Mohon tunggu...
Y. Airy
Y. Airy Mohon Tunggu... Freelance Writer -

Hanya seseorang yang mencintai kata, Meraciknya.... Facebook ; Yalie Airy Twitter ; @itsmejustairy, Blog : duniafiksiyairy.wordpess.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

[Cerbung] Price of Blood #Part 28

12 Juni 2015   18:06 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:05 264
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Part 28

"Apa maksudnya dok?"

Danny dan Karen duduk berseberangan meja di ruang dokter, keduanya terpaku mendengar vonis dokter tentang kondisi Danny. Akibat gas beracun yang ia hirup di lab tempo hari, ia harus menerima kenyataan pahit di luar dugaan.

"Racun itu telah merusak sel saraf inti otak anda, bahkan sudah membuat beberapa sel mati. Dan itu juga akan berlanjut!"

"Berlanjut?" desis Karen,

"Iya, secara perlahan sel-sel saraf otak anda akan melemah dan mati!" "Mak-maksud dokter?" lirih Karen, sementara Danny hanya diam saja. "hidup tn. Hatta tidak akan lama lagi!"

Karen menutup mulutnya dengan telepak tangan karena tercengang, mata indahnya yang sedari sudah berkaca-kaca kini basah. "apa-apakah.....tidak ada cara untuk menyembuhkannya dok? Serum penawar itu, apa tidak bisa di gunakan?" tanya Karen.

"Sejauh ini kami tidak bisa melakukan apapun, tn. Hatta menghirup gas beracun itu dalam jumlah yang cukup tinggi, bahkan boleh di katakan beruntung karena masih hidup. Mungkin orang lain sudah meninggal saat itu juga!"

"Tolong lakukan sesuatu dok?"

"Kami akan berusaha tapi kami tidak bisa menjamin itu akan berhasil!" "Berapa?" desis Danny yang akhirnya membuka mulut. "berapa lama saya akan bertahan hidup sampai racun itu membunuh saya?" tanyanya.

"Kami tidak bisa memastikannya, tapi....anda masih bisa bertahan hingga beberapa bulan!"

"Han-hanya....be-beberapa bulan saja?" desis Karen.

"Tidak!" desis Sharon yang mendengarkan percakapan itu dari pintu bersama Sammy, Danny menoleh ke arah suara putrinya.

"Sharon!" desisnya, gadis itu menggeleng pelan seraya menyerukan kata tidak lalu iapun berbalik dan mengambil langkah seribu meninggalkan tempat itu. "Sharon!" Danny segera bangkit dan mengejarnya melewati Sammy yang masih berdiri di dekat pintu. Danny mempercepat langkahnya hingga meraih tubuh putrinya.

"Sharon!" desisnya,

"Papa bohong......, papa bilang papa tidak akan pernah meninggalkan aku!" rontanya,

 "Sharon!" desis Danny lagi menahan tubuh putrinya dari belakang, "katakan semua itu tidak benar, papa tidak akan pergi kan?" tangisnya. "Papa tidak akan kemana-mana!" sahut Danny memeluknya.

*****

Setelah menenangkan Sharon, mereka pulang ke rumah masing-masing. Danny bahkan menolak pulang bersama dengan Karen dan Sammy. Setelah mendengar vonis dari dokter, Danny terkesan menghindari wanita itu, tapi ia tak mengucap apapun.

Karen mencoba menghubungi Danny beberapa kali tapi tak pernah ada respon, Sammy duduk di depannya dan bertanya menggunakan isyarat. Karen menggeleng seraya menurunkan hpnya pelan. "Dia bahkan tak menjawab teleponku!" desis Karen, 

Dannu menaruh handphonenya ke meja lalu beranjak dari kamarnya, ia memegang sesuatu di tangannya. Menghampiri kamar putrinya, ia membuka pintu itu secara perlahan. Terlihat Sharon sedang tiduran seraya memeluk sebuah frame. Ada isakan lembut yang Danny dengar di ruangan itu, iapun melangkah ke ranjang, duduk di tepinya. Sharon segera bangkit duduk menyeka airmatanya, Danny memungut benda di tangan putrinya. Itu foto dirinya bersama Sarah. Ia menatap foto itu lalu menepikannya.

Danny menatap putrinya, "ini sudah larut, kenapa belum tidur?" tanyanya berbasa-basi, "aku nggak ngantuk!" sahutnya lirih. "oya, aku punya sesuatu!" seru Danny menyodorkan benda di tangannya ke arah Sharon. Sharon memandang benda itu, dari bentuknya ia tahu apa yang ada di dalamnya. Ia memungut benda itu, membukanya, menatap benda itu lama.

"Papa, ini untukku?"

"Menurutmu untuk siapa lagi, kan aku bilang itu untukmu!" Itu adalah biola yang Danny beli tempo hari, "sebenarnya papa mau memberikannya di malam kau pulang terlambat bersama Sammy, karena waktu itu kau membuatku kesal jadi aku lupa!" Sharon menitikan airmata, dan itu membuat Danny heran. "hei, kenapa kau menangis? Apa kau tidak suka hadiahnya?" tanyanya. 

Sharon menggeleng pelan, "aku suka, hanya......!" gadis itu menatap papanya dalam.

"Aku lebih suka kalau papa bisa menemaniku sampai dewasa!" airmata kembali mengucur di pipinya, "mendampingiku saat aku menikah, membantuku menjaga anak-anakku, papa sudah janji kan.....papa bilang papa mau punya banyak cucu.....aku nggak mau papa pergi!" tangisnya. 

Danny mampu menyahut, ia hanya meraih putrinya ke dalam pelukannya. Memeluknya erat, ia memang sudah berjanji pada putrinya untuk tak pernah meninggalkannya sendirian, tapi jika Tuhan berkehendak lain. Sekarang apa yang bisa ia lakukan untuk menapati janji itu?

* * *

Pagi itu Danny mendatangi Kementerian Pertahanan guna memenuhi undangan Pak Menteri. Begitu sampai di sana ia di sambut dengan hangat oleh hampir semua penghuninya. Mereka tahu kondisi Danny melalui Frans dan Frans tahu itu dari Karen. Sebenarnya Danny di beri keleluasaan untuk mengambil cuti selama yang ia mau, tapi ia menolaknya. Ia hanya meminta tambahan cuti sampai sebulan ini saja setelah itu ia siap kembali bertugas. Ia tak mau di kalahkan dengan kondisinya.

"Jika itu sudah menjadi keputusanmu, kami rasa kami tidak akan mampu mengubahnya!" seru Pak Menteri,

Hampir semuanya tahu tak seorang pun bisa membujuk Danny akan keputusan yang di ambilnya. Frans mengantarnya keluar dari gedung itu.

"Kau yakin dengan keputusanmu itu, tak mau ambil cuti panjang?"

"Jangan terlalu khawatirkan aku Frans, dan jangan perlakukan aku seolah aku sudah tak mampu melakukan apapun!"

"Bukan begitu maksudku teman, ku pikir kau mau menghabiskan waktu lebih lama bersama keluarga barumu!"

Danny menghentikan langkah mendengar ucapan Frans, "keluarga baru!" desisnya, mereka bertatapan. "jangan pura-pura bodoh, kau pikir aku tidak tahu apa yang terjadi antara kau dan Karen!"

Danny terpaku, Frans melihat ada sesuatu dalam ekspresi temannya. "Danny, kau tidak bermaksud menghindarinya kan?"

"Jangan termakan gosip murahan di surat kabar, tidak ada apa-apa di antara kami kecuali tentang Sammy!"

"Jangan membohongi hatimu, Danny. Dari caramu menatap Karen semua orang sudah bisa membaca, kalian saling mmebutuhkan. Lalu tunggu apalagi!"

"Kau tahu betul berapa lama aku bisa bertahan hidup, Frans. Apa kau pikir aku akan menikahi Karen lalu meninggalkannya begitu saja dengan Sammy dan Sharon di pundaknya?" seru Danny, "tidak Frans, aku tidak bisa lakukan itu lagi. Aku pernah meninggalkannya di saat dia membutuhkanku, dan dia harus membesarkan Sammy sendirian dalam keterpurukan. Sudah cukup selama ini aku mengabaikannya!"

"Ku rasa kau salah Danny. jika Karen menganggap Sammy adalah beban, maka anak itu tidak akan ada di hadapanmu sekarang. Akui saja kalau kau memang mencintainya, itu sebabnya sekarang kau berfikir seperti itu. Aku mengerti alasanmu, tapi kau harus lebih memikirkan Sammy dan Sharon!"

Danny terdiam dengan ucapan temannya, mungkin semua yang di katakan Frans benar. Tapi tidak adil rasanya jika ia harus meminta Karen menjadi istrinya di saat dirinya sedang sekarat.

* * * * *

Alicya segera memeluk Danny ketika kakak tirinya itu datang menemuinya di kantor, "maaf, aku belum sempat berkunjung. Bagaimana kabarmu?"

"Seperti yang kau lihat!"

Mereka berjalan ke sofa dan duduk di sana, "sepertinya ada yang begitu penting sehingga kau datang langsung ke sini?" terka Alicya.

"Kau selalu bisa menebak niatku!"

"Ada apalagi Danny, apakah ada masalah?"

"Tidak, aku hanya.....entahlah Alicya. Aku merasa.....aku masih belum siap jika harus meninggalkan Sharon sendirian!"

"Kau tahu Sharon tidak akan sendirian, aku masih tantenya, juga masih ada Frans, ada paman Toni. Bahkan sekarang Karen dan Sammy!"

Danny menatap Alicya seketika saat mendengar nama Karen, "kau jangan berfikir seperti itu, siapa tahu saja kita bisa menemukan obatnya dan kau bisa sembuh!"

"Sejauh ini mereka masih belum menemukan apa-apa, bahkan aku merasa seolah aku bisa melihat mautku!"

"Jangan bicara seperti itu, Danny!"

"Kau tahu....., apa yang Ibu katakan sebelum meninggal. Dia bilang....., dia melihat ayahku, semakin hari bayangannya semakin jelas. Itu juga yang aku alami, Aku bahkan bisa merasakan kehadiran Sarah!"

"Kau membuatku takut!" desis Alicya, "kita bicarakan hal lain saja, apa keperluanmu datang kesini?"

"Oh, itu.....ini soal investasiku di sini. Aku berniat untuk menambah investasiku sekaligus memasukan nama Sammy di dalamnya. Bagaimana pun, dia putraku!"

"Dan akan lebih baik jika kau memberinya status yang jelas!" sahut Alicya, "Alicya, aku mohon. Jangan ikut-ikutan membujukku!" pinta Danny.

"Membujukmu? Danny, apa kau tidak memikirkan perasaan Sammy? Kau pernah berada dalam posisinya, tentunya kau tahu bagaimana rasanya saat mengetahui kau terlahir bukan dari sebuah pernikahan. Beruntungnya, Karen tidak merahasiakanmu dari Sammy!"

Danny terpaku membenarkan ucapan adik tirinya, tetapi kenapa semua orang seolah memojokannya soal Karen?

* * * * *

Danny terdiam menatap mobil Karen sudah teronggok di halaman rumahnya, lama ia duduk di balik kemudi. Rasanya ia ingin memutar mobilnya kembali dan sembunyi, tapi akhirnya ia tetap memutuskan untuk melangkahkan kaki memasuki rumahnya.  

Begitu menembus pintu depan ia bisa mendengar tawa putrinya bersama seorang wanita dan anak lelaki yang ia kenali. Perlahan ia melangkah ke arah mereka dan berdiri beberapa meter dari mereka.

"Papa!" desis Sharon, ketiganya menoleh ke arah Danny. Danny menatap mereka satu persatu dan berakhir di wajah Karen, wanita itu melebarkan senyum padanya tapi ia malah membuang muka dan melangkah menuju kamarnya.

"Danny, tunggu!" seru Karen.

Danny menghentikan langkahnya tapi tetap tak menoleh. "kenapa kau seolah menghindariku, kau bahkan tak pernah menjawab teleponku?"

"Karena hubungan kita sudah berakhir!" sahut Danny datar, "apa?" seru Karen. "kau sendiri yang mengatakannya padaku kan!" sambung Danny.

"Tapi, semua yang kau katakan dalam pesan itu. Apakah semua itu bohong?"

"Itu!" Danny mengepalkan tinjunya, "itu tak berarti apa-apa, anggap saja.....aku tak pernah membuat pesan itu!" serunya lalu melanjutkan langkahnya dan menghilang di balik pintu kamarnya.

Karen masih terpaku di sana, sebutir airmata menggelinding melewati pipinya. Sementara Danny bersandar di balik pintu, ia sendiri tidak tahu apakah langkah yang di ambilnya salah atau benar. Tapi ia tak ingin Karen menanggung semua itu, menanggung dirinya, anak-anaknya. Ia memejamkan mata, sebuah rasa sakit kembali muncul di kepalanya. Sekuat tenaga ia tetap mencoba bertahan, mencoba tidak meraung, tidak merintih. Hanya mengepalkan tinjunya untuk menahan rasa sakit itu, keringat dingin mulai mengucur di sekujur tubuhnya. Rasa sakit itu kini makin menjadi dan tak tertahankan. Ia melangkah ke ranjang dan membiarkan dirinya terhempas di sana seraya meremas kasur untuk menahan rasa sakit yang kian menjadi.

* * * * *

 

• A Danny Hatta Novel Trilogi ;

# Price of Blood (the last novel)

 

 

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun