Mohon tunggu...
Y. Airy
Y. Airy Mohon Tunggu... Freelance Writer -

Hanya seseorang yang mencintai kata, Meraciknya.... Facebook ; Yalie Airy Twitter ; @itsmejustairy, Blog : duniafiksiyairy.wordpess.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Wild Sakura #Part 23; Kita Tak Bisa Menawar pada Siapa Kita Akan Jatuh Cinta

23 Mei 2016   14:24 Diperbarui: 23 Mei 2016   14:35 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="mongkey al dante.devianart.com"][/caption] 

 

Sebelumnya, Wild Sakura #Part 22 ; Aku Jatuh-Cinta-pada-Kalian-Berdua

Di dalam ruangan bersekat empat, bercat putih, di kelilingi cowo-cewe yang mengenakan seragam yang sama, Dimas duduk menatap ke depan. Ke arah bu Inez yang tengah menerangkan tentang pengertian Haiku, kebanyakan anak cowo memusatkan perhatiannya setiap kali pelajaran Sastra berlangsung, tapi pusat perhatian mereka lebih kepada sang guru. Karena guru sastra yang satu ini memang cantik, seksi, ramah, tapi cukup tegas.

Saat ini fokus Dimas sedang melayang ke beberapa saat lalu, dengan pernyataan Sonia. Satu sisi ia senang mengetahui bahwa Sonia juga mencintainya, tapi di sisi lain___ada rasa sakit yang terselip karena ia bukanlah satu-satunya orang yang di cintai oleh gadis itu. Terlebih untuk saat ini, Sonia memilih untuk mengesampingkan soal cinta.

"Aku memang mencintai kamu Di, aku nggak mengingkari hal itu. Tapi aku juga nggak bisa mengingkari perasaanku terhadap Rocky. Tapi saat ini..., bisakah kita nggak memikirkan hal ini dulu?____aku___aku baru saja datang ke kota ini. Aku bahkan belum memulai niatku datang ke sini, karena aku memang nggak tahu harus memulainya darimana?" aku Sonia. Sebutir airmata menggelinding dari mata indahnya. Dimas menatapnya termangu.

"Adanya Erik, lalu kamu___Gio, Bayu dan Ian. Aku merasa memiliki sebuah keluarga, apalagi..., pak Andi dan bu Tiwi yang sangat baik. Dan aku belum siap, jika harus kehilangan keluarga lagi."

Hening menyelimuti. Dimas menatap mata Sonia yang memerah, menatapnya dengan penuh harap, ada ketidakberdayaan di sana. Tapi juga ada sebuah kekuatan yang tak mampu Dimas terka untuk apa! Tapi yang pasti, ia tahu telah terjadi sesuatu terhadap gadis itu.

"Kamu berbicara seolah ada yang mau menyingkirkanmu jauh, ada yang mengancam kamu kan?" terka Dimas. Sonia sedikit menjauhkan arah pandangannya dari mata Dimas.

"Siapa?" desis Dimas, "siapa yang mengancam kamu, Nancy...atau papaku?" lanjutnya. Sonia tak menyahut, ia justru menyeka airmatanya. Membalikan tubuhnya kembali dan melanjutkan menjemur pakaiannya.

"Sonia!"

"Nggak ada yang mengancamku Di!" potongnya, "hanya___aku merasa lebih nyaman jika hubungan kita tetap seperti ini!" ia kembali tak bergerak, "setidaknya untuk saat ini, itu saja!"

"Tapi kamu nggak akan menjauh dari aku kan?"

Sonia kembali menoleh, membalas tatapan pemuda itu,(maafkan aku Di, aku bisa saja menjauh dari kamu. Tapi ku rasa..., akan ku terima tantangan papamu dengan tetap bertahan di sini. Walau hanya sebagai temanmu!) bisik hatinya. Tadinya ia ingin menyerah. Tapi ia juga akan membuktikan bahwa ia tak selemah itu, yang akan gentar dengan gertakan dan ancaman. Ia akan bertahan. Ia memang tak ingin bermusuhan dengan siapapun, tapi ia hanya ingin mempertahankan haknya sebagai manusia. Itu saja.

Dimas masih terbuai oleh angannya, ia yakin pasti ada yang sudah memgancam Sonia. Dan ia harus tahu siapa orangnya! Selain itu, ia harus membuktikan bahwa ia jauh lebih layak mendapatkan cinta gadis itu daripada Rocky.

THACKK!

Lamunannya buyar seketika saat kepalanya tersentuh sesuatu yang membuatnya sedikit sakit, ia terkesiap memegangi sisi kepalanya sembari mencari benda apa yang baru saja membelai kepalanya itu. Rupanya sebuah spidol yang kini terabaikan di lantai tak jauh dari kakinya. Semua mata masih mengarah padanya.

"Dimas Pradipta Mahendra!" suara bu Inez yang lembut nan tegas menyerukan namanya, iapun menatap ke arah guru cantik itu, "tolong beri satu contoh haikuyang kamu tahu?" pinta bu Inez.

"E..., saya bu?"

"Saya rasa kamu mendengar saya menyebutkan nama kamu, iya bukan?" kata bu Inez meletakan kedua telapak tangannya di meja. Membuat tubuhnya sedikit mencondong ke depan.

"Ehm..., ehm...!"

"Kamu tidak mendengarkan?"

"E, saya...!"

"Kamu tahu apa itu haiku?"

"Haiku...," desisnya lirih, matanya berputar untuk mencoba mengingat apa yang ia tahu. Tapi saat ini isi otaknya bukanlah tentang sastra melainkan Sonia, "e..., itu..., sastra Jepang - bu!" sahut Dimas. Bu Inez sedikit mendengus kesal dengan sahutan Dimas. Tapi ia masih ingin sabar.

"Bisa kamu mendeskripsikannya dan memberi sebuah contoh haiku yang populer?"

"Ehm...," ia menggaruk lehernya yang tak gatal. Celingukan, terlihat oleh matanya Gio menggeleng dan membiarkannya kebingungan.

"Keluar dari kelas saya Dimas!" suruh bu Inez. Dimas sedikit melebarkan bola matanya, "bu, tapi...!" katanya yang segera di potong oleh bu Inez kembali, "keluar dari kelas saya dan berdiri di lapangan!" suruhnya, "hormat pada sang Saka Merah Putih dan jewer satu kupingmu, jangan berhenti sebelum bell istirahat!" tegas Bu Inez. Hampir semua anak hendak tertawa, tapi melihat keseriusan guru mereka yang cantik, mereka tak berani menggelakan tawa. Hanya cekikikan saja menatapi Dimas yang hampir tak pernah kena hukuman.

Ini adalah kali kedua ia di keluarkan dari kelas karena memikirkan Sonia. Dimas menekuk wajahnya yang memerah lalu berjalan keluar, "dan Dimas!" panggil bu Inez menghentikan langkah pemuda itu, "jangan lupa angkat satu kakimu juga ya?" tambah bu Inez. Dimas kian kesal, ia berjalan cepat menuju lapangan dan melaksakan hukumannya. Bu Inezpun kembali melanjutkan pelajaran.

* * *  

Rocky kembali mengetuk pintu kamar Sonia, dan masih sama. Tak ada tanggapan. Jadi ia yakin gadis itu tak ada di kamarnya, ia kembali mencoba menghubunginya. Masih aktif, tapi juga sama, tak di angkat. Kirim pesanpun percuma. Tak akan di balas. Jadi ia kembali menelpon om Edwan. Di jam segini, ia tak mungkin berfikir Sonia bersama Dimas karena pemuda itu pasti masih berada di sekolah. Jadi orang pertama yang muncul di benaknya adalah om Edwan karena akhir-akhir ini Sonia dekat dengan pria itu.

Edwan menerima panggilan itu seraya melirik Sonia yang sedang menggigit D'Creppes coklat pisang keju, mereka duduk di sebuah coffeshop di dalam sebuah shopping center. Soniapun meliriknya,

"Hallo!" sapa Edwan.

