"Waktu itu, sepulang sekolah dia ngikutin kita sampai ke bukit dan mendengarkan semua pembicaraan kita. Dia mengaku, bahwa dialah yang menulis semua itu di papan tulis. Dia...merasa bersalah karena setelah itu, katanya kamu memilih nggak belajar di sekolah, kamu bahkan nggak mau ketemu siapapun. Dia pikir apa yang di lakukannya itu nggak ada gunanya karena aku pergi, dia cuma ingin misahin lalu membuat aku deket sama dia!"
Arga memandang Dila lebih dalam, "aku kinta maaf karena sudah salah paham sama kamu, bahkan menuduh kamu!"
"Ma-maaf!" desis Dila dengan bibir bergetar, "setelah 16 tahun, kamu meminta maaf. Apakah kamu pikir....itu berguna sekarang?"
"Dila!"
"Kamu meneriaki aku, ga. Di depan teman-teman, kamu bilang aku pengkhianat, lalu kamu bilang kamu nggak mau ketemu sama aku lagi. Apa kamu tahu apa yang terjadi sama aku?" tangisnya, "dan kamu pergi, kamu pergi tanpa pesan apapun. Apa kamu tahu, setelah itu aku memilih untuk homeschooling karena apa? Karena aku takut, di sekolah banyak sekali kenangan tentang kita, di setiap sudut sekolah aku lihat wajah kamu. Dan itu membuat aku ingat saat kamu meneriaki aku, aku juga takut, ketemu sama orang baru yang akhirnya akan menjalin hubungan dan berakhir berantakan juga!"
"Dila!"
"Kamu nggak kasih aku kesempatan buat menjelaskan semuanya, apa kamu tahu, seperti apa artinya kamu buat aku. Aku rasa kamu tahu itu?" seru Dila sedikit berteriak,
"Dila, maafkan aku!"
"Apa kamu masih ingat!" potong Dila memelankan suaranya, "kamu ingat, kita pernah mengucap janji bersama, di bukit, hari itu?"
Arga diam, melayangkan angannya ke masa itu,
"Gimana kalau kita buat janji?" ajak Arga, "janji?" sahut Dila sedikit bingung, Arga mengangkat tangannya lalu menunjukan kelingkingnya, "mana kelingking kamu?" tanyanya.