Mohon tunggu...
Y. Airy
Y. Airy Mohon Tunggu... Freelance Writer -

Hanya seseorang yang mencintai kata, Meraciknya.... Facebook ; Yalie Airy Twitter ; @itsmejustairy, Blog : duniafiksiyairy.wordpess.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Maaf yang Tertunda

24 Desember 2014   14:17 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:34 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Tapi hanya Deri satu-satunya yang tak melakukan itu, meski ia tahu apa yang teman-temannya perbuat. Dia tak berusaha mencegah, dia hanya mendengarkan teriakan Asri dan tangisan dari dalam kamarnya."
"Me-melakukan apa? Apa yang mereka lakukan?" airmata mulai membanjiri pipiku.

"Mereka memperkosanya, bergantian!" ada ledakan emosi dalam suara itu, sekujur tubuhku pun jadi gemetar. Pernyataan itu seperti petir yang menyambar telingaku. Ku rasakan tubuhku hampir roboh jika saja aku tak meraih meja di sampingku.

"Aku tahu itu salahku, harusnya aku tak mengajaknya kesana. Harusnya...., aku tak meninggalkannya bersama mereka!" tangis mulai menderai dalam suaranya. Ku cengkeram pinggiran meja hingga kukuku menancap di sana. Airmataku juga tak bisa aku hentikan.

"Apalagi?" desisku dengan berat.

"Aku mencari mereka, dan menemukannya di tempat mereka biasa nongkrong. Aku membawa tongkat bisball untuk menghajar mereka. Aku bersumpah untuk membunuh mereka semua," lanjutnya, "tapi...., akulah yang terkapar di jalanan. Sebelum ku tutup mataku, aku sempat melihat mata kakakmu menatapku penuh benci!"

Lagi-lagi ku dengar dia menghela nafas untuk mengatur suaranya.

"Saat aku tersadar...., aku....., berada di rumah sakit. Dan orangtuaku bilang....., aku baru sadar setelah koma selama 7 bulan. 7 bulan....., ku pikir aku sudah mati....., tapi Tuhan tak membiarkanku mati!" isaknya.
"Maafkan aku....., aku tahu.....mungkin ini sudah terlambat. Tapi aku tetap ingin mengatakannya, mungkin....., Tuhan masih membiarkan aku hidup untuk bisa mengatakan ini padamu....., atau.....orangtuamu!" desisnya. "Aku...., aku menyesal. Aku minta maaf!" akunya.

Mendengar itu hatiku begitu teriris, jika semua yang di ceritakannya padaku itu benar. Itu artinya....dia juga korban! Meski hal itu terjadi karena kecerobohannya, karena kebodohannya.

"Sekarang aku akan menerima hukuman apapun yang kau berikan padaku, aku sudah mempersiapkan diri untuk hal itu!" tambahnya. Suaranya mulai terdengar tegar. Tapi aku yang sekarang mulai tak bisa mengendalikan tangisku. Ku usap airmata yang menggenang di pipiku.

Aku memutar tubuhku, mulai melangkahkan kakiku meski begitu berat seperti di ikat oleh rantai satu ton. Perlahan aku berjalan ke arahnya, melewatinya yang hanya diam terpaku. Kini aku berada di depannya, perlahan.....ku putar kembali tubuhku. Saat aku melihatnya, aku tercekat. Seperti ada yang memasukan benda besar di tenggorokanku sehingga membuatku tak bisa bernafas. Darahku seakan berhenti mengalir di nadiku. Seluruh tulangku seakan meleleh, ku tatap dia dengan airmata yang tak bisa aku hentikan lagi. Ku pikir.....ia duduk di kursi itu hanya untuk mengelabui ku atau pun keluargaku jika kami berhasil menemukannya, tapi.....

Dia duduk di sana karena sekarang dia hanya memiliki satu kaki, kedua matanya terkatup rapat. Dan tubuhnya terlihat kurus. Kupikir....hanya keluargaku saja yang merasakan sakit kehilangan kak Asri. Hanya aku saja yang merasa sakit atas kepergian kakakku. Tapi....di sini, di tempat ini.....ada seorang pemuda yang jauh lebih sakit karena kepergian kak Asri. Dari garis wajahnya bisa ku lihat sebuah penyesalan besar yang tak mampu ia ungkap pada siapapun. Ada sebuah rasa bersalah yang menggerogoti setiap detik yang ia lalui. Dan dia bertahan hidup dengan kondisi seperti itu hanya untuk bisa mengucap kata maaf yang tak sempat di ucapkannya pada kakakku. Tubuhku terjatuh di sana, kini aku hanya bisa terduduk menangis tanpa mampu berucap sepatah katapun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun