Mohon tunggu...
Y. Airy
Y. Airy Mohon Tunggu... Freelance Writer -

Hanya seseorang yang mencintai kata, Meraciknya.... Facebook ; Yalie Airy Twitter ; @itsmejustairy, Blog : duniafiksiyairy.wordpess.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Wild Sakura #Part 5 ; Tuhan Tak Pernah Membiarkan Kita Sendirian

4 November 2015   19:30 Diperbarui: 13 November 2015   09:59 596
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Sebelumnya, Wild Sakura #Part 4 : Jeruji Besi dan Tong Sampah

 

"Jadi....kamu baru saja keluar dari lapas?" desis Erik setengah berbisik.

Sonia mengangguk, mereka sedang makan di warteg dekat pasar tempat mereka bertemu. Erik hanya menatap gadis itu menghabiskan makanannya dengan lahap, seperti sudah sebulan tidak makan saja! Sonia baru saja menceritakan semua kisah hidupnya di masa lalu. Ia juga tak tahu kenapa ia bisa begitu mudah bercerita kepada pemuda yang baru saja ia temui.

"Tapi kenapa....kamu ceritakan semua itu sama aku?"  

"Karena kamu orang pertama yang ku temui di kota ini yang mau mengisi perutku?"

Erik menjinjing satu alisnya, "kamu tahu?" Sonia melanjutkan ucapannya, "dari pagi tuh aku nyari kerjaan nggak dapet-dapet, padahal aku nggak keberatan kalau cuman jadi tukang cuci piring. Lagipula.....aku yakin kamu orang yang baik!"

Erik menyimpulkan senyum kecil di bibirnya, "ini Jakarta, harusnya kamu jangan mudah percaya sama orang yang baru saja kamu temui, kalau orang itu berniat jahat bagaimana?" tukasnya, Sonia meletakan sendoknya lalu menatap Erik dalam, "memangnya....kamu berniat jahat sama aku?"

"Memangnya aku ada tampang penjahat gitu?"

"Ehm.....dikit sih!"

"Kalau aku berniat jahat sama kamu, ngapain sekarang kita di sini?"

"Nah, itu tahu!"

Sonia melanjutkan makannya, sementara Erik semakin dalam memandangnya, "aku beruntung sekali ya, bisa bertemu orang sebaik kamu!" katanya di sela kunyahannya, Erik menyunggingkan senyum kecil.

Itu bukan beruntung, mungkin itu bodoh! Entah nasibmu yang baik, atau kamu memang orang baik. Atau.....terlalu polos!

Erik tersenyum lebar dalam hati, lalu ia bertanya, "itu artinya....kamu nggak punya tempat tinggal kan?" Sonia berhenti mengunyah dan menaruh kembali sendok di tangannya, lalu ia mengangkat matanya ke wajah Erik, menggeleng pelan.

"Ok!" sahut Erik mengangguk-angguk pelan.

* * *

Semua orang berjalan meninggalkan ruang rapat, Rocky juga merapikan beberapa berkas-berkasnya. Ketika ia berdiri suara papanya harus menghentikannya, "Rocky, setelah ini kita tak ada meeting penting kan?" tanya Danu yang masih duduk di kursinya.

"Ya!"

"Tadi Hardi Meneponku, kenapa kamu tak mau menjemput Nancy di kampusnya?"

Dasar pengadu! gerutunya dalam hati.

"Pa, bukannya aku nggak mau jemput dia. Tapi aku masih punya banyak pekerjaan di sini!"

"Biarkan asistenmu yang mengurusnya, untuk apa gunanya dia jika tak mampu membantumu!"

"Ingat Rocky, Nancy calon istrimu. Perlakukan dia dengan baik!"

Rocky mendengus kesal, ia memungut berkas di meja, "apakah aku harus selalu jadi boneka papa, bahkan untuk menentukan pilihan hidupku?" kesalnya lalu berhambur keluar.

"Rocky!"

Tapi pemuda itu seolah tak mendengar panggilan papanya, ia tetap melanjutkan langkahnya.

Erik mengajak Sonia ke tempat tempat kostnya, sebuah bangunan tak bertingkat dengan jejeran pintu di bagian depan itulah selama ini Erik mengistirahatkan badan. Ia tinggal di kost karena memang ia juga seorang perantauan, ibunya tinggal di kampung halamannya di Cirebon bersama kakaknya yang sudah menikah. Suami kakaknya itu punya kios, meski tidak terlalu besar tapi cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Sementara dirinya memang memilih pengalaman hidup di Jakarta yang keras, selain itu untuk melarikan diri dari rasa sakit yang pernah di alaminya. Ia cerita pada Sonia tentang alasannya ke ibukota saat perjalanan ke kost.

Ia di selingkuhi kekasihnya, gadis itu selingkuh dengan teman sekolahnya waktu SMA dulu. Karena terlanjut hamil, merekapun menikah, sejak itu Erik tak mau lagi menjalin hubungan dengan gadis manapun. Bahkan selama lima tahun merantau di Jakarta dengan pindah-pindah tempat kerja, sehingga banyak bertemu rekan kerja lawan jenis yang mencari perhatian padanya selalu tak ia gubris. Dari tampang, Erik memang tak mengecewakan. Kulitnya sawo matang, bertubuh tinggi atletis, mungkin karena biasa bekerja kasar, bahkan sejak di kampung. Wajahnya tak kalah ganteng dari anak perkotaan.

"Gimana, kamu bisa tinggal di sini kan?"

"Tentu saja, ini jauh lebih baik daripada di lapas!"

"Baguslah, semoga kamu betah!"

"Rik, ehmmm....aku jadi nggak enak nih sama kamu. Kamu udah traktir aku makan, sekarang bahkan kamu bayarin kost aku, aku nggak tahu....bagaimana aku harus berterima kasih sama kamu!" katanya dengan mata yang memerah,

"Berterima kasihlah sama Tuhan, aku kan cuma perantara. Ya...karena kebetulan aja yang kamu temui itu aku!"

"Jika aku bertemu orang lain...belum tentu dia akan sebaik kamu!" mereka bertatapan, Erik bisa merasakan kalau Sonia itu gadis yang baik. Itu sebabnya ia tak segan membantu gadis itu.

"Oya, aku harus balik kerja nih. Udah telat!"

"Ha, kamu.....kenapa kamu nggak bilang sama aku. Kalau gitu kan tadi kamu balik ke tempat kerja kamu dulu aja!"

"Nggak apa-apa kok, paling cuman potong uang makan!"

"Aduh...maaf ya Rik. Aku jadi bikin kamu susah!"

Erik tersenyum, ia merogoh saku celana jeansnya lalu melangkah ke Sonia. Memungut tangan gadis itu dan menaruh sesuatu di genggamannya. Sonia melepaskan tangannya dan langsung melihat benda yang ada di dalam tangannya, mata melebar seketika tahu apa itu. Ia menjembrengnya, selembar uang setarus ribuan, lalu ia kembali menatap Erik.

"Rik, ini....!"

"Buat pegangan kamu!"

"Nggak, aku gak bisa terima!" Sonia menyodorkan uang itu kembali ke Erik, tapi Erik menahannya, "kamu akan membutuhkannya, ya....seenggaknya kamu harus punya pegangan!" ucap Erik. Sonia terdiam, menatapnya semakin dalam pemuda di hadapannya, Erik. Pemuda itu baru bertemu dengan dirinya tak lebih dari dua jam lalu, bahkan belum dua jam, tapi dia sudah mengobati kelaparannya, memberinya tempat tinggal bahkan membayarinya, dan sekarang.....

Mata Sonia semakin basah, sebutir genangan bening jatuh ke pipinya, "Rik, ini namanya....kebaikan kamu keterlaluan. Bagaimana nanti aku bisa membalas budi kamu!" ungkapnya dengan sedikit bergetar, Erik jadi ikut terharu. Tapi....

"Ih, apaan sih!" seru Erik menyeka wajah Sonia dengan kelima jarinya, membuat Sonia sedikit terperanjat, "aku dah telat nih," serunya berjalan menuju motornya dan segera menaikinya, tanpa menoleh ia meninggalkan tempat itu. Sonia memandang punggung pemuda itu hingga tak terlihat setelah menembus tikungan. Kebaikan Erik membuatnya teringat pada kalimat ibunya,

"Orang baik itu akan selalu ada yang menolong, kamu tahu kenapa? Karena Allah tidak pernah membiarkan kita benar-benar sendirian di dunia ini, kamu harus percaya itu!"

Dan sekarang ia percaya akan hal itu, bahwa Allah tak pernah membiarkan kita sendirian di dunia ini! Sonia tersenyum, "Erik, seumur hidupku, aku nggak akan pernah lupa hari ini!" desisnya lalu menyeka airmatanya.

Sonia mulai cekingukan, kamar kost itu di lengkapi dengan kasur lantai untuk satu orang, lemari kecil yang sepertinya untuk tempat pakaian. Tak ada kipas, Sonia berjalan ke bagian belakang, ada ruangan satu meter persegi yang nampaknya bisa di gunakan untuk dapur, ada jendela kecil di sisinya. Lalu di sebelahnya adalah kamar mandi plus closet, karena gerah Soniapun segera mengambil mandi lalu istirahat. Ia langsung terlelap karena memang lelah.

* * *

Rocky dan Nancy memilih duduk di meja dekat jendela, favorit Rocky memang di samping dinding kaca itu agar bisa melihat keluar, apalagi kalau Nancy sudah tak mau berhenti bicara.

"Aku nggak marah kalau kamu memang sibuk di kantor, tapi kalau kamu memang sengaja menghindar...aku sangat marah!" ungkap Nancy,

"Nancy, please deh. Jangan bicarakan ini, ok!"

"Kapan sih kamu bisa menerima kenyataan, kita akan menikah dan nggak ada seorangpun yang bisa mengubah itu!"

Rocky melempar pandangannya keluar.

Bosan menunggu Erik yang akan pulang sekitar satu setengah jam lagi, yaitu jam 9 malam. Maka Sonia pergi keluar saja, ia belum tahu jalanan itu kecuali dari arah mereka datang tadi, jadi ia berniat menghafal jalanan sekitar. Semoga saja nggak nyasar. Ia mencoba mengingat apa saja yang ia lewati, termasuk pos ronda dekat warkop, kaya'nya ia akan masih ingat tempat itu. Juga pos rw yang sepi di malam hari hingga akhirnya ia berdiri diam karena kebingungan di sebuah jalan. Itu seperti di gang sebuah kompleks karena gangnya cukup besar.

Beberapa anak yang sedang ngumpul di atas motornya, yang sedang bercanda tiba-tiba salah satunya berhenti tertawa dan memberi isyarat kepada yang lain untuk melihat ke arah yang di tunjuk oleh dagunya,

"Apaan Ris?" tanya Evan seraya menoleh bersama yang lain, begitu melihat ke empat anak itu langsung melotot.

"Wuihhh, Yan cantik banget tuh cewe!" seru Andra, Ryan hanya menatapnya saja tanpa kedip. Sementara yang lain mulai menampakan seringai nakal,

"Boleh juga tuh cewe!" seru Harris yang langsung berjalan cepat ke arah Sonia.

"Hei!" sapanya menghentikan langkah Sonia yang sedang celingukan mengingat jalan, Awalnya ekspresi Sonia biasa saja sebelum dua cowo lainnya ikut menghadang jalannya.

Dari ekspresi mereka ia tahu ini tidak akan baik, apalagi langkah kaki seseorang yang mendekat perlahan tapi dengan mantapnya ke arahnya dari belakang ketiga cowo di hadapannya.

* * *

 Wild Sakura #Part 6 ; Aku Bukan Barang Taruhan

Wild Sakura #Prologue

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun