"Bu, aku kan sudah bilang....aku sedang tak ingin di ganggu!" serunya dengan suara lembut.
Apakah dia Rendra? Kenapa dia duduk di kursi roda, untuk mengelabuiku?
Sekali lagi ku putar pandanganku ke benda-benda yang berjejer di atas meja, lalu mataku tertumpu ke sebuah benda yang membuat jantungku seakan berhenti. Sebuah patung, sebuah wajah seseorang. Aku mendekatinya, airmataku menetes tanpa kusadari. Itu wajah kak Asri, tampak begitu nyata dan hidup. Dia sedang tersenyum manis, tapi sebuah senyuman yang menyimpan airmata.
"Kau memajang wajah kakakku di sini," desisku. Kurasakan dia terkejut, meski aku belum melihat wajahnya. Aku masih terpaku di depan wajah kakakku.
"Setiap hari kau memandangnya, dan apa setiap hari pula kau menertawakannya?"
Masih hening, aku tak mendengar jawaban.
"Apa yang kau lakukan pada kakakku?" ucapanku mulai di warnai emosi. Ku rasakan nafasku tak teratur dan tinjuku mengepal.
Apa yang telah di lakukannya pada kakakku, tapi kenapa bisa mengabadikan wajah kakakku dengan begitu indah di tempat ini? Apa artinya semua ini?
"Apakah kau Indri?" dia mulai mengeluarkan suara, "darimana kau tahu tempat ini?"
"Dimanapun kau sembuyi, aku pasti akan menemukanmu pada akhirnya."
Kembali diam beberapa saat.
"Aku senang kau bisa ke sini, mungkin....aku memang harus memberitahukanmu yang sebenarnya!"
"Jangan berbelit-belit, katakan saja apa yang kau lakukan pada kak Asri?" ku ulangi pertanyaanku, "siang itu....., dia pulang ke rumah dan langsung mengurung diri di dalam kamar....., hanya keluar sebentar untuk memelukku...., dan esoknya...., kami harus kehilangan dia dengan cara yang menyakitkan!" gerutuku.
"Aku tahu, itu juga menyakitkan buatku!"
Ku sunggingkan senyum getir mendengar sahutannya. Munafik! Makiku dalam hati. Aku terdiam, mencoba menunggunya memberitahuku apa yang terjadi hari itu. Cukup lama juga keheningan menyelimuti kami, tapi aku masih menunggunya untuk memulai kata. Dan ku rasa aku harus sedikit bersabar untuk mengetahui semuanya.