Mohon tunggu...
Y. Airy
Y. Airy Mohon Tunggu... Freelance Writer -

Hanya seseorang yang mencintai kata, Meraciknya.... Facebook ; Yalie Airy Twitter ; @itsmejustairy, Blog : duniafiksiyairy.wordpess.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Wild Sakura #Part 15, First Impression

5 Februari 2016   06:59 Diperbarui: 27 Februari 2016   23:28 448
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebelumnya, Wild Sakura #Part 14 ; Perjodohan

 

Dimas meremas stir dengan geram selama perjalanan pulang, masih terbayang sosok Sonia dan Rocky yang sedang bertatapan mesra di depannya. Resma yang duduk di sampingnya juga membisu, hanya melirikinya tanpa berani bertanya, tapi setidaknya sekarang ia tahu apa yang membuat Dimas cemas sejak pertemuan mereka tadi. Gadis itulah alasannya menolak peejodohan mereka, tapi gadis itu bersama pria lain, bahkan terlihat jatuh cinta pada pria yang bersamanya, itu artinya ia masih memiliki peluang untuk bisa mengisi hati Dimas.

Sementara Aline pergi ke tempat ia seharusnya battle dengan Prili, tapi karena ia terlambat bahkan hampir dua jam maka Prili menganggapnya mundur.

"Terserah apa kata kamu, aku nggak peduli!"

Jawaban Aline itu membuat Prili menegangnya otot-ototnya, "emang kenyataannya gitu kan, kamu emang takut!" balasnya, "buat apa sih aku takut sama kamu?" tukas Aline lagi.

"Prili, yang penting kan Aline udah berusaha dateng. Kalian masih bisa mulai battle kan!" lerai Doni, "apa, kamu gila ya? Dia sendiri yang membatalkan battle ini dengan sengaja datang telat, itu artinya dia emang nggak berani!"

Doni menggeleng lalu memungut tangan Aline, "yuk Lin, nggak usah ngurusin dia!" ajaknya menyingkir, itu membuat Prili kesal setengah mati.

"Doni!" panggil Prili tapi anak lelaki itu tak memperdulikannya, membuat gadis itu kian marah dan menggerutu sendiri.

"Kamu nggak usahlah ngeladenin Prili, entar dia tambah gede kepala!" kata Doni pada Aline, "dan mendingan kamu juga nggak usah nempel-nempel aku mulu. Kamu jangan pura-pura nggak tahu, masalahnya itu ada di kamu!" kesal Aline, membuat Doni tercengang karena malah dirinya yang jadi kambing hitam.

"Kok aku?"

"Ya iyalah, Prili itu kan ngebet banget sama kamu!"

Doni menggaruk kepalanya sejenak, "ouh itu, tapi kamu tahu sendiri, papa aku juga nggak terlalu suka sama Prili, aku juga males sama dia!" sahutnya, "terus sekarang gimana nih?"

"Ya pulanglah, nggak ada gunanya juga aku belain dateng!" katanya menaruh kedua tangannya di pinggang, menghentikan langkah, "aku anter ya?"

"Pake motor?"

Doni memutar bola matanya sebentar, "ya iya, kan aku bawa motor!" sahutnya kemudian, "nggak ah, nanti kalau papa lihat bisa di ceramahin kita sampai pagi, kamu kan belum punya sim!"

"Aku nggak mungkin biarin kamu pulang sendiri!"

"Aku kan bisa naik taksi, taksi banyak kok!"

"Aline...!"

"Noh!" tunjuk Aline pakai dagunya, "urusin ajah tuh princess kamu!" lanjutnya, Doni berbalik. Terlihat Prili menghampirinya setengah berlari, Doni memutar kepalanya kembali dan Aline sudah berjalan menjauh, susah sekali mendekati gadis itu!

"Don, aku nebeng kamu pulang ya, soalnya...tadi aku nebeng Rita datengnya, males kalau nyuruh sopir aku jemput, ya plisssss!" katanya merengek.

Doni hanya menatapnya, "tapi....kita mampir makan dulu ya, aku laper nih...!" pintanya lagi, "nggak, kita langsung pulang aja!" tolak Doni.

"Tapi Don...,"

"Nggak mau ya udah, pulang aja sendiri!" tukasnya seraya berbalik dan mulai melangkah, "eh tunggu!" seru Prili mengejarnya.

* * *

Erik berpisah dengan teman-temannya lalu langsung tancap gas, tapi ia mampir dulu ke mininart untuk membeli kebutuhan mandi yang habis, minimart itu berada di dalam gang besar menuju sebuah kompleks, dan itu adalah yang paling dekat dari tempat tinggalnya. Keluar dari minimart ia langsung menuju arah pulang tapi baru lebih dari 10 meter motornya melaju ia harus menghentikanna karena matanya menangkap sebuah kejadian.

Ada empat anak muda yang tengah menggoda seorang gadis belia, ia celingukan dan tempat itu sepi. Jadi ia memajukan motornya beberapa meter lagi dan menepikannya di sana, setelah meloncat dari motornya ia melangkah lebih dekat, "itu sungguh perbuatan yang kurang terpuji, dan pengecut, menggoda seorang gadis yang sendirian!" seru Erik.

Semuanya menoleh ke arah Erik, termasuk gadis itu, "wah...ada yang mau jadi pahlawan nih!" seru yang berbaju merah, dari tampilannya anak-anak itu sih berasal dari keluarga yang berada. Ketiga temannya tertawa, lalu yang berjaket biru menimpali, "hei, daripada gangguin mendingan kamu bantuin aja, kita kasih jatah yang pertama deh, gimana?" tawarnya. Gadis itu terlihat merengut dengan kelakar mereka, bertambah panik. Takut kalau-kalau pria itu justru tergiur dengan tawaran anak-anak brengsek itu.

"Sorry, aku masih punya akhlak!" tolaknya, mendengar itu keempatnya jadi marah, karena itu artinya mereka tak berakhlak, maka merekapun memutuskan untuk menghabisi pengganggunya dulu, "sok suci, mati kamu!" kata yang berbaju merah menyerangnya, yang lain juga ikut menyerang.

Tentu Erik melawan, tapi rupanya anak-anak itu lumayan jago berantem juga. Gadis itu hanya menonton, berharap penolongnya bisa memenangkan pertarungan, diam-diam ia memperhatikan pria yang menolongnya, dia tampan juga. Dan lagi, sepertinya dia memang baik, nyatanya ketika di tawari untuk ikutan malah menolak dan menantang, diam-diam gadis itu juga mencuri seulas senyum, tapi itu tidak lama karena ia melihat dewa penolongnya mulai kewelahan, ia merasa ia juga harus membantu.

Tapi bagaimana, ia celingukan sementara para pemuda itu berkelahi. Tumben nih jalanan sepi, bagaimana mau minta bantuan kalau senyap begini? Akhirnya ia memungut hpnya lalu mengotak-atiknya, tak berapa lama terdengar sirine menggema, seperti suara sirine mobil polisi. Ke empat anak itu mulai panik. Mereka berhenti menyerang dan celingukan, gadis itu menyembunyikan hpnya yang berbunyi di balakang tubuhnya.

"Cabut-cabut-cabut!" kata yang berjaket biru seraya lari ke arah motor mereka, setelah anak-anak itu pergi Erik menghampiri sang gadis yang sedang mematikan suara sirine itu dari hpnya.

"Kamu nggak apa-apa?" tanyanya, gadis itu menoleh lalu menggeleng.

"Makasih ya udah bantuin, itu suara apaan?" tanya Erik, "browsing dadakan di youtube, dan...harusnya aku yang berterima kasih karena kakak udah nolongin aku!" katanya balik.

Erik tersenyum, dan senyuman itu sungguh di nikmati oleh sang gadis. Tiba-tiba muncul debaran aneh di balik tulang rusuknya, debaran yang belum pernah ia kenal. Tentu saja, di usianya yang masih belia ia belum berfikir untuk mengenal debaran semacam itu. Erik juga merasakan hal yang sama, ia memandang wajah gadis itu lebih lekat, membuat pipi putihnya merona merah jambu.

Tapi Erik segera menyadari situasi mereka yang berada di jalanan, "eh, kamu...sendirian aja?" tanyanya, gadis itu mengangguk.

"Lain kali kalau udah malam jangan keluyuran sendiri, kejahatan terhadap wanita itu besar sekali loh di jalanan, nggak pandang bulu lagi!" pesannya,

"Tadi sih, aku perginya sama papa dan kakak tapi...karena bosan jadi aku kabur duluan!"

"Ouh....,"

Kediaman kembali muncul, menciptakan suasana aneh, lagi-lagi Erik menyadarinya lebih dulu. Ia sendiri heran kenapa ia bisa berdebar-debar berpandangan seperti itu dengan seorang gadis belia yang lebih pantas jadi adik atau keponakannya.

Aduh Rik, sadar.....dia masih terlalu kecil bahkan untuk mengerti apa yang sedang berdentum di dadamu itu!

Hati kecilnya mengingatkan.

"Rumah kamu dimana?" tanya Erik setelah mencoba mengendalikan diri, "di dalam konpleks itu!" tunjuknya, "kakak mau nganterin?" tanyanya.

"Ha, eh...eh....!"

"Aku Aline, nama kakak siapa?" katanya mengenalkan diri sambil menyodorkan tangan mungilnya, Erik menatap tangan putih tanpa cacat itu, lalu iapun menggapainya, "Erik!" katanya menyalami, tangannya halus sekali, lembut dan kenyal seperti tangan bayi. Berbalik sekali dengan tangannya yang kasar.

"Kak Erik, terima kasih sekali ya udah nolongin Aline. Tapi...mungkin akan lebih aman kalau kak Erik mau nganterin Aline sampai depan rumah!" pintanya,

"Mengantarmu ke dalam?"

Aline mengangguk, "lagian...kaki aku juga udah cape jalan jauh!" rengeknya, "ya udah, yuk!" kata Erik menyanggupi. Alline langsung tersenyum girang dan mengikuti pemuda itu berjalan ke motornya. Ia terus saja menatapi punggung Erik sampai di motornya dan suara Erik membuyarkannya,

"Kenapa?"

"Eh, eh..he...he...nggak!" sahutnya menggaruk leher, "ayo naik, tapi maaf ya, motornya jelek!" tukas Erik. Aline tersenyum, "yang penting masih bisa di pakai kak!" sahutnya. Erik hanya tersenyum. Ia mengantar Aline sampai di depan rumahnya, rumah itu cukup besar, apalagi di balik gerbang ada satpam yang bertampang sangar, lebih tepat jadi bodyguard malahan ketimbang satpam.

"Terima kasih ya, kak!"

"Lain kali kalau udah malam jangan jalan kaki, kamu kan bisa minta di jemput kan?"

"Kak Erik yang jemput!" godanya blak-blakan, membuat Erik jadi salting, "eh, e...ya udah, aku....balik dulu ya!" pamitnya memakai helmnya kembali, saat Erik membelokan motornya Aline memanggilnya,

"Kak Erik, tunggu!" serunya, Erikpun harus kembali berhenti. Gadis iru mendekat, "kak...boleh...pinjem hpnya sebentar nggak?" tanyanya.

"Pinjem hp?"  

"Nggak boleh ya?" cemberutnya, "ah, e...bo-boleh kok, boleh!" katanya terbata, ia merogoh saku celananya dan mengeluarkan hpnya, menyodorkannya pada Aline. Gadis itu langsung menyambarnya, membukanya dan mengotak-atiknya, lalu terdengar sebuah ringtone menggema di sekitar situ.

Aline merogoh saku celananya dan memungut hpnya sendiri, lalu ia menghentikan panggilan itu dari hp Erik, mengembalikan hpnya pada pemiliknya sambil tersenyum. Erikpun menerimanya,

"Itu nomor aku, udah aku simpenin langsung. Jangan di hapus ya kak, siapa tahu....nanti aku butuh bantuan kak Erik!" pesannya, oh...jadi behitu! Erik mulai mengerti, bilang saja minta tukeran nomor hp, pasti di kasih kok....

Erik tersenyum sambil menaruh kembali hpnya di saku, "aku pamit ya, udah malem nih!" setelah Aline mengangguk Erikpun bergegas pergi dari sana, Aline masih menatapnya sampai menghilang di tikungan lalu ia masuk ke rumah sambil menyimpan nomor Erik di hpnya. Aura senyum kebahagiaan muncul di bibirnya yang mungil.

Pria yang menurutnya dewasa itu sungguh memberikan kesan yang menawan di pertemuan pertama mereka, udah ganteng, baik, penolong, sopan lagi. Apa yang kurang?

Kupu-kupu seperti beterbangan di dalam perutnya, menumbuhkan bunga-bunga yang belum ia kenali sebelumnya, tapi keceriaan itu sirna di kala ia mendengar suara berat papanya di ruang keluarga.

"Darimana saja kamu, katanya mau pulang dulu tapi malah keluyuran!"

Aline terpaku, "ehm....tadi....tadi.....!" ia kebingungan untuk menjawab, "siapa yang mengantar kamu pulang?" tanya Antony lagi,

"Itu tukang ojek pa!" sahutnya sekenanya saja, kalau ia katakan pria itu baru saja menolongnya lalu mereka tukeran nomor hp, bisa-bisa hpnya di sita dan nanti malah ia di sewain bodyguard buat pergi kemana-mana.

"Tukang ojek?"

Aline mengangguk, "tadi Aline pergi ke tempat battle sama Doni, lalu Aline pulang sendiri!" katanya lagi, Antony mengernyit,"Doni, Doni putranya Kolonel Dirga?"

Aline mengangguk. Papanya itu menatapnya dalam, menerawang, seolah sedang mencari sisi kebohongan di mata putri bungsunya, tapi ia tak bertanya macam-macam lagi, "masuk kamar dan tidur!" perintahnya. Aline bernafas lega lalu langsung melarikan diri ke kamarnya.

Sesampainya di kamar ia bersandar pintu dan memegang dadanya, lalu ia kembali ingat pada Erik yang akhirnya menciptakan senyum di bibirnya, ia segera berlari menghempaskan diri di kasurnya sampai memantul. Masih terbayang aksi heroik Erik, wajah Erik, dan suaranya yang teduh. Ia senyum-senyum sendiri sampai terdengar tawa kecil dari mulutnya, apakah ini yang namanya jatuh cinta pada pandangan pertama?

Ah, apapun itu yang jelas ia sangat suka Erik!

Sementara....

"Maksdmu apa Har?" tanya Danu berjalan ke jendela, "aku juga belum tahu pasti, tapi Nancy berkata begitu!" sahut Hardi yang masih duduk di ruang kerjanya.

"Kamu tidak perlu kuatir, kamu tahu, satu-satunya gadis yang akan menjadi menantuku itu cuma putrimu!" Danu meyakinkan, sewaktu masih muda mereka memang memutuskan kesepakatan itu. Hardi terdiam, menerawang jauh, dan seharusnya.....gadis itu.....

Ia menggelengkan kepala untuk menepisnya. Saat ini ia haruf fokus pada Nancy dulu, lagipula Nancy sagat mencintai Rocky dan ia menjanjikam itu pada putrinya itu.

"Aku akan cari tahu dulu, jika itu benar. Kita ambil langkah!"

"Ok!"

Elena keluar kamar mandi, ia mendapati suaminya sedang galau maka iapun mendekat. Menaruh lengannya di bahu kiri dan pipinya di bahu kanan dari belakang.

"Ada apa pa?" tanyanya lembut,

"Aku tidak tahu lagi bagaimana harus bicara pada Rocky, dia selalu saja mengecewakan Nancy!" keluhnya, "mungkin Rocky masih ingin menikmati kesendiriannya dulu pa, dia kan masih muda!"

"Aku mulai kuatir, belakangan....dia terlihat cuek sekali dengan Nancy!"

"Nanti biar mama yang bicara dengannya, mama akan coba bicara secara halus!" usulnya, Danu berbalik. Kini pipi Elena berada di dada suaminya.

"Aku tidak mau hubungan persahabatanku sampai berantakan!"

"Papa jangan berlebihan, itu tidak akan terjadi!" hiburnya, Danu menaruh tangannya di punggung Elena, memeluknya dengan lembut, "semoga saja!"

* * *

Pagi itu ketika turun dari tangga dan menuju meja makan, Dimas di kejutkan dengan sosok seorang gadis yang cantik di meja makan sedang bercengkraman dengan papanya. Langkahnya mulai pelan saat menghampiri meja, matanya tak lepas dari sosok gadis itu yang juga menatapnya dalam tanpa kedip. Ia menarik kursi lalu duduk.

"Ngapain kamu pagi-pagi di sini?" tanyanya datar, "eh...!" desisnya Resma yang di potong oleh Remon, "pagi, ini sudah jam sembilan, kamu saja yang bangun siang!"

Dimas memungut gelas susu di meja dan menenggaknya perlahan hingga habis, setelah gelas itu kosong ia meletakannya kembali ke meja seraya menjilat sisa susu di bibirnya dengan lidah.

"Papa yang mengundang Resma ke sini, ajaklah dia jalan-jalan!" tukas Remon, Dimas sedikit mendelik, menatap papanya lalu melirik Resma dan kembali ke wajah papanya, "pa, kan semalam baru jalan!" protesnya.

"Ini kan hari minggu, apa salahnya? Kalau hari-hari biasa Resma harus kuliah dan kamu juga sekolah, itu pun kalau kamu benar masuk sekolah!"

Dimas mendengus kesal mengalihkan matanya ke arah Resma, melototinya, membuat gadis itu jadi menunduk, Remon melirik itu.

"Jangan menatapnya seperti kamu menatap teman wanita papa, itu tidak sopan!" tegur Remon, Dimas harus memindahkan matanya ke sisi lain sekarang. Lalu tanpa kata iapun bangkit dari kursinya dan meninggalkan ruang makan, Resma hanya tertegun dengan sikap dingin pemuda itu padanya.

"Resma!" panggil Remon membuatnya terlonjak, "eh, iya om!" sahutnya, Remon memberinya isyarat mata agar gadis itu mengikuti Dimas, awalnya ia tak mengerti tapi setelah Remon mengulanginya dua kali ia baru mengerti. Maka ia segera bangkit dari duduknya,

"Permisi om!" pamitnya, Remon hanya mengangguk. Resma segera mengeja Dimas yang sudah bersiap di atas motornya, Dimas menoleh ketika mendengar suara langkah sepatu, "mau apa kamu?" tanyanya ketika gadis itu sampai padanya.

"Om Remon menyuruh aku untuk ikut sama kamu!" sahutnya jujur, sekali lagi Dimas mendengus kesal, "ya udah, naik!" suruhnya setengah terpaksa. Resmapun langsung naik di belakang, untungnya hari ini ia pakai celana panjang jadi bisa duduk dengan nyaman di motor itu.

Dimas melajukannya dengan kecepatan tinggi, membuat Resma terpaksa harus mengetatkan pegangannya di pinggangnya. Meski dengan rasa takut kalau pemuda itu akan marah nantinya karena ia setengah memeluknya.

Sonia mengetuk pintu Erik yang masih terkatup rapat, tak ada tanggapan maka ia menggedornya lebih keras lagi. Ia termangu di depan pintu, menggaruk kepalanya yang tidak gatal, masih belum terbuka. Ia menggaruk leher padahal tidak gatal juga. Menunggu Erik membuka pintu rasanya ia jadi ingin menggaruk seluruh tubuhnya, padahal tidak ada yang gatal sama sekali.

Kreeeettttt....,

Pintu itu terbuka juga akhirnya, Erik muncul dengan kusut, matanya masih setengah merem. Menggaruk lehernya, lalu kakinya. Sonia melongo menatapnya, sejak kapan Erik jadi pemalas dsn bangun sesiang ini?

"Hem...apaan...., ganggu aja!" katanya lemes, "kamu baru bangun?" heran Sonia,

"Huwaahhhhh!" Erik menguap lebar sambil menggaruk kepalanya, lalu merentangkan tangannya sampai terdengar bunyi kletek dari tulangnya.

"Tumben kamu bangun sesiang ini, kamu sakit?" cemas Sonia,

"Enggak, aku cuma nggak bisa tidur aja semalem. Baru juga merem selepas subuh, kamu malah gangguin!"

"Nih sarapan!" katanya menyodorkan kantong plastik berisi sarapan pagi, Erik menjatuhkan pandangannya ke kantong plastik yang di sodorkan Sonia.

"Weisss...., adikku yang cantik udah nyiapin sarapan saja. Ada udang di balik batu nggak nih?" tesnya seraya memungut barang itu, "kepiting tuh di balik batu!" balas Sonia kesal. Ia berjalan ke arah kamarnya sendiri yang sudah terbuka lebar pintunya, Erik mengikuti dan ikut masuk. Sonia duduk di lantai dan mulai menyantap sarapannya, Erik ikut duduk pula tapi belum membuka makannya. Ia malah merebah di kasur dan menatap langit-langit, wajah Aline muncul di sana, tersenyum padanya. Semalam ia tak bisa tidur juga karena terus terbayang wajah cantik gadis belia itu, apakah dirinya sudah gila?

Ia jatuh cinta pada gadis kecil yang sepertinya masih mengenakan seragam SMP itu, ia taksir mungkin usia Aline baru 14-15 tahun, bunga yang sedang dalam tahap pemekaran. Ia jadi senyum-senyum sendiri.

Sonia melirik, lalu mengamatinya, Erik tak pernah terlihat seperti itu sebelumnya, "eh Rik, kamu kenapa?" tanyanya menyenggol kaki pemuda itu. Erik tersentak, wajah Aline di langit-langit menghilang, membuat senyumnya juga lenyap. Ia menoleh pada Sonia yang menatapnya heran,

"Udah..., kamu makan aja, nggak usah gangguin orang!" tukasnya, Sonia masih menatapnya, ia bisa mengenali kilatan di dalam mata Erik, "kamu lagi jatuh cinta ya?" katanya tiba-tiba, Erik terdiam lalu bangkit duduk.

"Eh, ih...siapa bilang, sok tahu!" sanggahnya, Sonia tersenyum, ia jadi ingin menggoda Erik. Seperti apa ya dia kalau lagi kesengsem?

"Ayo kasih tahu dong....siapa?" desaknya dengan senyum nakal, Erik jadi memerah, menggaruk tengkuknya, "siapa-siapa?" sahutnya mengelak.

"Nggak usah ngeles...., kelihatan kok...kamu lagi berbunga-bunga, ayo dong....!" desaknya menyenggol tubuh Erik dengan lengannya, "kasih tahu, siapa dia!"

"Nggak usah ngurusin aku deh, urusin tuh....Rocky sama Dimas!" balas Erik menyeka wajah Sonia ke bawah dengan lima jari kirinya, Sonia menampiknya, "kok jadi ke mereka?"

"Terus...harus ke siapa, masa ibu kost....!"

"Aku nggak ada apa-apa kok sama mereka....!" dalihnya memasukan nasi ke mulutnya seraya membuang muka, saat itulah tubuhnya terpaku seketika, matanya terpatri pada sosok yang berdiri di pintu kamar kostnya. Ia jadi termangu dengan mulut yang masih penuh nasi, tangan memegang sendok di udara.

 

---Bersambung.....---

@ Wild Sakura (season 1)

Wild Sakura #Part 16 ; Sebuah Janji

Wild Sakura #Prologue

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun