Â
Ilustrasinya begini, bayangkan bahwa anda sebagai ilmuwan ingin mendeskripsikan secara detail bentuk morfologis maupun fisiologis dari sebuah makhluk yang eksist pada jutaan tahun lalu dan yang jadi referensinya adalah potongan fosil/ tulang yang hanya seukuran 5 centimeter. Namun dari potongan tulang tersebut diekstraksi informasi ilmiah tentang genetika dan informasi ilmiah lain yang anda butuhkan. Tapi anda tidak bisa mendeskripsikan atau memvisualkan bentuk morfologis makhluk tersebut. Apa yang andalah lakukan? Mencari referensi serupa, berkaitan, ada kemiripan, atau yang relevan dengan informasi yang ada kan? Lantas bagaimana jika informasi yang anda butuhkan ternyata 90 persennya anda temukan pada gorilla? Apa yang akan anda tulis sebagai deskripsi temuan anda? Yup, Makhluk yang fisiknya hampir mirip dengan gorilla! Iya kan? Tapi apakah simpulan itu kemudian bermakna bahwa moyang makhluk temuan anda adalah gorilla? keliru!  Disitu letak jebakan teori Darwin. Pembuktiannya sederhana, jika memang manusia adalah bentuk terkini dari proses evolusi gorilla, kera, atau sebangsanya, lantas kenapa hari ini kita masih menemukan Gorrila, kera, monyet , dan sebangsanya? Artinya, teori Darwin benar dalam hal bahwa kita memiliki "common ancestor" atau moyang yang mirip mirip, dan bahwa kita hidup berdampingan, dan bahwa kita berevolusi! Kenapa masih ada gorilla? Karena kita memang bukan gorilla, dan evolusi kita sebagai homini -- homo sapiens yang berevolusi sejak Ardipithecus yang hidup di jaman Miocene (23 juta -- 5,3 juta tahun lalu) sampai jaman Pliocene (5,3 juta tahun -- 2,6 juta tahun lalu) [11] sudah sampai pada titik kita sekarang ini. Sementara evolusi primata Dryopithecus dan sebangsanya sampai pada Gorrila dan sebangsanya. Meski menurut klasifikasi zoology family nya Charles Darwin kita berada dalam satu family, Hominidae.
Ketiga, manusia adalah titik akhir evolusi dan tidak lagi berevolusi. Ini adalah kesalahpahaman teori evolusi yang juga cukup parah. Yang benar, evolusi itu tetap berlangsung dan manusia sekarang memiliki kemampuan untuk memodifikasi 'lingkungan' dengan teknologi. Bedanya, dengan kemajuan teknologi kita memiliki intervensi yang lebih terhadap proses evolusi itu. Proses evolusi itu akan selalu ada karena esensi evolusi adalah proses perubahan untuk beradaptasi dengan perubahan lingkungan kita hidup. Faktanya  manusia tetap dituntut untuk berjuang menghadapi perubahan perubahan alam demi bertahan hidup dan proses yang dikatakan Darwin sebagai seleksi alam -- Natural Selection -masih tetap berlangsung. Fakta yang paling jelas tentang seleksi alam adalah wabah pandemic Covid -19 yang saat ini sedang kita hadapi. Untuk menghadapi Covid-19 kita menemukan vaksin, dan vaksin itu sendiri adalah intervensi dan modifikasi terhadap sell kita. Cara vaksin bekerja adalah dengan menyuntikan apa yang disebut "spike protein" yang ditemukan pada permukaan virus yang menyebakan Covid-19. Ketika "spike protein" ini sudah ada dalam sel imun, sel menggunakannya untuk membentuk sejenis protein. System imun kita mengenali bahwa protein yang baru saja terbentuk itu 'bukan' bagian dari system mereka, dan system imun kita kemudian membangun sistem imun yang berbeda dan membangun antibody sebagai respons; akhirnya tubuh kita belajar bagaimana memproteksi dirinya dari virus seperti Covid 19 [12]. Imunitas kita berubah, genomes kita berubah, kita bermutasi dan sedang berevolusi [13] .  Artinya, proses evolusi tidak akan pernah berakhir.Â
Â
Memahami "Evolusi" Abu Janda
Â
Sebenarnya saya  tidak tertarik sama sekali menulis topik evolusi ini hanya untuk memahami seorang Abu Janda. Secara personal saya tidak kenal dia, apalagi dia pasti tidak kenal saya. Dan ini adalah disclaimer saya bahwa saya tidak ada kepentingan sama sekali terhadap kasus Abu Janda. Tapi, saya merasa terpanggil untuk membagi pemahaman soal ini karena saya melihat ada kepentingan besar yang harus kita jaga dibalik polemik Abu Janda vs Natalius Pigai dan pihak pihak yang berseteru yakni kepentingan menjaga kesatuan NKRI. Kenapa? Ketika isu ini dibawah ke ranah rasisme kita tahu bersama bahwa resikonya sangat besar, apalagi jika ada yang menunggangi isu ini demi kepentingan politis kelompok tertentu. Jadi saya mencoba menawarkan cara saya memahami cuitan 'evolusi' Abu Janda dengan pendekatan logika berbahasa yang sederhana. Kutipan cuitan Abu Janda yang memicu polemik isu rasisme adalah sebagai berikut:
Â
"kau @nataliuspigai2 apa kapasitas kau, sudah selesai evolusi kau,?"
Â
Kalimat ini terdiri dari dua anak kalimat. Bagian pertama, "kau @nataliuspigai2 apa kapasitas kau...". Saya tidak tertarik untuk mengulas ini secara detail bagian ini karena ini urusan pribadi Abu Janda dan Natalius Pigai. Saya ingin memahami bagian anak kalimat kedua karena ini yang menjadi titik konflik yang berujung pada laporan Polisi oleh KNPI terhadap Abu Janda. Anak kalimat "Sudah selesai evolusi kau?" secara leterrlijk, sebenarnya hanya merupakan sebuah pertanyaan "yes -- no question" yang jawabannya "ya" atau "tidak". Namun ini menjadi pelik interpretasi maknanya karena konteksnya yang dilatarbelakangi oleh perseteruan "tingkat tinggi". Jika kalimat ini diucapkan oleh dua orang sahabat yang saling bercanda sambil minum kopi, tentu saja jawaban leterlijk nya sederhana, "ya" atau "belum" atau mungkin "emang kenapa?". Tambah pelik lagi karena kalimat ini bisa diinterpretasi macam macam tergantung lensa kepentingan yang dipakai.