Januari 2016
Dengan senyum mengembang Dila memasuki ruangan tempat resepsi pernikahan Ani, kalau Ani bukan sahabat baiknya ia malas pergi ke pesta pernikahan seperti itu. Banyak undangan datang dari kolega ibunya, karena sekarang ia menjalankan butik yang ibunya rintis dari nol pasca perceraian orangtuanya. Ibunya berhenti bekerja lalu membuka butik bersama temannya, awalnya itu butik bersama hingga akhirnya teman ibunya membuka butik sendiri di kota lain, sekarang ia yang menggantikan ibunya karena ia juga suka fashion. Selain itu ia memang sudah menyandang gelar desainer. Mau gimana lagi?
Hampir semua undangan pernikahan tak pernah ia datangi, ibunya yang datang. Suami Ani adalah seorang arsitek, mereka bertemu di perusahaan yang sama hingga berlanjut ke pelaminan.
Dila menghampiri Ani dan memberi selamat pada kedua mempelai, "Dila....!" girang Ani, Dila menghampirinya dan mereka cipika-cipiki dulu sebelum berpelukan.
"Selamat ya, semoga kamu bahagia selamanya!" katanya setelah melepas peluk, "thanks banget ya udah mau dateng, maafkan aku ya kalau buat kamu sedih dengan hal seperti ini!"
"Aku nggak sedih kok, aku bahagia buat kamu!"
"Dila, kamu nggak bisa terus seperti ini. Kamu harus move on, lupain dia, toh dia juga nggak mikirin kamu lagi!"
Dila tersenyum, "ini hari bahagia kamu, kita nggak usah bahas itu ya. Lagian....tamunya pada ngantri nih!" seru Dila melirik belakangnya lalu memeluk Ani sekali lagi sebelum melanjutkan langkah. Ani mengerti perasaan sahabatnya, tapi ia bingung kenapa Dila masih saja terbelenggu rasa bersalah itu hingga detik ini?
Dila menyibak lautan orang-orang yang tengah ngobrol sembari mencicipi hidangan itu, dari sekian banyak orang di sini hanya beberapa saja yang ia kenal.
"Ouh!" serunya ketika ia menubruk seseorang, lengannya basah oleh cairan dari gelas orang yang tabrakan dengan dirinya, ia mengibas-ngibaskan lengannya itu lalu mengangkat wajahnya. Matanya menemukan sosok seorang pria yang belum pernah ia temui tapi sorot mata itu......
Keduanya diam terpaku, saling tatap.
"Arga, sayang!"
Suara itu membuyarkan keduanya, seorang wanita menghampiri, langsung menggelayut pada lengan pria yang di panggilnya Arga tadi. Dila kian terpaku menatap pria itu,
"Kamu di sini rupanya!" kata wanita itu, "hei mbak Dila!" lanjutnya, Dila terperanjat.
"Kamu mbak Dila kan, Dila Kanyadewi, ini saya mbak...., Agnes!"
"A-Agnes!"
"Ah, masa mbak Dila lupa. Saya kan sering langganan di butik mbak Dila. Bahkan gaun pengantin saya kan mbak Dila sendiri yang buat!"
Dila mulai ingat, dua bulan lalu ia memang membuat gaun pengantin untuk....ya, untuk wanita di depannya itu.
"Oh, iya. Ma-maaf, terkadang saya lupa!" sahutnya gugup lalu melirik pria yang di gandeng Agnes yang menatapnya dalam tanpa kedip.
"Kenalkan ini suami saya Arga, Arga Dewangga. Waktu itu memang tidak memesan di butik mbak karena dia punya teman yang membuatkan suit kusus untuknya, jadi...mbak Dila belum tahu kan!" katanya lalu menatap suaminya, "Sayang, ini loh desainer gaun pengantin aku yang kamu bilang rancangannya hebat itu!" Agnes terus mengoceh sementara kedua orang itu saling pandang tanpa kedip.
Setelah sekian lama, kini......
Sebutir airmata menggelinding meluncuri pipi Dila.
* * *
Januari 1996
Ia mengulurkan tangannya menembus rinai hujan di depannya, membiarkannya basah, merasakan sentuhan hujan di kulitnya yang terasa dingin.
"Kamu belum di jemput?"
Suara yang mulai ia kenali itu membuyarkan lamunannya menatapi rijai anak-anak hujan yang berlompatan di atas telapak tangannya, ia pun menarik tangannya kembali, mengibaskannya lalu mengusapkan pada rok merah yang ia kenakan. Menoleh pada anak lelaki yang baru masuk hari ini.
Arga, anak lelaki seusianya yang baru pindah dari kota lain. Di tangannya tergenggam payung, "mungkin nggak akan di jemput!" sahut Dila,
"Kenapa?"
"Ayah lagi di luar kota, lalu Bunda juga bekerja. Nggak ada orang di rumah, aku lupa bawa payung!"
"Kita pulang bareng aja yuk, payung aku kan lumayan besar, pasti muat buat kita berdua!" tawarnya, Dila sedikit menelengkan kepalanya sambil memutar bola matanya yang bulat, sedang menimbang tawaran Arga.
"Boleh!" sahutnya kemudian, Arga tersenyum. Arga pun segera mengembangkan payungnya lalu lebih mendekatkan diri ke sisi Dila dengan memayungi tubuh mereka berdua, Dila tersenyum padanya lalu keduanya pun berjalan di dalam hujan di bawah payung yang sama.
Sejak itu mereka mulai akrab, sangat akrab. Bahkan teman-teman sekelas yang lain sampai menggosipkan keduanya pacaran, padahal mereka baru berusia 7 tahun dan mereka pun belum mengerti soal hubungan seperti itu.
* * *
Maret 2000
Raung kecil itu keluar dari mulut Dila ketika gadis 11 tahun merasakan ada sesuatu yang menimpuk kepalanya, ia segera mengelus kepalanya dengan rambut hitam sebahu yang ia biarkan tergerai. Suara tawa merdu terdengar tak jauh darinya, ia pun menoleh ke arah pemilik suara, anak lelaki itu berdiri bersender bingkai pintu kelas, kedua tangannya di masukan ke dalam kantung celana merahnya yang seatas lutut.
"Ih....sakit tahu!" keluh Dila, "kalau kepalaku pecah gimana?" kesalnya, Arga melangkah mendekatinya, duduk di kursi di dekatnya, salah satu tangannya di letakan di atas meja, "itu kan cuma sebungkus ciki, mana bisa pecah!" katanya memungut sebungkus potato chips yang terabaikan di lantai, "lagian ya, kepala kamu itu kan kaya' batu. Kalau pun di timpuk pakai kayu, yang ada kayunya yang patah!"
Dila merengut mendengar cibiran itu, ia membuang muka lalu kembali membaca buku di tangannya. Arga membuka potato chips itu, merogohkan tangannya ke dalam untuk memungut isinya lalu memasukannya ke dalam mulutnya, sambil mengunyah ia bertanya,
"Serius banget sih, belajar ya?"
"Kan abis ini ada ulangan Bahasa Indonesia!" Dila masih di posisi semula, sedikit memunggungi Arga. Suara kunyahan itu sedikit mengganggu Dila,
"Kamu kurang kerjaan ya, suka banget gangguin aku?" kesalnya sambil memutar tubuhnya menatap Arga, "biarin!" sahut Arga cuek.
"Sono, cowo itu mainnya sama cowo!" usirnya, tapi ia tak serius mengusirnya, Dila suka dekat-dekat dengan Arga. Bahkan tak ingin berpisah.
"Ohhhh, kamu nggak mau lagi main sama aku?"
"Abis kamu nyebelin!"
"Eh, entar pulang sekolah jangan lupa ya!" kata Arga mengingatkan sambil berdiri, "kalau nggak lupa!" sahut Dila, Arga hanya tersenyum sambil meninggalkan kelas yang juga terdapat beberapa teman sedang asyik ngobrol.
* * *
Setelah bell berbunyi Arga berjalan lebih dulu ke belakang sekolah, Dila ngobrol beberapa saat dengan Runa dan Ani, "dahhhhh!" seru kedua gadis itu melambaikan tangan seraya berlalu, Dila pun membalas lambaian itu. Lalu ia juga berjalan ke belakang sekolah, melewati gedung kosong yang berisi 3 kelas yang sudah tak terpakai. Rencananya gedung itu akan di bongkar dan di jadikan perpustakaan baru, gedung mungil yang satunya lagi akan jadi kantin, karena kantin yang ada di depan akan di bongkar untuk perluasan lapangan olahraga.
"Huaaa....!"
"Aaaaargh!"
Seketika Dila menjerit ketika ada seseorang yang menepuk pundaknya seraya mengagetkanya, ia bersiap lari tapi tangannya malah di gapai seseorang, "e....e...ee....mau kemana?" Dila kenal suara itu, ia menoleh dan menemukan Arga sedang tertawa terpingkal-pingkal sambil memegang tangannya.
Raut Dila yang tadi ketakutan kini berubah menjadi kesal, ia pun melepaskan diri lalu melepas tasnya dan memukul-mukulkannya ke tubuh Arga, anak lelaki itu hanya tertawa saja, tak berusaha menampik atau menghindar.
Akhirnya Dila berhenti memukulnya, ia memakai tasnya kembali sementara tawa Arga mulai mereda, "kamu itu ya, kalau jantung aku copot gimana?" omel Dila,
"Nggak apa-apa, kamu boleh kok pake jantung aku!"
"Siapa yang mau!"
"Kaget ya, maaf.....!"
Dila memutar tubuhnya dan kembali melangkah, Arga mengikutinya. Sepulang sekolah biasanya jika tak ada kegiatan mereka akan pergi ke sawah di belakang sekolah, menyusuri sungai kecil lalu berjalan di jalan setapak hingga sampai ke bukit yang tak terlalu tinggi. Mereka duduk di sana.
Awalnya mereka ngobrol biasa hingga Dila merubah wajah cerianya menjadi murung, "kamu kenapa?" tanya Arga, Dila masih menunduk.
"Ayah sama Bunda mau cerai!" sahutnya, Arga tertegun.
"Belakangan mereka memang sering berantem, aku nggak tahu kenapa. Tapi.....aku di suruh pilih mau tinggal sama ayah atau sama Bunda!"
Ada kediaman sejenak.
"Aku mau tinggal sama keduanya, aku nggak mau mereka cerai!" titik-titik airmata mulai meluncur di pipinya, "mungkin kamu bisa bujuk mereka biar nggak cerai!" usul Arga,
"Percuma, sekarang aja mereka udah pisah rumah!"
"Tapi kamu masih beruntung ketimbang aku, kamu ingat kan kamu pernah tanya dimana ayahku?" seru Arga, Dila menoleh dengan pipi yang masih basah, "aku bahkan nggak tahu siapa ayahku, siapa namanya, seperti apa wajahnya!" lanjut Arga.
"Kok bisa?" tanya Dila seraya menyeka airmatanya,
"Nggak apa-apa, aku juga nggak mau tahu!"
"Kenapa?"
"Karena aku nggak mau punya ayah seperti dia!" kata Arga meluruskan pandangannya ke depan, Dila menatapnya, menunggu kelanjutannya. Tapi Arga masih diam.
"Kenapa begitu?"
Arga menoleh dan menemukan wajah Dila yang sedang menatapnya dalam, "karena dia memperkosa ibuku!" jawabnya, Dila terperangah, "apa?"
"Aku...., aku adalah anak hasil perkosaan. Itu sebabnya aku nggak punya ayah,"
Dila masih menatapnya tanpa suara.
"Cuma kamu yang aku kasih tahu tentang hal ini dari semua teman yang pernah aku kenal, karena aku rasa....kamu bisa jaga rahasia!"
"Maaf!"
"Aku seneng kok akhirnya aku bisa cerita sama seseorang, tapi mungkin....setelah ini kamu nggak mau lagi deketan sama aku!"
"Kok kamu ngomong gitu, emang aku sejahat itu ya. Aku tetap mau deket sama kamu kok, dan kamu jangan kuatir, aku bisa jaga rahasia!"
"Bener?"
"Janji!"
Arga tersenyum, "terima kasih ya!" Dila membalas senyuman itu.
* * *
Paginya ketika memasuki kelas Arga merasa ada yang aneh dengan tatapan beberapa teman, tapi ia cuek saja dan duduk di kursinya. Tapi ia langsung terpaku ketika melihat tulisan di papan tulis, lalu ia pun melirik teman-temannya di ruangan itu, rupanya itu alasan mereka menatapnya aneh.
"Anak haram itu nggak seharusnya sekolah di sini, ngotor-ngotorin aja!" seru Dodi,
"Iya nih, bapaknya aja tukang perkosa orang. Pasti anaknya juga, jangan dekat-dekat deh!" celetuk Rani, Arga mengepalkan tinjunya dengan geram, tapi ia tak menyahuti ocehan teman-temannya. Hingga beberapa teman melemparinya dengan gulungan kertas, bahkan plastik bekas makanan.
Perlahan Dila memasuki ruang kelas, ia cukup terkejut dengan apa yang terjadi di ruangan itu. Matanya mengarah ke Arga, lalu berkeliling hingga ke papan tulis, ia tambah tercengang melihat apa isi tulisan di sana, iapun mengarahkan matanya kembali ke Arga yang menatapnya tajam.
Tanpa suara Arga melangkah ke arahnya, berdiri berhadapan dengan tatapan yang mengerikan.
"Arga!" desis Dila, tapi Arga malah berlalu meninggalkannya, iapun segera mengejar hingga ke teras. Meraih lengan anak lelaki itu, "Arga, tunggu!"
Arga menyentakan tangannya, kembali menatapnya, "kamu tega ya?" seru Arga, Dila menggeleng, "bukan!"
"Kalau kamu nggak mau deket lagi sama aku ya nggak apa-apa, tapi nggak usah dong pake nyebarin itu?"
"Ga!"
"Aku nggak nyangka kalau kamu tega sama aku, kamu pembohong,"
"Arga!"
"Kamu pengkhianat!" teriaknya membuat Dila terbungkam, hanya aliran airmata yang menari di pipinya, "aku nggak mau ketemu lagi sama kamu!" katanya lalu pergi.
Dila masih diam, menatap punggung anak lelaki itu yang kian menjauh.
Esoknya Arga tidak masuk kelas, katanya demam karena kehujanan. Dila ingin sekali menjenguknya tapi ia tak berani karena Arga bilang tak mau lagi ketemu dengannya. Apalagi beberapa anak cowok yang dekat sama Arga juga menyalahkannya, mengatainya pengkhianat juga. Runi dan Ani sebagai sahabat yang sudah pasti percaya kalau Dila tak mungkin melakukan itu karena mereka tahu betul seperti apa artinya Arga buat Dila, mencoba menghibur.
Arga tidak masuk sekolah hingga satu minggu, lalu tiba-tiba malah terdengar kabar kalau Arga pindah keluar kota yang lebih jauh. Dila sangat terpukul karena harus berpisah dengan Arga dalam keadaan seperti ini, dalam kesalahpahaman yang belum terselesaikan. Bahkan Arga pergi tanpa satu pesanpun.
* * *
Januari 2016
Angin berhembus sayu, jiwanya yang lembut menyentuh wajah Dila. Di sampingnya duduk pria yang sudah 16 tahun tak ia jumpai.
Arga pernah menceritakan kalau ia punya teman baik sewaktu SD kepada Agnes, hingga kesalahpahaman mereka. Baru saja Arga memberitahu Agnes bahwa orang itu adalah Dila jadi beberapa saat lalu Arga meminta waktu untuk berbicara dengan Dila dan Agnes mengijinkan.
"Ak-aku....senang bisa ketemu kamu di sini!" desis Arga,
Senang? Haruskah aku juga senang melihatmu bersama istrimu?
"Gimana kabar kamu?"
Dila masih diam, buliran bening jatuh dari matanya.
"Kamu, kamu baik-baik aja?"
"Heah!" desis Dila, "baik...., itu terdengar.....seperti pertanyaan bodoh!" sahut Dila membuat Arga menolehnya, pipi wanita itu basah. Hidungnya terlihat merah seperti tomat, hidung itu dulu suka sekali ia cubit.
"Dila, ak-aku....aku minta maaf!" ucapnya, "karena aku sudah menuduh kamu, waktu itu!" lanjutnya, "tiga minggu yang lalu aku bertemu sama Dara!"
Dila menatapnya, "Dara!" desisnya, ia ingat Dara memang saingannya di kelas. Ia juga tahu Dara suka sama Arga.
"Ternyata dia itu istri dari teman kantor aku, ketika dia tahu teman suaminya itu aku....dia meminta kami bertemu dan menceritakan semuanya!"
Dila menyimak seperti pendengar yang baik.
"Waktu itu, sepulang sekolah dia ngikutin kita sampai ke bukit dan mendengarkan semua pembicaraan kita. Dia mengaku, bahwa dialah yang menulis semua itu di papan tulis. Dia...merasa bersalah karena setelah itu, katanya kamu memilih nggak belajar di sekolah, kamu bahkan nggak mau ketemu siapapun. Dia pikir apa yang di lakukannya itu nggak ada gunanya karena aku pergi, dia cuma ingin misahin lalu membuat aku deket sama dia!"
Arga memandang Dila lebih dalam, "aku kinta maaf karena sudah salah paham sama kamu, bahkan menuduh kamu!"
"Ma-maaf!" desis Dila dengan bibir bergetar, "setelah 16 tahun, kamu meminta maaf. Apakah kamu pikir....itu berguna sekarang?"
"Dila!"
"Kamu meneriaki aku, ga. Di depan teman-teman, kamu bilang aku pengkhianat, lalu kamu bilang kamu nggak mau ketemu sama aku lagi. Apa kamu tahu apa yang terjadi sama aku?" tangisnya, "dan kamu pergi, kamu pergi tanpa pesan apapun. Apa kamu tahu, setelah itu aku memilih untuk homeschooling karena apa? Karena aku takut, di sekolah banyak sekali kenangan tentang kita, di setiap sudut sekolah aku lihat wajah kamu. Dan itu membuat aku ingat saat kamu meneriaki aku, aku juga takut, ketemu sama orang baru yang akhirnya akan menjalin hubungan dan berakhir berantakan juga!"
"Dila!"
"Kamu nggak kasih aku kesempatan buat menjelaskan semuanya, apa kamu tahu, seperti apa artinya kamu buat aku. Aku rasa kamu tahu itu?" seru Dila sedikit berteriak,
"Dila, maafkan aku!"
"Apa kamu masih ingat!" potong Dila memelankan suaranya, "kamu ingat, kita pernah mengucap janji bersama, di bukit, hari itu?"
Arga diam, melayangkan angannya ke masa itu,
"Gimana kalau kita buat janji?" ajak Arga, "janji?" sahut Dila sedikit bingung, Arga mengangkat tangannya lalu menunjukan kelingkingnya, "mana kelingking kamu?" tanyanya.
Tak menjawab pertanyaan Dila, Arga mengangkat tangan Dila. Mengeluarkan kelingkingnya, menautkan dengan kelingkingnya sendiri, jadi sekarang kelingking mereka saling bertautan. Dila memandang Arga yang tersenyum padanya,
"Aku, Arga Dewangga. Berjanji, apapun yang terjadi, nggak akan pernah lupa dan meninggalkan Dila Kanyadewi, selamanya!" ucap Arga, Dila masih diam menatapnya, "sekarang kamu?"
"Ha, apa?"
"Ucapin apa yang aku ucapin tadi!" suruh Arga, Dila menelan ludah, itu kekanakan sekali rasanya. Tapi ia juga ingin seperti itu, selalu bersama Arga, jadi iapun mengucapkan janji itu.
"Aku, Dila Kanyadewi. Berjanji, apapun yang terjadi, nggak akan pernah lupa dan meninggalkan Arga Dewangga, selamanya!"
Keduanya bertatapan dalam, itu memang janji anak kecil, janji anak berusia 11 tahun. Tapi itu datang dari hati, dan itu tulus. Kelingking mereka masih saping terpaut.
"Kalau dewasa nanti, aku cuma mau nikah sama kamu ah. Nggak mau yang lain!"
"Apa?"
"Kalau ada yang deketin kamu, pokoknya.....akan aku bunuh semua cowo itu!"
Deg!
Arga terperanjat mengingat janji itu, ia memejamkan mata dengan sedikit mendesah. Ia pernah mengatakan hanya mau menikah dengan Dila, tapi kenyataannya....sekarang ia malah sudah menikah dengan gadis lain.
"Dila, aku.....!"
"Kamu sebut aku pengkhianat!" potong Dila, "apa kamu tahu, selama 16 tahun....aku memegang janji itu, Ga. Aku percaya kamu juga sama, aku selalu berharap kita ketemu lagi dan meluruskan semunya, lalu kita akan kembali seperti dulu. Selama 16 belas tahun..., aku takut menjalin hubungan dengan orang baru meski cuma sebagai teman!" ia menyeka airmatamya, tapi buliran itu tak mau berhenti,
"Kamu janji nggak akan ninggalin, kamu janji nggak akan lupa sama aku, kamu juga bilang....kamu cuma mau nikah sama aku. Sampai beberapa saat lalu aku masih percaya semua itu, tapi.....tapi kamu menghancurkannya.....,"
"Dila!" buliran bening juga meluncur di pipi Arga,
"Sekarang siapa yang pengkhianat.....," tangis Dila, "kamu pergi, kamu ninggalin aku...., kamu lupain aku, Ga. Kamu nikah sama orang lain!"
"Dila, maafkan aku!"
"Kamu pikir maaf kamu bisa mengembalikan tahun-tahun yang aku jalani dengan ketakutan, tahun-tahun yang aku jalani untuk menunggu kamu.....menunggu mendapatkan maaf dari kamu. Kamu nggak tahu betapa tersiksanya aku selama ini....., kamu jahat, Ga!"
"Dila," katanya memungut pundak gadis itu, "aku tahu aku salah, aku sudah menuduh kamu, aku pergi begitu saja, tapi....!"
"Tapi itu udah nggak ada gunanya...., bahkan kita ketemu lagi pun....nggak bisa merubah apapun. Kamu...., kamu jahat!" seru Dila mencoba menahan tangisnya, "kamu sudah menghancurkan hidup aku,"
"Dila!"
"Berhenti menyebut namaku," katanya melepaskan diri dari tangan Arga, "aku bahkan nggak tahu aku harus benci atau seneng ketemu kamu, mungkin seharusnya kita nggak pernah ketemu!"
"Aku minta maaf!" katanya hendak meraih lengan Dila tapi Dila mengangkat tangannya untuk menghentikan Arga. Membuat Arga tertegun,
Dila menggeleng, "aku nggak suka kamu sentuh-sentuh aku, aku nggak mau....di tuduh lagi. Lebih baik....., kamu jaga baik-baik janji kamu ke istri kamu, jangan patahkan hidupnya seperti kamu mematahkan hidup aku!" pinta Dila seraya berdiri.
Arga menatapnya dengan seribu sesal yang menyesak di dadanya, sekali lagi Dila membalas tatapan itu lalu berbalik dan berlari meninggalkan Arga. Arga menatap gadis itu, gadis kecil yang kini sudah tumbuh dewasa.
Ia tak menyangka ternyata Dila masih sangat mempercayai janji mereka, sementara dirinya......
Dila benar!
Ia menuduh gadis itu pengkhianat, tapi ternyata dirinya sendirilah yang telah berkhianat. Ia pergi meninggalkan Dila dalam amarah, membuat gadis itu hidup dalam kegelapan. Ia juga memperhatikan sikap Dila, gadis itu bersikap kikuk, cara bicaranya, caranya bertingkah, padahal Dila yang dulu ia kenal adalah Dila yang periang, Dila yang lincah, Dila yang luwes. Dan Dila itu....sudah tak ada.
Dan itu.....karena dirinya!
-----o0o-----
Artikel ini pertama kali di publikasikan di www.kompasiana.com,
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H