"Hallo om!"

"Ada apa?"

"Apakah Sonia bersama om?" tanya Rocky seraya membuka pintu mobilnya, ia meletakan salah satu tangannya di atas mobilnya, "om, aku mohon..., bisakah aku bicara dengannya?"

Edwan menatap Sonia yang kini diam mengamatinya, ia menggumankan nama Rocky pada Sonia. Mata Sonia sedikit melebar, lalu ia menggeleng. Edwan mengerti isyarat itu, "maaf Rocky, tapi sepertinya...untuk saat ini Sonia belum siap bicara denganmu!"

"Aku tahu Nancy telah menemuinya, itu sebabnya Sonia nggak mau bicara padaku kan?"

"Mungkin akan lebih baik jika kalian bertemu langsung!" celetuk Edwan. Sonia kembali melebarkan mata menatapnya, seolah sebuah protes.

"Bagaimana kami bisa bertemu jika melihatku saja dia sudah kabur dulu!"

"Ehm..., ok Rocky. Nanti ku hubungi lagi!" sahutnya mematikan saluran, "tapi om...!" seru Rocky terputus. Ia bahkan belum mendapat tanggapan dari Edwan tentang Sonia yang menghindarinya, tapi pria itu malah menutup teleponnya. Itu membuatnya kesal, dan mulai berfikir negatif kembali.

Edwan membalas tatapan Sonia yang memprotes ucapannya tadi.

"Sebaiknya kamu bicara dengan Rocky, selesaikan masalah kalian. Itu akan jauh lebih baik!" saran Edwan. Sonia menurunkan pandangannya ke meja, om Edwan benar. Ia harus menyelesaikan masalah ini secepatnya, sama seperti saat ia bicara dengan Dimas. Tapi entah, kenapa ia merasa lebih sulit untuk mengambil keputusan mengenai Rocky? Berhadapan dengan Rocky memang tak semudah saat ia bersama Dimas. Sejak awal, ia menyadari hal itu.

"Om, haruskah aku___" ia memutus kalimatnya sendiri. Edwan menunggunya merampungkan, "aku nggak mau menyakiti siapapun, termasuk Nancy. Bagaimanapun, dia lebih berhak atas Rocky kan?"

"Rocky tak pernah mencintainya!"

"Tapi Nancy mencintainya___aku juga seorang gadis om. Aku juga pasti marah, jika ada yang merebut orang yang ku cintai!" potongnya.

"Tapi kita tak bisa menawar takdir, kita juga tak bisa menawar pada siapa kita akan jatuh cinta!"

Sonia terdiam dengan ucapan Edwan. Itu benar sekali. Karena ia mengalami hal itu. Ia tak ingin jatuh cinta pada pria-pira dari keluarga kaya, tapi pada kenyataannya..., ia bahkan tak hanya jatuh cinta pada satu orang saja. Dan hal itu mulai menggores luka di ruang hidupnya, bahkan di hati orang lain.

Hardi menatap Joni dengan tatapan tak percaya, orang kepercayaannya untuk mengatasi segala macam masalah itu baru saja memberinya informasi yang sungguh mencengangkan.

"Kamu jangan main-main?"

"Saya melihatnya sendiri bos!"

Kini Hardi menggerutu, ini sudah sungguh keterlaluan. Ia tak akan tinggal diam lagi, tak seorangpun boleh menghancurkan kebahagiaan putrinya. Tidak seperti saat ia kehilangan seluruh kebahagiaannya, hingga jiwanya seolah ikut menghilang. Dan membuatnya hancur. Ia tidak akan menghalangi putrinya untuk mencintai siapapun, untuk memiliki orang yang di cintainya. Ia akan lakukan apapun agar putrinya bisa bahagia, apapun!

"Aku mau kalian lalukan apa yang harus di lakukan, aku tidak mau mendengar kalian gagal lagi!"

