"Jika adikmu tahu sesuatu, kita bisa memintanya menceritakan semuanya kepada kita agar kita bisa mengatasi masalah ini, iya kan?"
Febi terlihat berfikir dengan usulan Gilang, "ok, mungkin kau benar. Belakangan adikku memang sedikit aneh, dia lebih sering mengurung diri di dalam kamarnya, dan jarang bicara....padahal biasanya dia cerewet sekali!"
Beberapa terakhir ini terjadi korban berjatuhan, di jam yang sama dengan luka yang sama, tak ada sidik jari tak ada petunjuk, hal itu membuat hampir semua warga di kawasan komplek itu menjadi cemas. Karena semua korbannya memang warga kompleks itu, sampai sekarang tim forensik belum menemukan apapun.
* * *
Febi duduk di samping adiknya di dalam kamar, gadis itu duduk bersimpuh di atas ranjangnya. Merapat tembok, memeluk kakinya yang tertekuk di depan dadanya. Tampak ketakutan,
"Desi, kau mau cerita sama kakak. Bukankah 5 hari yang lalu kau dan teman-temanmu pergi berlibur ke bukit, apakah....ada sesuatu yang terjadi?" tanya Febi hati-hati.
Desi tampak mengingat sesuatu, lalu ia memegang kepalanya sendiri, memberantaki rambutnya, "tidak....tidak....!" teriaknya histeris, dan dia hampir mengamuk kalau Febi dan Gilang tidak segera meringkusnya. Febi memeluk tubuh adiknya erat hingga terkulai lemas karena tak sadarkan diri.
Kini Gilang dan Febi duduk di ruang tengah, "sekarang jelas kan, pasti terjadi sesuatu, adikmu tahu sesuatu, dan kita harus melindunginya!"
"Kalau begini jadinya, aku jadi takut!" desis Febi.
Gilang merapatkan diri, melingkarkan lengannya ke pundak wanita itu lalu memeluknya. Tiba-tiba saja airmata Febi tumpah di dadanya hingga terisak membasahi seragam Gilang. Malam itu Gilang menemaninya hingga fajar, karena orangtua Febi sedang keluar kota.
Esok harinya baru Gilang pamit karena harus bertugas kembali, Desi berjalan ke dapur dengan santai. Febi melirik adiknya yang nampak baik-baik saja, mungkin jika siang hari memang dia tak tampak takut,bahkan terkesan tak pernah terjadi sesuatu.