Tapi setidaknya,"
"Ma," potongnya, "Mama jangan khawatirkan apa pun. Semua akan baik-baik saja," katanya lalu memeluk mamanya. Dua wanita itu menangis bersama dalam peluk.Â
* * *
Pagi itu Magnolia datang ke ruang administrasi, dia berniat membayar separuh biaya yang harus ditanggung untuk perawatan Orion.
"Maaf, Bu. Saya ingin membayar biaya administrasi untuk pasien atas nama Orion Dewantara," serunya.
"Sebentar ya, Mbak!" wanita itu mengecek data pasien terlebih dahulu, setelah ditemukan dia kembali mendongak ke arah Magnolia. "Maaf, Mbak. Tapi ... biaya administrasi untuk pasien atas nama Orion Dewantara sudah lunas. Bahkan di sini  tertera bahwa biayanya sudah tertangung sampai pasien bisa sembuh,"
"Apa?" seru Magnolia dengan mata melebar.
Bersambung ....
Selanjutnya, Part 5
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H