"Siap bos!" sahut Joni lalu keluar dari ruangannya. Joni memang di beri keleluasaan untuk keluar masuk kantor sesuka hati. Dulu ia adalah sopir pribadinya, tapi karena memiliki kelebihan lain dan memang cukup setia terhadapa Hardi. Maka Hardi menjadikannya sebagai tangan kanan untuk masalah-masalah yang bisa mengganggu jalannya. Sebelum bekerja menjadi sopir Hardi Subrata, Joni Kohar adalah mantan preman di dusunnya. Ia berhenti jadi preman atas permintaan terakhir ibunya sebelum meninggal. Maka iapun melamar menjadi sopir, berpindah-pindah majikan hingga menetap pada Hardi Subrata.

Hardi memejamkan mata ketika pagi ini Nancy menyelonong masuk ke dalam kamar saat ia dan Nera masih terlelap, gadis itu mendudukan diri dengan kesal hingga kasurnya memantul. Membuat dirinya terjaga,

"Hei, kenapa kamu menangis sayang?" tanyanya seraya bangkit duduk. Tangis Nancy kian menjadi, "pa..., Rocky..., dia nggak pernah mengangkat teleponku lagi. Dan tadi saat mengangkat teleponku, dia malah bilang kalau pertunangan kami batal. Dia nggak bisa seenaknya gitu dong pa...," tangisnya mengadu.

"Mungkin dia hanya bercanda, sayang!"

"Bercanda, pa...ini sungguhan. Dia bahkan bilang kalau aku harus mencari orang lain yang lebih cocok denganku, ini keterlaluan pa. Ini pasti karena gadis miskin itu. Pa..., aku nggak mau kalau harus bersaing dengan gadis miskin itu, aku mau Rocky kembali sama aku!"

Nancy tak berhenti mengoceh dan menangis bahkan sampai Nera ikut terbangun, lalu marah-marah mengetahui apa yang membuat putrinya menangis seperti itu. Hardi membuka matanya kembali. Nancy adalah satu-satunya harapannya, kebahagiaannya. Setelah ia gagal menemukan, setelah ia putus asa mencari. Ia tidak mau kehilangan lagi, tidak akan.

Edwan membawa Sonia memasuki sebuah restoran nusantara, pemiliknya adalah teman kuliahnya. Resto itu warisan dari keluarga, meski Reza lulusan Sarjana Ekonomi ia tetap melanjutkan bisnis keluarga sejak ibunya meninggal.

Sonia duduk di salah satu meja pengunjung, menikmati segelas minuman segar, sementara Edwan berbincang dengan Reza di ruangan Reza.

"Aku mohon padamu, tolong ijinkan dia bekerja di sini. Dia sangat rajin dan pekerja keras, aku tidak tahu lagi harus minta tolong pada siapa!"

Reza menatap Edwan dengan penuh selidik, lalu menyunggingkan senyum yang membuat Edwan merona, "sepertinya gadis ini sangat istimewa, sampai kamu memohon-mohon begitu padaku?"

"Aku tidak sedang bercanda Re!" dalihnya.

"Sebenarnya aku tidak sedang membutuhkan pegawai, tapi...berhubung kita teman. Oklah, tak apa. Dia boleh bekerja di sini, dan kamu jangan kuatir, rahasianya aman!" janjinya. Edwan memang menceritakan semua tentang latarbelakamg Sonia yang ia tahu karena ia pikir itu lebih baik daripada Reza tahu belakangan.

"Dan mana dia, aku jadi penasaran seperti apa gadis itu?" goda Reza dengan senyum nakal seraya bangkit dari duduknya. Edwan mendengus dengan godaan itu, kasusnya sama dengan Dimas. Selama ini ia tak pernah terlalu peduli dengan wanita manapun, dan tiba-tiba saja begitu respect terhadap seorang gadis. Masih muda lagi, pasti gadis itu gadis yang istimewa. Jelas saja geliatnya mudah di kenali oleh orang-orang teedekatnya.

Edwanpun bangkit dan keluar lebih dulu dari ruangan itu, Reza di belakangnya. Mereka berjalan menuju meja di sudut ruangan di dekat kaca, dari jaraknya...Reza sudah bisa melihat seorang gadis muda yang cantik dan sederhana tengah melamun menatap lalu-lalang di luar resto. Reza menyunggingkan senyum,

Ah, selera Edwan masih sama. Gadis sederhana yang cantik dan menawan, kapan aku bisa menemukan gadis secantik itu?

Reza melirik Edwan yang kini berjalan di sampingnya dengan seringai nakal, tapi ada rasa iri yang terselip di dalamnya. Gadis yang mampu membuat Edwan bertekuk lutut selalu memiliki wajah yang rupawan. Tapi kali ini, akankah cinta sahabatnya itu berbalas?

"Sonia, maaf!" seru Edwan membuyarkan lamunan gadis itu. Sonia segera menoleh dan berdiri, "lama ya menunggu kami?" tanya Edwan. Sonia mengulas senyum,

"Nggak apa-apa om, kan aku juga nggak ada kerjaan!"

"O ya, ini Reza. Temanku dan...pemilik tempat ini!" kata Edwan mengenalkan. Reza mengulurkan tangannya ke arah Sonia, "Reza!"

Soniapun menyambut tangan itu dengan menyebutkan namanya, "Sonia!" desisnya. Reza menjinjing satu alisnya, "Sonia, nama yang cocok!" pujinya dengan mengulum senyum. Sonia tak menampakan ekspresi apapun, biasanya seorang gadis akan merona saat di puji. Rupanya gadis ini tak haus akan pujian.

Mereka lalu duduk bersama, "ok, Sonia. Ed sudah menceritakan tentangmu padaku, mulai besok..., kamu boleh bekerja di sini!" serunya.

Mata Sonia terbelalak, "A-apa!" serunya spontan menatap Reza lalu beralih ke Edwan, "om..., ini maksudnya apa?" tanyanya heran.

"Seperti yang kamu dengar, kamu bisa bekerja di sini?" sahut Edwan. Ia memang tidak memberitahukan Sonia tentang niatnya membawa Sonia ke tempat Reza, ini adalah salah satu kejutan untuk gadis itu. Ia tahu Sonia pasti bingung harus bekerja dimana setelah di pecat dari kedai soto. Ia bisa saja memberikan apapun yang Sonia butuhkan, tapi ia tahu Sonia bukanlah gadis yang mudah menerima uluran tangan orang lain. Jadi solusinya hanya satu, membantunya mencari pekerjaan.

"Kamu jangan kuatir, aku tidak akan menjadikanmu tukang cuci piring disini, atau menyikat lantai!" tukas Reza, "nanti..., Edwan bisa memutus hubungan persahabatan kami!"

"Ja-jadi...om meminta teman om ini untuk memberiku pekerjaan om?" tanyanya pada Edwan, "om...ini...!"

"Kamu butuh pekerjaan ini kan?" potong Edwan , "kamu jangan kuatir, Reza orang yang baik. Lagipula...mencari pekerjaan di kota ini cukup susah!"

"Aku terus saja merepotkan om!"

"Jangan pernah bicara seperti itu!"

Keheningan menyelimuti untuk sekian detik, dan terpecah oleh suara Reza yang merasa harus menghangatkan suasana, "ehm, Sonia. Tapi saya harap karyawan lain jangan sampai tahu kalau saya terima kamu tanpa surat lamaran, nggak enak sama mereka!"

"I-iya pak!"

* * *

Sebuah file terbanting ke meja. Mata Rocky jatuh ke sana, "belakangan ini kamu sangat tidak serius dengan pekerjaanmu, lihatlah..., bagaimana kita bisa kehilangan tender penting seperti ini?" hardik Danu.

Rocky masih bergeming. Berdiri di tempatnya.

"Apakah di otakmu hanya ada gadis jalan itu sampai urusan kantor jadi berantakan, kamu sudah menjadi Vice Presiden di sini Rocky. Mana tanggungjawabmu, bersikaplah profesional!"

"Maaf pa!"

"Bagaimana dengan proyek gabungan kita, sudah sejauh mana?" tanya Danu mengalihkan. Rocky mengangkat pandangannya ke wajah Danu, "ehm..., soal itu pa. Aku rasa..., kita nggak perlu memaksa warga untuk membebaskan tanah mereka. Kita nggak perlu memperluas area..."

"Itu bukan wewenangmu, kamu hanya perlu menjalankan proyek ini. Keputusan itu, ada di tangan kami. Terutama Hardi, dia pemegang saham terbesar dalam proyek ini. Dan kamu tahu Rocky, jika proyek ini gagal atau di batalkan..., kita akan mengalami kerugian besar." Danu menatap putranya dengan tajam, "kamu..., membuat Hardi marah padaku. Dengar Rocky, aku tidak mau hubungan kekeluargaan ini hancur hanya karena seorang gadis jelata yang tidak jelas asal-usulnya, bahkan seorang mantan narapidana!"

Rocky membalas tatapan papanya dengan sama tajam, ia tak suka papanya menyebut Sonia seperti itu meski itu memang kenyataannya.

"Pa, aku punya hak untuk menentukan siapa pilihanku. Aku punya hak untuk mencintai gadis yang ku suka, apakah belum cukup selama ini aku selalu menuruti keinginan papa?" sela Rocky, "bersekolah di Amerika, terjun ke bisnis, bertunangan dengan Nancy, setelah papa gagal kepada kak Chocky. Papa lalu melampiaskan semuanya padaku?" lantangnya.

Danu terkesiap mendengar nama putra pertamanya yang telah lama tiada karena kesalahannya. Wajahnya memutih, selama ini Rocky tidak pernah menyebut nama kakaknya dalam amarahnya. Ia pikir anak itu tidak terlalu ingat akan kakaknya karena saat kakaknya meninggal Rocky masih cukup kecil, 6 tahun. Tapi ia baru sadar, sepertinya ia salah! Sepertinya Rocky dapat memahami semuanya.

"Kenapa papa diam. Papa masih ingat dengan kak Chocky kan?" tanyanya menyeringai geram. Danu kian terpaku. Ia sungguh tak ingin mengingat beberapa hal tentang Chocky. Beberapa hal yang terkadang membuatnya merasa gagal. Itu sebabnya ia mencoba menghapus kenangan Chocky dalam hidup mereka. Bahkan di rumahnya sudah tak terpajang lagi foto anak itu, sudah tak tersimpan lagi barang-barang anak itu. Tapi tetap potret dalam ingatan itu sulit untuk di singkirkan.

Melihat ekspresi papanya yang membeku, Rocky memilih untuk meninggalkan ruangan itu. Bahkan meninggalkan gedung berlantai sembilan itu. Membiarkan papanya mengarungi kenangan masalalu yang tak sengaja ia buka kembali.

* * *

Sonia berjalan di dalam gang menuju kosnya, dua masalah selesai hari ini. Pertama Dimas, kedua pekerjaan. Ia tak menyangka om Edwan akan segera mencarikannya pekerjaan baru. Pria itu pintar memberinya kejutan, ya...seperti yang ternyata dia adalah om dari Nancy. Salah satunya.

Ia terperanjat ketika langkahnya harus terhenti oleh munculnya seseorang di depannya. Orang itu menatapnya tajam seperti hendak memebunuhnya. Ia tahu tahu siapa karena tak pernah melihatnya, ia pun melirikan matanya ke kiri-kanan karena merasakan ada pergerakan di belakangnya. Benar saja, muncul beberapa orang yang langsung menyergapnya. Ia meronta dan berteriak tapi salah satu dari orang-orang itu segera memukul punggungnya dengan keras. Tubuhnya tersentak, berhenti meronta, melemas bersamaan dengan kaburnya pandangan yang membawanya tak sadarkan diri.

 

---Bersambung.....---

 

©Y Airy | Wild Sakura (Season 1)

Selanjutnya, _____ | Wild Sakura #Prologue

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun