"Papa, ini untukku?"
"Menurutmu untuk siapa lagi, kan aku bilang itu untukmu!" Itu adalah biola yang Danny beli tempo hari, "sebenarnya papa mau memberikannya di malam kau pulang terlambat bersama Sammy, karena waktu itu kau membuatku kesal jadi aku lupa!" Sharon menitikan airmata, dan itu membuat Danny heran. "hei, kenapa kau menangis? Apa kau tidak suka hadiahnya?" tanyanya.Â
Sharon menggeleng pelan, "aku suka, hanya......!" gadis itu menatap papanya dalam.
"Aku lebih suka kalau papa bisa menemaniku sampai dewasa!" airmata kembali mengucur di pipinya, "mendampingiku saat aku menikah, membantuku menjaga anak-anakku, papa sudah janji kan.....papa bilang papa mau punya banyak cucu.....aku nggak mau papa pergi!" tangisnya.Â
Danny mampu menyahut, ia hanya meraih putrinya ke dalam pelukannya. Memeluknya erat, ia memang sudah berjanji pada putrinya untuk tak pernah meninggalkannya sendirian, tapi jika Tuhan berkehendak lain. Sekarang apa yang bisa ia lakukan untuk menapati janji itu?
* * *
Pagi itu Danny mendatangi Kementerian Pertahanan guna memenuhi undangan Pak Menteri. Begitu sampai di sana ia di sambut dengan hangat oleh hampir semua penghuninya. Mereka tahu kondisi Danny melalui Frans dan Frans tahu itu dari Karen. Sebenarnya Danny di beri keleluasaan untuk mengambil cuti selama yang ia mau, tapi ia menolaknya. Ia hanya meminta tambahan cuti sampai sebulan ini saja setelah itu ia siap kembali bertugas. Ia tak mau di kalahkan dengan kondisinya.
"Jika itu sudah menjadi keputusanmu, kami rasa kami tidak akan mampu mengubahnya!" seru Pak Menteri,
Hampir semuanya tahu tak seorang pun bisa membujuk Danny akan keputusan yang di ambilnya. Frans mengantarnya keluar dari gedung itu.
"Kau yakin dengan keputusanmu itu, tak mau ambil cuti panjang?"
"Jangan terlalu khawatirkan aku Frans, dan jangan perlakukan aku seolah aku sudah tak mampu melakukan apapun!"