Mohon tunggu...
Y. Airy
Y. Airy Mohon Tunggu... Freelance Writer -

Hanya seseorang yang mencintai kata, Meraciknya.... Facebook ; Yalie Airy Twitter ; @itsmejustairy, Blog : duniafiksiyairy.wordpess.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

The Broken Wings of Angel ~ The Wedding #Part 32

11 Januari 2016   15:22 Diperbarui: 27 Januari 2016   22:00 517
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Sebelumnya, The Wedding #Part 31

 

Kedua insan itu masih saling terpaku, mematri tatapan pada apa yang ada di hadapan mereka. Masih ragu apakah saat ini nyata, Liana sedikit menelengkan kepalanya ke samping kiri untuk memastikan apakah benar Nicky yang ada di depannya.

Nicky diam menatapnya dengan tajam, sorot mata yang selama ini begitu di rindui oleh Liana. Sesaat Liana merasakan sorot itu masih sama, tajam tapi teduh. Sebelum berubah di detik berikutnya, pria di hadapannya kini menghujaminya dengan sorot mata yang menusuk hingga ke ulu hati. Lebih tajam dari yang terakhir ia ingat.

Nicky memindahkan pandangannya lebih dulu dari mata Liana menerobos masuk ke dalam ruangan di belakang wanita itu.

Karena mata Nicky sudah beralih, maka kesadarannya pun mulai pulih. Ini memang nyata, bukan khayalan!

"Tak mau mempersilahkanku masuk?" desis Nicky, mata Liana sedikit melebar. Tercengang. Pria itu ingin dirinya mengundangnya masuk ke dalam rumah.

"Ini sudah larut, tidak enak dengan warga!" sahutnya sedikit terbata, Nicky menyunggingkan senyum. Senyum yang pernah Liana kenal, sebuah senyum sinis.

"Bukankah kita masih menikah, kenapa kau lebih kuatir dengan kedatangan suamimu dari pada pria lain?" serunya, itu seperti sebuah sindiran. Liana kembali melebarkan mata.

Tanpa menunggu di persilahkan Nicky melangkah melewati wanita itu yang masih terpaku di pintu, ia berdiri membelakangi Liana, mengamati setiap sudut ruangan itu, "jadi selama ini kau tinggal di sini?"

Liana membalikan tubuh, menatap punggung suaminya. Punggung yang ia senangi untuk menyandarkan kepalanya, meski saat ini hanya berjarak kurang dari dua meter tapi entah, rasanya tak bisa ia gapai.

Nicky membalikan tubuhnya sehingga kembali menemukan mata istrinya, wanita itu baru selesai mandi, rambutnya masih basah. Bahkan di bagian ujungnya masih menetes sisa airnya yang membuat piyama yang di kenakanmya basah. Dan wanita itu....

Terlihat sangat cantik sehabis mandi. Nicky memandangnya tanpa kedip, sudah hampir enam bulan ia tak permah melihat istrinya seperti itu. Kini ada di depannya hanya berjarak satu meter lebih, gejolak-gejolak yang menentang egonya mulai menyala, mengalirkan aliran aneh di setiap nadinya. Bahkan gemuruh di balik tulang rusuknya sulit untuk ia kendalikan, ingin rasanya ia meraih tubuh di depannya ke dalam rengkuhannya, mencium harumnya, menikmati setiap jengkalnya tanpa terlewat satu inchipun.

Tapi ia tak ingin menjatuhkan harga dirinya hanya demi mengungkapkan kerinduannya terhadap wanita itu, apalagi ketika bayangan Anthony Robert muncul di benaknya. Keinginan-keinginan akan rasa rindu itu memudar, menguap. Kini amarah mulai menjalari tiap alur nadinya, memikirkan tentang apa saja yang mungkin terjadi antara Anthony dan istrinya.

Liana juga masih diam mematung, lidahnya bahkan terasa kelu hingga membuatnya sakit.

"Aku tak sengaja melihatmu, jadi ku pikir....tak ada salahnya aku tahu dimana tempat tinggal barumu!"

Liana kembali di buat tercengang, jadi Nicky mengikutiku, itu artinya....dia melihatku bersama Anthony?

Liana mulai sedikit salah tingkah, Nicky memperhatikannya lebih seksama. Karena rambut Liana masih basah tentu saja benda itu jadi membentuk beberapa kelompok-kelompok, hal itu membuatnya bisa melihat ada sesuatu di bagian tulang pipi Liana sebelah kiri, seperti bekas luka. Nicky lebih mengamatinya untuk memastikan lalu bertanya,

"Kenapa wajahmu?"

Liana sadar akan pertanyaan itu, ia menyentuh pipinya lalu segera menutupinya dengan rambut poninya yang ia uraikan melebar. Dengan sedikit memalingkan wajah agar Nicky tak bisa melihatnya ia menjawab,

"Aku terjatuh, dan....dan terkena pecahan kaca!" sahutnya gugup, Nicky mengernyitkan dahi sebagai tanda kurang yakin. Tapi itu mungkin saja kan?

Dan akhirnya Nicky mengangguk kecil, ia masih menatap Liana, membuat tubuh wanita itu kian gemetar. Liana sendiri merasa lututnya sudah tak mampu menopang tubuhnya lagi, tapi sekuat tenaga ia tetap bertahan agar tak tersungkur.

"Jadi....kau masih bersama Rizal?" tanya Nicky. Liana diam tak menjawab, "sepertinya kalian memang tak bisa di pisahkan ya?" cibirnya.

Nicky diam sejenak.

"Apakah aku selama ini sangat bodoh?" lanjut Nicky, "aku tidak tahu dimana dirimu, tapi teman bisnisku.....sepertinya sering menjambangimu!" ada makna yang tersimpan dalam kalimat itu yang bisa Liana rasakan pedihnya, "apakah kalian sering menertawakanku?" tanyanya lebih tegas.

"Kenapa kau diam, Liana?"

Mata Liana mulai mengambang, tapi ia bertahan untuk tak biarkan alirannya melewati gerbang. Meski sebenarnya ia ingin menangis mungkin menjerit dengan tuduhan yang terselip dalam kalimat suaminya.

"Jadi, apa hubunganmu....dengan Anthony Robert?"  

Liana masih diam.

"Jawab aku?" teriak Nicky membuat tubuh Liana melonjak, pertahannya hampir bobol dengan suara itu. Tapi sama, ia tetap berusaha bertahan. Dengan bibir bergetar iapun mulai membuka suaranya yang sedari tadi tertahan.

"Jika mantan kekasihmu....sekaligus ibu dari anakmu, bisa kau simpan di rumahmu....kenapa kau berani, berbicara seperti itu padaku?" katanya, Nicky melebarkan mata dengan sahutan istrinya yang tak pernah ia duga, "setidaknya aku, tidak menyimpan Anthony di rumahku!" lanjut Liana dengan gerutu yang membuat leher jenjangnya mengeras.

Nicky makin tercekat, ia mengalihkan pandangannya dari wanita itu tak menentu. Bibirnya bergerak-gerak, antara ingin tertawa, marah, menangis, bercampur menjadi satu. Lalu ia menatap Liana sekali lagi yang sedang mencoba memasang wajah angkuh, lalu ia beranjak meninggalkan tempat itu dengan langkah cepat. Liana memejamkan mata ketika Nicky sudah melewatinya, ia segera menutup pintu tanpa menoleh dan bersandar di balik pintu itu. Sementara Nicky membantingkan diri ke balik kemudinya, Liana menumpahkan tangisnya di saksikan dinding-dinding bisu yang memudar.

Maafkan aku Nicky, kau yang memaksaku berkata seperti itu!

Ia menutup mulutnya dengan telapak tangannya seraya membiarkan tubuhnya bersimpuh ke lantai. Saat mengucapkan hal itu, ia hanya ingin menjadi kuat dari tekanan Nicky. Tapi kini ia tahu apa akibat dari ucapannya, apa yang akan Nicky pikirkan tentang dirinya mulai dari sekarang, dan karena itu, ia mulai takut.

* * *

Nicky duduk di ruang kerjanya, ucapan terakhir Liana masih jelas ia dengar di telinganya. Perkata, bahkan persuku kata. Dan itu membuat dadanya begitu sesak, seperti ingin meledak, membiarkan isinya berhamburan. Kepalan tangan kanannya yang berada di depan mulutnya ia kencangkan, udara yang ia remas di dalamnya seakan adalah sesuatu yang ingin ia remukan.

Dengan amarah yang memuncak ia pun bangkit menyambar semua barang yang ada di atas meja kerjanya, barang-barang itu berserakan ke lantai hingga melahirkan bunyi gaduh. Beberapa lembar kertas beterbangan lalu secara perlahan mereka mendarat ke lantai. Lantai ruangan itu jadi berserakan.

Kedua tangannya tergeletak di atas meja, nafasnya tak beraturan, amarah sedang memuncak di ubun-ubunnya. Atau bahkan, rasa malu, ia merasa harga dirinya seperti di injak-injak. Satu nama sedang menari-nari di otaknya, seolah meledeknya.

Lalu ia mencoba mengatur nafas lalu meraba tubuhnya untuk menemukan sesuatu dan ia mendapatinya ada di saku celana jeansnya. Ia segera menekan sebuah nomor,

Mela yang sedang asyik terlelap di balik selimutnya terpaksa mengangkat hpnya yang tak mau berhenti melantun, dengan suara malas ia pun menjawab, "halo!"

"Mey!"

Mela melebarkan mata, "Nicky!" desisnya, kalau sudah menganggu acara tidurnya begini pasti ada hal yang gawat, "Apa?"

.....

"Ok, akan ku atur!"

.....

"Hem....!" katanya lalu membanting teleponnya ke kasur dan merebahkan diri kembali sambil matanya terus terpejam. Tapi seketika ia membuka matanya kembali, mencari hpnya di kasur, setelah menemukannya ia segera mencari nomor seseorang.

"Apakah dia tidak bisa menunggu sampai pagi untuk memberi perintah, seenaknya saja!" gerutunya.

* * *

 Rizal mengulangi ketukanya berkali-kali karena tak mendapat tanggapan dari Liana, biasanya wanita itu yang membangunkannya. Tapi pagi ini, matahari sudah merangkak naik, wanita itu belum juga terlihat batang hidungnya. Rizal mulai kuatir, jadi ia kembali ke rumahnya untuk mengambil kunci duplikat rumah Liana, ia memang sengaja membuat duplikatnya agar jika terjadi sesuatu ia bisa dengan mudah tahu.

Setelah menemukannya ia pun membuka pintu rumah itu dengan duplikatnya, segera ia menerobos masuk. Tubuhnya terhenti ketika melihat Liana tertidur di kursi sofa panjang yang usang, iapun mendekat dan berjongkok. Terlihat matanya bengkak, apakah wanita itu habis menangis semalaman?

Apa yang terjadi?

"Liana!" panggilnya seraya mengguncang pundak wanita itu, seketika Liana tersentak, membuka matanya dan menemukan Rizal di depannya. Ia segera bangkit duduk mengusap wajahnya dengan telapak tangan.

"Ada apa, apakah terjadi sesuatu?"

Liana menggeleng pelan, "aku hanya tak bisa tidur semalam!" sahutnya lirih, "kau terlihat tak enak badan, apa kau sakit?" cemas Rizal.

"Aku tidak apa-apa, setelah mandi juga segar kembali!"  

"Kau terlihat lelah, lebih baik kau tak usah pergi hari ini!"

"Tak ada yang bisa ku lakukan di rumah, Jal. Tak apa-apa, aku akan pergi agak siang, kau pergi saja dulu!"

"Liana!"

"Aku mohon," potongnya menatap Rizal, "jangan terlalu overprotektif padaku, sikapmu mengingatkanku pada eyangku. Dan itu akan membawaku ke masalalu, dan aku tak mau, kau tahu itu!"

Akhirnya Rizal mengalah. Tentu saja, ia tidak akan menang berargumen dengan Liana karena wanita itu sangat keras kepala, sama seperti suaminya. Ya, mungkin sebenarnya banyak kesamaan di antara mereka, sama-sama keras kepala, sama-sama ceroboh, gegabah. Itu sebabnya mereka berjodoh.

* * *

Nicky menatap tajam teman bisnisnya itu, yang baru setengah tahun menjalin hubungan kerja. Anthony sendiri bingung kenapa Nicky mengundangnya langsung ke ruangan pribadinya untuk pertemuan ini. Biasanya mereka akan bertemu di luar atau di ruang meeting. Anehnya lagi, pertemuan ini cukup tertutup, hanya antara mereka berdua. Bahkan Nicky tak mau ada yang mengganggu saat meeting berlangsung. Walau hanya decakan cicak!

"Aku pikir, kita tidak bisa lagi melanjutkan kerjasama kita!" seru Nicky tanpa mengendurkan tatapannya, Anthony terlihat sedikit tercengang, "apa maksudmu?"

Nicky menyanbar sebuah file lalu membantingnya ke meja tepat di depan Anthony, Anthony menatap benda itu lalu merangkakan matanya kembali ke Nicky tanpa suara.

"Aku yakin kau tidak bodoh, dan tentunya kau tahu betul apa yang telah kau lakukan tuan Robert!" dan kini Nicky memanggilnya dengan panggilan yang lebih formal, "beberapa bulan terakhir kau membuatku mengalami kerugian besar, selama ini aku diam karena kau adalah teman lama Ferhan. Tapi bukan berarti kau bisa berbuat curang seenaknya di belakangku!" tegasnya.

Anthony memang melalukan beberapa kecurangan dalam pendistributoran yang ia tangani, tapi ia tak menyangka akan keperkok secepat ini, parahnya di adili langsung oleh PresDir Harris Group.

"Aku tahu kau memiliki niat tertentu bergabung dengan Harris Group, tapi kau tahu....tidak mudah untuk menghancurkan Harris Group. Selain aku tidak akan membairkannya, kau membutuhkan kekuatan yang jauh lebih besar!"

"Menghancurkan Harris Group bukan obsesi utamaku, Nicky. Aku bahkan tidak punya urusan denganmu!" sahut Anthony membuat mata Nicky melebar. Anthony tersenyum simpul, "jika kau sudah tahu, itu bagus....karena aku mulai muak dengan sandiwara ini!"

Kali ini Nicky mencoba untuk tak terkejut meski sebenarnya iya, "kau terkejut Nicky?" tanya Anthony dengan mimik nakal, "aku pikir kau cukup pintar untuk memahami semuanya,"

"Aku tidak butuh basa-basimu, aku tidak butuh tahu apa tujuanmu. Lebih baik sekarang kau enyah dari hadapanmu, sebelum aku berubah pikiran untuk menyeretmu ke meja hijau!"

Anthony membalas tatapan Nicky dengan sama tajamnya, lalu ia berdiri seraya berujar, "aku tidak takut dengan ancamanmu!" katanya lalu melangkahkan kaki.

"Satu hal Anthony!" seru Nicky memotong langkah pria itu, Anthony berhenti tapi tak menoleh, "stay away from my wife!" gerutu Nicky.

Kediaman mensekat beberapa detik.

"Istri!" desis Anthony. Ia pun membalikan tubuhnya, menatap Nicky dengan sorot cibiran, senyum kecil tersungging di ujung bibirnya, "kau yakin dia masih istrimu?" katanya.

Nicky melebarkan mata, apa maksud kata-kata Anthony? Apakah mereka.......

 

---Berdambung.....---

• T.B.W.O.A ~ The Wedding (second novel)

The Wedding #Part 33

The Wedding #Prologue

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun