Mohon tunggu...
Y. Airy
Y. Airy Mohon Tunggu... Freelance Writer -

Hanya seseorang yang mencintai kata, Meraciknya.... Facebook ; Yalie Airy Twitter ; @itsmejustairy, Blog : duniafiksiyairy.wordpess.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Maaf yang Tertunda

24 Desember 2014   14:17 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:34 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Maaf yang Tertunda adalah sesi kedua dari Cerpen Pesan Terakhir


Aku memutuskan mencari sendiri dimana keberadaan pria bernama Rendra itu, ayahku adalah orang yang cukup emosional, aku takut malah akan terjadi hal yang tak di inginkan. Aku mencarinya mulai dari SMU tempat dulu kak Asri bersekolah. Kata kepala sekolah tak lama setelah meninggalnya kakakku orang tua Rendra mengurus surat kepindahan anaknya itu ke sekolah lain. Dan mereka tak memberitahukan kemana Rendra akan pindah. Tapi aku tidak putus asa, aku mencoba mencari tahu dari teman sekelasnya dulu yang masih tinggal di dekat rumahnya.

Lagi-lagi aku tak menemukannya, mereka tidak tahu kemana Rendra pindah. Dari kepala desanya aku di suruh bertanya saja pada nenek dan kakeknya. Pak Kepala desa memberiku alamatnya, aku langsung meluncur ke sana dengan motor. Beberapa hari penelusuran akhirnya aku membuahkan hasil juga, sang nenek memberiku alamat sebuah rumah di kawasan Tembalang, Semarang.

Aku sudah tak sabar bertemu dengan orang yang membuat kakakku bertekat mengakhiri hidupnya dengan cara yang di benci oleh Tuhan. Menjelang magrib aku sampai di Tembalang, aku sengaja mencari mushola untuk sholat magrib terlebih dahulu sambil beristirahat. Selesai sholat aku sempat bertanya pada beberapa orang tentang alamat itu.

Dan sekarang aku berdiri di depan pintu rumah bercat putih dan grey itu. Lama aku terdiam sebelum mengetuk daun pintu. Semoga alamat ini benar, jantungku sudah berdegup tak menentu. Apa yang akan aku lakukan jika aku benar bertemu dengannya? Meninjunya, menghajarnya atau....., entahlah!

Pintu itu terbuka, seorang wanita yang usianya tak jauh dari ibuku muncul di ambang pintu. Menatapku dari atas hingga bawah, lalu ia tersenyum padaku.

"Apa kau....., Indri?" tanyanya.
Ku lihat senyumannya itu menyimpan sebuah luka, entah apakah itu. Aku belum mau peduli, saat ini aku hanya ingin tahu seperti apa pria bernama Rendra itu.
"Iya, apakah benar.....Rendra Saputra tinggal di sini?" tanyaku,
Wanita itu mengangguk.
"Masuklah, kami sudah menunggumu. Orangtuaku menelpon katanya seorang gadis bernama Indri Dwi Aryani akan datang menemui cucunya. Gadis itu menyebut nama Asri Indah Sari, dia kakakmu?"

Aku masih diam memandangnya, tapi akhirnya ku anggukan kepalaku dan perlahan melangkah masuk ke dalam rumah itu. Wanita itu membawaku masuk ke dalam, melewati ruang tamu dan akhirnya melewati dapur hingga menembus keluar.

"Aku tak memberitahunya kalau kau akan datang, tapi mungkin....saatnya sudah tiba!" kami berhenti di depan sebuah pintu. Di belakang rumah itu ada paviliun kecil yang dari luar tercium bau tanah liat. Wanita itu meraih tanganku dan berkata dengan lembut.

"Kami sangat memohon padamu untuk membantunya, kami harap.....kau bisa memahami semuanya!" katanya lalu meninggalkanku terpaku di sana.

Memahaminya? Aku tersenyum kecut dalam hati, apakah dulu dia memahami kakakku? Kembali ku pandang pintu di depanku. Tanganku gemetar saat kurangkakkan naik meraih gagang pintu dan memutarnya, ku dorong pintu itu perlahan hingga terbuka lebar. Pandanganku berputar, ruangan itu di penuhi dengan keramik tanah liat, selain berbentuk guci dan vas yang cantik juga ada yang berupa patung wajah manusia. Terlihat sangat abstrak dan hidup, cukup menunjukan bahwa memang di buat dengan hati dan jiwa. Aku mulai melangkahkan kaki perlahan, seorang pria duduk di sebuah kursi roda. Ia terlihat menghentikan kegiatannya saat mendengar pintu terbuka dan langkah kaki.

"Bu, aku kan sudah bilang....aku sedang tak ingin di ganggu!" serunya dengan suara lembut.

Apakah dia Rendra? Kenapa dia duduk di kursi roda, untuk mengelabuiku?

Sekali lagi ku putar pandanganku ke benda-benda yang berjejer di atas meja, lalu mataku tertumpu ke sebuah benda yang membuat jantungku seakan berhenti. Sebuah patung, sebuah wajah seseorang. Aku mendekatinya, airmataku menetes tanpa kusadari. Itu wajah kak Asri, tampak begitu nyata dan hidup. Dia sedang tersenyum manis, tapi sebuah senyuman yang menyimpan airmata.

"Kau memajang wajah kakakku di sini," desisku. Kurasakan dia terkejut, meski aku belum melihat wajahnya. Aku masih terpaku di depan wajah kakakku.
"Setiap hari kau memandangnya, dan apa setiap hari pula kau menertawakannya?"

Masih hening, aku tak mendengar jawaban.
"Apa yang kau lakukan pada kakakku?" ucapanku mulai di warnai emosi. Ku rasakan nafasku tak teratur dan tinjuku mengepal.

Apa yang telah di lakukannya pada kakakku, tapi kenapa bisa mengabadikan wajah kakakku dengan begitu indah di tempat ini? Apa artinya semua ini?

"Apakah kau Indri?" dia mulai mengeluarkan suara, "darimana kau tahu tempat ini?"
"Dimanapun kau sembuyi, aku pasti akan menemukanmu pada akhirnya."

Kembali diam beberapa saat.

"Aku senang kau bisa ke sini, mungkin....aku memang harus memberitahukanmu yang sebenarnya!"
"Jangan berbelit-belit, katakan saja apa yang kau lakukan pada kak Asri?" ku ulangi pertanyaanku, "siang itu....., dia pulang ke rumah dan langsung mengurung diri di dalam kamar....., hanya keluar sebentar untuk memelukku...., dan esoknya...., kami harus kehilangan dia dengan cara yang menyakitkan!" gerutuku.

"Aku tahu, itu juga menyakitkan buatku!"

Ku sunggingkan senyum getir mendengar sahutannya. Munafik! Makiku dalam hati. Aku terdiam, mencoba menunggunya memberitahuku apa yang terjadi hari itu. Cukup lama juga keheningan menyelimuti kami, tapi aku masih menunggunya untuk memulai kata. Dan ku rasa aku harus sedikit bersabar untuk mengetahui semuanya.

"Hari itu.....," ku dengar mulutnya mulai berucap, "Aku memang mengajaknya pergi. Karena guru fisikanya sakit dan tak bisa masuk. Sementara aku membolos di jam olahragaku." ku dengar ia menghela nafas, "aku mengajaknya nonton, tapi gagal karena antriannya terlalu panjang. Dia juga bilang....., dia tak terlalu suka nonton film horor. Jadi kami putuskan untuk pergi ke tempat lain....., saat baru keluar mall. Kami bertemu dengan teman-temanku, memang bukan teman sekolah. Mereka adalah teman kenalanku di studio saat aku latihan drum. Aku mengenalkan Asri pada mereka, kami terlibat obrolan kecil, lalu.....salah satu dari mereka mengusulkan untuk pergi rame-rame. Karena sudah lama aku tidak bermain dengan mereka dan setahuku.....mereka anak-anak yang baik. Maka aku setuju, meski Asri sudah bilang padaku untuk membawanya kembali ke sekolah."

Aku masih diam mendengarkan, sepertinya terjadi sesuatu yang buruk. Dia mulai membuka mulut lagi,

"Kami pergi ke rumah Deri, di halaman belakang rumahnya ada gudang yang mereka rubah jadi basecame latihan band. Kebetulan orangtua Deri sedang bekerja, jadi tak ada orang di rumah. Kami bermain musik untuk beberapa lagu. Dan Asri ikut menyanyi, suaranya masih bisa ku dengar sampai sekarang!" Dia mulai bercerita dengan suara yang berat, seperti sedang menahan tangis.

"Deri pamit untuk pergi beli makanan dan minuman, suasana di antara kami masih sama. Setengah jam pergi, dia belum juga kembali. Lalu dia menelponku dan meminta bantuanku untuk datang ke sebuah jalan karena kena tilang. Pamanku adalah seorang polisi dan mereka tahu itu. Aku pamit pada Asri untuk menolong Deri. Dia ingin ikut denganku, tapi....."

"Sayang, aku hanya sebentar. Jalannya tidak jauh kok, paling nggak sampe setengah jam aku sudah balik. Mereka temanku, kamu jangan khawatir. Lagian kalau kamu ikut nanti aku malah sulit membantu temanku dari kena tilang!"

Asri akhirnya hanya mengangguk. Setelah Rendra pergi, Dodi memintanya untuk kembali bergabung dengan band dan menyanyi.

"Aku mencari Deri di jalan yang dia beritahu, tapi aku tak menemukannya. Aku mencoba menelponnya, dia tak merespon sama sekali. Lalu aku mulai khawatir, aku segera kembali ke rumahnya. Dan sesampainya di sana, Aku melihat Asri keluar dari pintu depan sambil menangis. Aku bertanya apa yang terjadi....., tapi dia tak mengucap apapun selain memberiku sebuah tamparan keras lalu berlari menjauh."

Jantungku mulai berdenyut tak menentu mendengar ceritanya, tapi itu belum berakhir. Aku masih ingin tahu apa yang terjadi.

"Aku terpaku, tamparannya bahkan masih bisa ku rasakan sampai detik ini." akunya, "keesokannya...., aku mendengar berita duka tentangnya di sekolah. Jantungku seakan berhenti, aku seperti tak percaya dengan berita itu. Asri yang ku kenal tak mungkin melakukan hal itu jika tak terjadi sesuatu yang begitu menyakitkan. Tapi apa? Aku juga masih tak tahu."

"Apa yang terjadi?" desisku.

"Aku berlari ke sekolah Deri, tapi ternyata dia tak masuk. Lalu aku kerumahnya, dia memang ada di sana. Mengurung diri di dalam kamarnya, aku terpaksa harus mendobrak pintu itu dan memberinya hantaman berkali-kali di wajahnya. Aku begitu percaya padanya, karena dia yang paling aku kenal di antara semua teman bandnya. Dia menangis memohon ampun padaku, aku masih bingung. Lalu dia menceritakan semuanya padaku. Dodi mengiriminya pesan melalui sms agar berpura-pura pergi mencari makanan. Lalu setelah itu menyuruhnya untuk menelponku bahwa dirinya kena tilang. Itu semua....hanya siasat!" sekali lagi ku dengar dia menghela nafas dalam, ada isak dalam suaranya saat melanjutkan cerita.

"Tapi hanya Deri satu-satunya yang tak melakukan itu, meski ia tahu apa yang teman-temannya perbuat. Dia tak berusaha mencegah, dia hanya mendengarkan teriakan Asri dan tangisan dari dalam kamarnya."
"Me-melakukan apa? Apa yang mereka lakukan?" airmata mulai membanjiri pipiku.

"Mereka memperkosanya, bergantian!" ada ledakan emosi dalam suara itu, sekujur tubuhku pun jadi gemetar. Pernyataan itu seperti petir yang menyambar telingaku. Ku rasakan tubuhku hampir roboh jika saja aku tak meraih meja di sampingku.

"Aku tahu itu salahku, harusnya aku tak mengajaknya kesana. Harusnya...., aku tak meninggalkannya bersama mereka!" tangis mulai menderai dalam suaranya. Ku cengkeram pinggiran meja hingga kukuku menancap di sana. Airmataku juga tak bisa aku hentikan.

"Apalagi?" desisku dengan berat.

"Aku mencari mereka, dan menemukannya di tempat mereka biasa nongkrong. Aku membawa tongkat bisball untuk menghajar mereka. Aku bersumpah untuk membunuh mereka semua," lanjutnya, "tapi...., akulah yang terkapar di jalanan. Sebelum ku tutup mataku, aku sempat melihat mata kakakmu menatapku penuh benci!"

Lagi-lagi ku dengar dia menghela nafas untuk mengatur suaranya.

"Saat aku tersadar...., aku....., berada di rumah sakit. Dan orangtuaku bilang....., aku baru sadar setelah koma selama 7 bulan. 7 bulan....., ku pikir aku sudah mati....., tapi Tuhan tak membiarkanku mati!" isaknya.
"Maafkan aku....., aku tahu.....mungkin ini sudah terlambat. Tapi aku tetap ingin mengatakannya, mungkin....., Tuhan masih membiarkan aku hidup untuk bisa mengatakan ini padamu....., atau.....orangtuamu!" desisnya. "Aku...., aku menyesal. Aku minta maaf!" akunya.

Mendengar itu hatiku begitu teriris, jika semua yang di ceritakannya padaku itu benar. Itu artinya....dia juga korban! Meski hal itu terjadi karena kecerobohannya, karena kebodohannya.

"Sekarang aku akan menerima hukuman apapun yang kau berikan padaku, aku sudah mempersiapkan diri untuk hal itu!" tambahnya. Suaranya mulai terdengar tegar. Tapi aku yang sekarang mulai tak bisa mengendalikan tangisku. Ku usap airmata yang menggenang di pipiku.

Aku memutar tubuhku, mulai melangkahkan kakiku meski begitu berat seperti di ikat oleh rantai satu ton. Perlahan aku berjalan ke arahnya, melewatinya yang hanya diam terpaku. Kini aku berada di depannya, perlahan.....ku putar kembali tubuhku. Saat aku melihatnya, aku tercekat. Seperti ada yang memasukan benda besar di tenggorokanku sehingga membuatku tak bisa bernafas. Darahku seakan berhenti mengalir di nadiku. Seluruh tulangku seakan meleleh, ku tatap dia dengan airmata yang tak bisa aku hentikan lagi. Ku pikir.....ia duduk di kursi itu hanya untuk mengelabui ku atau pun keluargaku jika kami berhasil menemukannya, tapi.....

Dia duduk di sana karena sekarang dia hanya memiliki satu kaki, kedua matanya terkatup rapat. Dan tubuhnya terlihat kurus. Kupikir....hanya keluargaku saja yang merasakan sakit kehilangan kak Asri. Hanya aku saja yang merasa sakit atas kepergian kakakku. Tapi....di sini, di tempat ini.....ada seorang pemuda yang jauh lebih sakit karena kepergian kak Asri. Dari garis wajahnya bisa ku lihat sebuah penyesalan besar yang tak mampu ia ungkap pada siapapun. Ada sebuah rasa bersalah yang menggerogoti setiap detik yang ia lalui. Dan dia bertahan hidup dengan kondisi seperti itu hanya untuk bisa mengucap kata maaf yang tak sempat di ucapkannya pada kakakku. Tubuhku terjatuh di sana, kini aku hanya bisa terduduk menangis tanpa mampu berucap sepatah katapun.

Keinginan Rendra membalas perbuatan para bajingan itu justru membuatnya kehilangan semuanya. Kaki kanannya hancur akibat hantaman berkali-kali oleh tongkat bisball, kedua saraf matanya juga rusak total sehingga bola matanya harus di angkat. Dan dia menolak semua donor mata yang diajukan padanya.

Dari patung tubuh kak Asri yang terpajang di ruangan itu aku baru tahu, kalau pemuda itu sesungguhnya memang mencintai kakakku hingga detik ini.

**********

Jakarta, 241214

Y. Airy

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun