Maaf yang Tertunda adalah sesi kedua dari Cerpen Pesan Terakhir
Aku memutuskan mencari sendiri dimana keberadaan pria bernama Rendra itu, ayahku adalah orang yang cukup emosional, aku takut malah akan terjadi hal yang tak di inginkan. Aku mencarinya mulai dari SMU tempat dulu kak Asri bersekolah. Kata kepala sekolah tak lama setelah meninggalnya kakakku orang tua Rendra mengurus surat kepindahan anaknya itu ke sekolah lain. Dan mereka tak memberitahukan kemana Rendra akan pindah. Tapi aku tidak putus asa, aku mencoba mencari tahu dari teman sekelasnya dulu yang masih tinggal di dekat rumahnya.
Lagi-lagi aku tak menemukannya, mereka tidak tahu kemana Rendra pindah. Dari kepala desanya aku di suruh bertanya saja pada nenek dan kakeknya. Pak Kepala desa memberiku alamatnya, aku langsung meluncur ke sana dengan motor. Beberapa hari penelusuran akhirnya aku membuahkan hasil juga, sang nenek memberiku alamat sebuah rumah di kawasan Tembalang, Semarang.
Aku sudah tak sabar bertemu dengan orang yang membuat kakakku bertekat mengakhiri hidupnya dengan cara yang di benci oleh Tuhan. Menjelang magrib aku sampai di Tembalang, aku sengaja mencari mushola untuk sholat magrib terlebih dahulu sambil beristirahat. Selesai sholat aku sempat bertanya pada beberapa orang tentang alamat itu.
Dan sekarang aku berdiri di depan pintu rumah bercat putih dan grey itu. Lama aku terdiam sebelum mengetuk daun pintu. Semoga alamat ini benar, jantungku sudah berdegup tak menentu. Apa yang akan aku lakukan jika aku benar bertemu dengannya? Meninjunya, menghajarnya atau....., entahlah!
Pintu itu terbuka, seorang wanita yang usianya tak jauh dari ibuku muncul di ambang pintu. Menatapku dari atas hingga bawah, lalu ia tersenyum padaku.
"Apa kau....., Indri?" tanyanya.
Ku lihat senyumannya itu menyimpan sebuah luka, entah apakah itu. Aku belum mau peduli, saat ini aku hanya ingin tahu seperti apa pria bernama Rendra itu.
"Iya, apakah benar.....Rendra Saputra tinggal di sini?" tanyaku,
Wanita itu mengangguk.
"Masuklah, kami sudah menunggumu. Orangtuaku menelpon katanya seorang gadis bernama Indri Dwi Aryani akan datang menemui cucunya. Gadis itu menyebut nama Asri Indah Sari, dia kakakmu?"
Aku masih diam memandangnya, tapi akhirnya ku anggukan kepalaku dan perlahan melangkah masuk ke dalam rumah itu. Wanita itu membawaku masuk ke dalam, melewati ruang tamu dan akhirnya melewati dapur hingga menembus keluar.
"Aku tak memberitahunya kalau kau akan datang, tapi mungkin....saatnya sudah tiba!" kami berhenti di depan sebuah pintu. Di belakang rumah itu ada paviliun kecil yang dari luar tercium bau tanah liat. Wanita itu meraih tanganku dan berkata dengan lembut.
"Kami sangat memohon padamu untuk membantunya, kami harap.....kau bisa memahami semuanya!" katanya lalu meninggalkanku terpaku di sana.
Memahaminya? Aku tersenyum kecut dalam hati, apakah dulu dia memahami kakakku? Kembali ku pandang pintu di depanku. Tanganku gemetar saat kurangkakkan naik meraih gagang pintu dan memutarnya, ku dorong pintu itu perlahan hingga terbuka lebar. Pandanganku berputar, ruangan itu di penuhi dengan keramik tanah liat, selain berbentuk guci dan vas yang cantik juga ada yang berupa patung wajah manusia. Terlihat sangat abstrak dan hidup, cukup menunjukan bahwa memang di buat dengan hati dan jiwa. Aku mulai melangkahkan kaki perlahan, seorang pria duduk di sebuah kursi roda. Ia terlihat menghentikan kegiatannya saat mendengar pintu terbuka dan langkah kaki.