Mohon tunggu...
Tomy Bawulang
Tomy Bawulang Mohon Tunggu... Human Resources - Pembaca

Pendengar, Penyimak, , dan Perenung

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Memahami Multi Konteks Evolusi

4 Februari 2021   08:59 Diperbarui: 5 Februari 2021   10:43 1108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Charles Darwin (Sumber: https://www.bbc.com/news/entertainment-arts-55044129)

Kata "Evolusi" akhir akhir ini menjadi trending di dunia maya karena penggunaan kata evolusi oleh abu Janda dalam ciutan twitternya yang ditujukan kepada Natalius Pigai. Saya tertarik untuk menulis tentang kata evolusi ini tidak dengan maksud untuk masuk dalam perdebatan pro-kontra Abu Janda dan pihak pihak yang berseteru,apalagi mencoba masuk dalam ranah hukum dan panggung politik yang mewarnai perseteruan tersebut. Tulisan ini saya buat dan saya bagi untuk sahabat sahabat saya sebagai bentuk ajakan untuk tidak cepat terprovokasi, sok tahu, dan mengambil kesimpulan terhadap hal hal yang kita sendiri belum tahu makna dan konteksnya.

Makna kata Evolusi 

 Kata Evolusi secara etimologis berasal dari Bahasa latin evolvere yang secara literal berarti 'proses berubah' atau "berkembang" (jenis kata verba) yang menurut kamus Merriam-Webster,  pertama kali muncul atau digunakan dalam tulisan pada tahun 1616. Dalam Kamus Merriam-Webster, kata evolusi disejajarkan atau sinonim dengan kata kata seperti progress, elaboration, growth, development.  

Dalam Kamus Besar bahasa Indonesia, kata evolusi diartikan seperti dibawah ini:

evolusi/evo*lu*si/ /volusi/ n perubahan (pertumbuhan, perkembangan) secara berangsur-angsur dan perlahan-lahan (sedikit demi sedikit);

-- filetik Hut perubahan genetik yang terjadi dalam garis evolusi;

keevolusian/ke*e*vo*lu*si*an/ n perihal evolusi: para pelajar Iran sekurang-kurangnya mendapat doktrin ~ selama empat jam dalam sepekan;

berevolusi/ber*e*vo*lu*si/ v berubah (berkembang) secara berangsur-angsur.

 

Dalam Kamus Britanica atau kamus kamus lain yang bisa diakses public, makna kata evolusi juga dimaknai secara umum yang intinya adalah sebuah proses berubah, sebuah perkembangan baik dari aspek kuantitas, kualitas, maupun bentuk morfologis. Artinya, Kata evolusi adalah sebuah kata yang memiliki makna yang cukup luas dan bisa dimaknai multidimensional tergantung konteksnya. Berikut beberapa konteks evolusi.

Evolusi dalam Multi Konteks 

Kata "evolusi" dengan makna dasarnya sebagai perubahan organik dalam kurun waktu tertentu sudah ada dalam dunia sains jauh sebelum Charles Darwin menggunakan kata evolusi secara explisit dalam bukunya Descent of Man (1871). Sebelum pertengahan abad ke 19, kata evolusi digunakan secara ekslusif dalam bidang ilmu embriologi untuk menjelaskan proses perkembangan embrio. Di Jerman, Kata dengan makna konseptual  yang mirip, "Entwicklungsgeschichte" ,  juga sudah lasim di gunakan dalam bidang embriologi.

Seiring waktu, kata evolusi yang makna dasarnya sebagai sebuah proses perubahan kemudian dipakai dalam berbagai konteks. Pada tahun 1853 seorang filsuf Inggris, Herbert Spencer (1820 -1903) menggunakan terminologi evolusi untuk menjelaskan perubahan kosmik dan perubahan biologis dari "homogenitas" menjadi "heterogenitas" dan mengklaim bahwa ini adalah teori evolusi. Pada era 1860an terminologi evolusi  juga menjadi populer untuk menjelaskan perubahan spesies[1]. 

 

Dalam ilmu biologi, definisi tentang evolusi pun meski secara garis besar bisa bermakna sama, namun secara spefisik definisinya bermacam macam. Dalam buku populernya berjudul "Evolution", Douglas Futuyama mendefinisikan evolusi sebagai, 

 

[biological evolution] is change in the properties of groups of organisms over the course of generations...it embraces everything from slight changes in the proportions of different forms of a gene within a population to the alterations that led from the earliest organism to dinosaurs, bees, oaks, and humans. (2005: 2)[2]

 

Secara bebas definisinya dapat diterjemahkan kira kira seperti ini, "evolusi (biologis) adalah perubahan dalam kelompok organisme selama beberapa generasi... perubahan ini mencakup semuanya mulai dari perubahan yang kecil dalam proporsi bentuk yang berbeda beda dari sebuah gen dalam sebuah populasi, sampai pada perubahan yang mengakibatkan perubahan bentuk dari organisme awalnya menjadi dinosaurus, lebah, pohon oak, dan manusia.

 

Perhatikan bahwa Futuyama tidak membatasi makna evolusi hanya pada "alleles" spesies tertentu termasuk hanya kepada manusia tapi membuka ruang seluas luasnya bahwa evolusi itu terjadi pada semua makhluk hidup. Seorang ahli biologi Leigh van Valen memaknai evolusi sebagai "the control of development by ecology" (1973, 488)[3]; sebuah argument dari camp developmental biology. Bedanya? Futuyama memaknai evolusi berawal dari perubahan internal organisme, sementara Leigh van Valen dan kelompoknya memaknai evolusi sebagai reaksi perubahan yang terjadi di luar organisme. Hal ini saya angkat dalam tulisan ini untuk mengilustrasikan bahwa bahkan dalam rumpun ilmu yang sama, evolusi dapat dimaknai secara berbeda! Makna semantikanya pun seiring waktu terus berubah dan ber-evolusi[4]. Sejak publikasi Darwin tentang evolusi, kata ini kemudian menjadi semakin populer dan digunakan dalam berbagai konteks.

 

Teori teori evolusi juga mempengaruhi perkembangan ilmu psikologi. Pengaruh teori teori evolusi dalam konteks ilmu psikologi terutama didasarkan pada argumentasi logis bahwa proses evolusi tidak saja terjadi pada morfologi eksternal tetapi juga pada morfologi internal termasuk otak, dan ini berdampak juga secara psikologis. Mekanisme perubahan morofologi internal tersebut merupakan adaptasi dan evolusi psikologis yang bertujuan utama, sama seperti tujuan besar evolusi yakni untuk bertahan hidup (survival) dan berkembang biak (reproduction)[5]. Namun dalam perkembangannya, konsep dan teori evolusi psikologi saat ini tidak hanya bicara soal survival dan reproduction  tapi telah mencakup berbagai aspek psikologis yang lebih luas, termasuk didalamnya bagaimana proses internalisasi berfikir, pola perilaku individu dan kelompok, kognisi sosial, serta moral reasoning. Nah, moral reasoning ini adalah pola internalisasi nilai nilai (values) baik nilai agama, nilai etika , dan budaya, yang terus menerus mengalami perubahan seiring perubahan jaman. Mungkin ini, jika saya bisa menebak, yang dimaksud dan diadopsi bebas oleh Abu Janda sebagai "evolusi akhlak'.  

 

Dalam konteks teknologi, kata evolusi ditujukan pada fase perubahan dan perkembangan teknologi. Contohnya, dalam teknologi komunikasi, proses berkembangnya telegraf  ke telefon kabel  sampai ke texting dengan gawai cerdas (smart phone), adalah sebuah proses evolusi[6]. Tidak sampai disitu, bahkan lebih spesifik, dari teknologi texting pager -- SMS -- BBM -- ke WhatsApp, juga adalah sebuah proses evolusi, baik dari sisi kuantitas, kualitas, dan morfologis/ bentuk kan? Jadi jika saya menyebut bahwa teknologi BBM nya BlackBery adalah sebuah proses evolusi yang belum selesai, ini benar dan tidak bisa dikatakan penistaan atau penghinaan inferioritas terhadap BBM, tentunya dalam konteks evolusi tekonologi! [7].

 

Dalam konteks ilmu ilmu sosial, pengunaan kata evolusi juga merupakan hal yang sangat lazim. Dalam rumpun ilmu sosial, kata evolusi diartikan sebagai sebuah proses perubahan sosial yang mencakup perubahan budaya dan perilaku sosial baik dalam konteks yang luas (i.e. masyarkat luas/ umat manusia) maupun dalam konteks khusus yang berfokus pada kelompok masyarakat tertentu atau dalam istilah sosiologis Thomas Dietz dan rekan rekannya disebut mikroproses dan makroproses [8]. Perubahan bagaimana hijab yang aslinya merupakan budaya berbusana wanita wanita di Timur Tengah dan hari ini menjadi bagian budaya dan dianggap sebagai 'kearifan lokal' di beberapa wilayah di Indonesia adalah sebuah contoh proses evolusi,  ya evolusi budaya[9] .

 

Teori Evolusi Darwin dan Kesalahpahaman Awam

Lantas bagaimana sebenarnya teori Charles Darwin tentang evolusi?

Mungkin kebanyakan kita akan kaget bahwa Charles Darwin sendiri tidak menggunakan kata evolusi untuk menjelaskan teorinya pada awal pemikiran itu diperkenalkan dalam buku Origin of Species (1959). Inti dari klaim Charles Darwin adalah bahwa spesies yang ada hari ini adalah hasil perubahan panjang dan modifikasi (descent with modification) dari spesies spesies sebelumnya yang dalam bukunya disebut "common ancestor" atau bisa diterjemahkan secara bebas "moyang yang sama". Perubahan ini terjadi seiring mekanisme seleksi alam -- natural selection. Seleksi alam ini terjadi karena keterbatasan sumber daya alam, sehingga hanya organisme atau makhluk hidup yang memiliki daya adaptasi terhadap perubahan dan seleksi alam yang bertahan (survive) dan berkembang biak (reproduction).  Seleksi alam, sepanjang waktu kemudian menghasilkan satu populasi spesies yang sesuai (adapted) dan semakin sesuai dengan perubahan alamiah.   Terdengar sederhana dan oversimplifikasi namun itulah inti teori evolusinya Charles Darwin. Saya sendiri tidak menerimanya secara total karena menurut saya yang suka membaca mashab pemikiran logical empiricist, konstruksi argumentasi Darwin yang menggunakan pendekatan deduktif "hypothetico-deductive" ini bermasalah dari sisi konstruksi logikanya. Sebagai sebuah teori yang menggunakan pendekatan hypothetico-deductive,  konstruksi premis (axiom) dan simpulan (theorem)nya butuh rekonstruksi yang cukup serius. Namun ini bukan fokus dari tulisan ini. Saya lebih tertarik mengungkapkan bagaimana simpulan sederhana teori Darwin ini kemudian disalah mengerti oleh banyak orang. Ada banyak miskonsepsi teori Darwin yang sering mengemuka dan jadi bahan perdebatan. Dalam tulisan ini saya hanya mengangkat tiga miskonsepsi yang relevan dengan perdebatan evolusi yang di picu cuitan tweeter Abu Janda. Berikut tiga miskonsepsi tentang teori evolusi Darwin tersebut:

Pertama, evolusi adalah teori tentang asal mula kehidupan. Pemahaman ini keliru sebab teori evolusi bukan bicara tentang asal mula kehidupan, meskipun memang ada beberapa catatan dalam teori tersebut yang menyinggung soal asal mula molekul organik tapi ini bukan fokus dari teori evolusi. Jadi jika ada sahabat sahabat yang suka berkhotbah "Jadi menurut Darwin kita diciptakan sebagai monyet atau gorila" ini bagian dari kekeliruan memahami substansi teorinya. Yang diulas dalam teori evolusi bukanlah 'titik mula" segala sesuatu atau "titik awal" penciptaan, tapi lebih kepada penjelasan tentang bagaimana proses perubahan yang terjadi setelah 'titik awal'[10].

Kedua, nenek moyang manusia adalah Gorila atau orang utan/ape.  Dalam bukunya The Origin of Species (1859) Darwin tidak sama sekali menyebutkan soal gorilla, monyet , kera, atau orang utan sebagai moyang manusia. Memang Darwin dalam bukunya The Descent of Man (1871) kemudian menyatakan secara hipotetik, sekali lagi secara hipotetik bahwa moyang manusia yang adalah homo sapiens makhluk sosial yang berjalan dan berdiri tegak seperti yang kita sekarang ini adalah hasil adaptasi evolusi dari homonini yang jutaan tahun sebelumnya berbentuk homini yang lain seperti  Ardipithecus, Australopithecus, dan species homo yang lain. Homonini  secara genetika diklasifikasikan sebagia primata. Itulah sebabnya pada jutaan tahun lalu, moyang kita berbagi ruang hidup dibumi ini dengan makhluk primata lain yang 'mirip- orang utan' (Apelike primates) atau dalam waktu modern saat ini evolusi terkininya kita sebut Gorilla. Dalam teori evolusi dikatakan bahkan Gorrila sendiri adalah hasil evolusi dari primata pendahulunya Dryopithecus. Disinilah jebakan logikanya, bahwa kita secara genetika adalah primata dan bahwa kita hidup berbagi ruang dengan primata lain yaitu moyangnya gorila, dan bahwa kita dan homini homini yang punah memiliki kaitan genetika, dan bahwa kita dan gorila sama sama menghadapi ancaman kepunahan dan sama sama berevolusi. Sebuah 'seri pernyataan logis hyphotetico-deductive yang panjang dan butuh penalaran yang panjang untuk memahaminya bukan? Makanya yang nalarnya pendek, tidak akan sampai untuk memahaminya sampai pada ujung kesimpulannya. Dengan demikian, tidak juga keliru kemudian jika Charles Darwin menggunakan deskripsi morfologis gorila untuk mendeskripsikan  bentuk yang 'paling dekat' atau 'paling mirip' dengan hominis hominis yang ada pada jutaan tahun lalu, yang hari ini berevolusi menjadi makhluk homo sapiens  yang turunannya adalah  anda, saya, Abu Janda, dan semua yang bertikai tentang moyang kita dan evolusi!

 

Ilustrasinya begini, bayangkan bahwa anda sebagai ilmuwan ingin mendeskripsikan secara detail bentuk morfologis maupun fisiologis dari sebuah makhluk yang eksist pada jutaan tahun lalu dan yang jadi referensinya adalah potongan fosil/ tulang yang hanya seukuran 5 centimeter. Namun dari potongan tulang tersebut diekstraksi informasi ilmiah tentang genetika dan informasi ilmiah lain yang anda butuhkan. Tapi anda tidak bisa mendeskripsikan atau memvisualkan bentuk morfologis makhluk tersebut. Apa yang andalah lakukan? Mencari referensi serupa, berkaitan, ada kemiripan, atau yang relevan dengan informasi yang ada kan? Lantas bagaimana jika informasi yang anda butuhkan ternyata 90 persennya anda temukan pada gorilla? Apa yang akan anda tulis sebagai deskripsi temuan anda? Yup, Makhluk yang fisiknya hampir mirip dengan gorilla! Iya kan? Tapi apakah simpulan itu kemudian bermakna bahwa moyang makhluk temuan anda adalah gorilla? keliru!  Disitu letak jebakan teori Darwin. Pembuktiannya sederhana, jika memang manusia adalah bentuk terkini dari proses evolusi gorilla, kera, atau sebangsanya, lantas kenapa hari ini kita masih menemukan Gorrila, kera, monyet , dan sebangsanya? Artinya, teori Darwin benar dalam hal bahwa kita memiliki "common ancestor" atau moyang yang mirip mirip, dan bahwa kita hidup berdampingan, dan bahwa kita berevolusi! Kenapa masih ada gorilla? Karena kita memang bukan gorilla, dan evolusi kita sebagai homini -- homo sapiens yang berevolusi sejak Ardipithecus yang hidup di jaman Miocene (23 juta -- 5,3 juta tahun lalu) sampai jaman Pliocene (5,3 juta tahun -- 2,6 juta tahun lalu) [11] sudah sampai pada titik kita sekarang ini. Sementara evolusi primata Dryopithecus dan sebangsanya sampai pada Gorrila dan sebangsanya. Meski menurut klasifikasi zoology family nya Charles Darwin kita berada dalam satu family, Hominidae.

Ketiga, manusia adalah titik akhir evolusi dan tidak lagi berevolusi. Ini adalah kesalahpahaman teori evolusi yang juga cukup parah. Yang benar, evolusi itu tetap berlangsung dan manusia sekarang memiliki kemampuan untuk memodifikasi 'lingkungan' dengan teknologi. Bedanya, dengan kemajuan teknologi kita memiliki intervensi yang lebih terhadap proses evolusi itu. Proses evolusi itu akan selalu ada karena esensi evolusi adalah proses perubahan untuk beradaptasi dengan perubahan lingkungan kita hidup. Faktanya  manusia tetap dituntut untuk berjuang menghadapi perubahan perubahan alam demi bertahan hidup dan proses yang dikatakan Darwin sebagai seleksi alam -- Natural Selection -masih tetap berlangsung. Fakta yang paling jelas tentang seleksi alam adalah wabah pandemic Covid -19 yang saat ini sedang kita hadapi. Untuk menghadapi Covid-19 kita menemukan vaksin, dan vaksin itu sendiri adalah intervensi dan modifikasi terhadap sell kita. Cara vaksin bekerja adalah dengan menyuntikan apa yang disebut "spike protein" yang ditemukan pada permukaan virus yang menyebakan Covid-19. Ketika "spike protein" ini sudah ada dalam sel imun, sel menggunakannya untuk membentuk sejenis protein. System imun kita mengenali bahwa protein yang baru saja terbentuk itu 'bukan' bagian dari system mereka, dan system imun kita kemudian membangun sistem imun yang berbeda dan membangun antibody sebagai respons; akhirnya tubuh kita belajar bagaimana memproteksi dirinya dari virus seperti Covid 19 [12]. Imunitas kita berubah, genomes kita berubah, kita bermutasi dan sedang berevolusi [13] .  Artinya, proses evolusi tidak akan pernah berakhir. 

 

Memahami "Evolusi" Abu Janda

 

Sebenarnya saya  tidak tertarik sama sekali menulis topik evolusi ini hanya untuk memahami seorang Abu Janda. Secara personal saya tidak kenal dia, apalagi dia pasti tidak kenal saya. Dan ini adalah disclaimer saya bahwa saya tidak ada kepentingan sama sekali terhadap kasus Abu Janda. Tapi, saya merasa terpanggil untuk membagi pemahaman soal ini karena saya melihat ada kepentingan besar yang harus kita jaga dibalik polemik Abu Janda vs Natalius Pigai dan pihak pihak yang berseteru yakni kepentingan menjaga kesatuan NKRI. Kenapa? Ketika isu ini dibawah ke ranah rasisme kita tahu bersama bahwa resikonya sangat besar, apalagi jika ada yang menunggangi isu ini demi kepentingan politis kelompok tertentu. Jadi saya mencoba menawarkan cara saya memahami cuitan 'evolusi' Abu Janda dengan pendekatan logika berbahasa yang sederhana. Kutipan cuitan Abu Janda yang memicu polemik isu rasisme adalah sebagai berikut:

 

"kau @nataliuspigai2 apa kapasitas kau, sudah selesai evolusi kau,?"

 

Kalimat ini terdiri dari dua anak kalimat. Bagian pertama, "kau @nataliuspigai2 apa kapasitas kau...". Saya tidak tertarik untuk mengulas ini secara detail bagian ini karena ini urusan pribadi Abu Janda dan Natalius Pigai. Saya ingin memahami bagian anak kalimat kedua karena ini yang menjadi titik konflik yang berujung pada laporan Polisi oleh KNPI terhadap Abu Janda. Anak kalimat "Sudah selesai evolusi kau?" secara leterrlijk, sebenarnya hanya merupakan sebuah pertanyaan "yes -- no question" yang jawabannya "ya" atau "tidak". Namun ini menjadi pelik interpretasi maknanya karena konteksnya yang dilatarbelakangi oleh perseteruan "tingkat tinggi". Jika kalimat ini diucapkan oleh dua orang sahabat yang saling bercanda sambil minum kopi, tentu saja jawaban leterlijk nya sederhana, "ya" atau "belum" atau mungkin "emang kenapa?". Tambah pelik lagi karena kalimat ini bisa diinterpretasi macam macam tergantung lensa kepentingan yang dipakai.

 

Seperti saya sampaikan diawal bahwa saya tidak punya kepentingan terhadap perseteruan Abu Janda dan pihak pihak yang bertikai. Kepentingan saya sebagai praktisi pendidikan adalah mengedukasi publik tentang cara berfikir yang 'waras' dan logis, sehingga kita tidak mudah terbawa dalam konflik sosial karena pemahaman yang parsial atau keliru terhadap berita atau apapun dialam media sosial. Makanya saya menggunakan pendekatan "logic" yang sederhana yang saya adopsi dari Patrick Hurley[14] .

 

Dengan pendekatan logic ini kita tahu bahwa urutan logika dalam memaknai bahasa itu adalah: Proposisi/statement -- Premise -- Konklusi/Kesimpulan. Proposisi adalah pernyataan atau statement. Statement, menurut Patrick Hurley, adalah sebuah kalimat yang apakah benar atau salah yang harus memiliki komponen untuk berdiri sebagai kalimat deklaratif. Sebuah kalimat seru/aklamasi, maupun kalimat tanya, tidak masuk dalam kategori statement/proposisi. Maka anak kalimat  "evolusi kau sudah selesai?" yang adalah kalimat tanya, tidak memenuhi syarat untuk disebut sebagai statement. Artinya, prosesnya berhenti disitu dan tidak bisa dilanjutkan sampai pada titik kesimpulan. Jadi kesimpulan bahwa anak kalimat ini mengandung unsur SARA adalah kesimpulan yang tidak memiliki landasan logic.

 

Premise adalah alasan reasoning  yang memberi dasar validitas sebuah kesimpulan. Jika kita gunakan keseluruhan kalimat dalam tweetnya Abu Janda agar kita bisa menemukan premis (dipaksakan), maka, kemungkinan premisnya adalah karena Natalius Pigai kapasitasnya dipertanyakan "apa kapasitas kau" -- (premis 1), maka, proses evolusi nya dipertanyakan "sudah selesai evolusi kau?" (premis 2). Perhatikan bahwa kedua kalimat ini tidak memiliki logical link yang jelas dan oleh karena itu kesimpulannya mengambang dan tidak explisit. Disinilah terletak jebakan dialektika berfikis logis pembaca, karena bagi yang nalarnya deficit, akan segera memaksakan kehendak untuk menjadikan "premise" tentang evolusi, sebagai sebuah landasan kesimpulan: Ini Ujaran kebencian yang mengandung SARA!. Ini cara bernalar yang deficit dan prematur.

 

Keseluruhan tweet Abu Janda, jika pun harus dipaksakan untuk dicarikan landasan teorinya agar bisa diulas dan didebat barangkali mendekati apa yang disebut Hurley sebagai "simple noninferential passages" atau ujaran sederhana non inferensial. Menurut Hurley, ujaran seperti ini adalah:

 

 "unproblematic passages that lack a claim that anything is being proved. Such passages contain statements that could be premises or conclusions (or both), but what is missing is a claim that any potential premise supports a conclusion or that any potential conclusion is supported by premises" (hal.16)

 

Terjemahan sederhananya, ujaran yang tidak problematis yang klaimnya tidak cukup kuat untuk membuktikan sesuatu. Karena tidak ada premis yang dapat mendukung kesimpulan atau kesimpulan yang dapat ditarik mundur untuk mendukung premis. Dengan demikian maka tweet yang noninferential dan sederhana ini, tidak usah dipaksakan untuk dibuat premis yang kuat untuk mendukung kesimpulan inferensi atau tafsiran yang logikanya sejak awal sudah tidak nyambung.

 

Pembaca mungkin akan mendebat saya, "tapi kan ini konteksnya tidak sesederhana itu, pasti ada cara inferensi atau pendekatan tafsir lain yang bisa di pakai. Kan ada yang disebut makna tersurat dan tersirat. 

Oke saya coba menggunakan pendekatan psikolingusitik untuk menggali makna yang tersirat. Memang, jika menggunakan kacamata psikolinguistik (subjektif), saya bisa memaknai bahwa kalimat cuitan Abu Janda mengandung makna superioritas dan inferioritas. Secara intrinsik atau tersirat, sang pengucap menempatkan posisi superioritas terhadap objek kalimat "kau". Sebab dalam dialektika dan interpretasi psikolingistik ini bisa diinterpretasi seperti berikut:   "kamu belum selesai berevolusi" (Kemungkinan Proposisi),   makanya "Kamu tidak dalam kapasitas mengkritisi Pak AM Hendropriyono" (Kemungkinan Konklusi - theorem). Nah, apakah pemaknaan seperti ini cukup untuk menjadikan statement Abu Janda dianggap sebagai ungkapan kebencian yang mengandung unsur SARA? Jawaban saya: TIDAK! Sebab kalimat ini sendiri menghasilkan kesimpulan (theorem) yang prematur.  Kenapa? Masih ada runutan logika yang hilang -- missing link dalam kalimat tersebut yang harus dipenuhi untuk dapat menghasilkan kesimpulan logis yang sahih yaitu premise yang logis yang didalamnya harus mencakup makna definitif 'evolusi' yang disepakati bersama.

 

Masih ada cara lain?

 
Oke, saya coba berandai andai dengan menggunakan pendekatan logika kondisional "Jika - maka" atau "antecedent -- consequent" . Jika menggunakan model kondisional agar ini dapat memenuhi kriteria urutan logis dan bisa terdengar sebagai dasar argumen yang dibawah ke ranah hukum, maka kalimat itu dapat di'paksakan' menjadi kira kira seperti berikut:

 

"Jika Abu Janda menanyakan soal ketuntasan evolusi Natalius Pigai (Argument/Proposisi/statement - antecedent), Maka Abu Janda melakukan ujaran kebencian yang mengandung unsur rasisme/SARA (Konklusi/kesimpulan- theorem -consequent)".

 

Kita lihat, meskipun dipaksakan seperti ini, konklusi/kesimpulan pada kalimat ini pun sangat prematur dan tidak memenuhi runut logika. Bagian terpenting dari kalimat ini yang mestinya berfungsi sebagai Premise/bukti tingkat 'truth value' statementnya sangat lemah bahkan tidak ada. Kita bisa memaksa bahwa kata  'evolusi' ini kita jadikan premise namun, kita harus sepakat dulu makna evolusi ini dalam konteks yang mana? Ingat seperti yang saya jelaskan diatas bahwa kata "evolusi" itu multi konteks dan oleh karenanya menjadi multitafsir. Dalam kasus tweet Abu Janda, kita hanya bisa menebak bahwa konteksnya adalah perseteruan Abu Janda dengan Natalius Pigai karena pembelaan Abu Janda terhadap A.M Hendropriyono. Tapi konteks penggunaan kata "evolusi",  ini yang tahu persis adalah Abu Janda sendiri. Abu Janda -- dalam dialektika tersebut adalah authoritative agent yang punya otoritas mendefinisikan terminologi 'evolusi" dan menentukan  "contextual ground" terhadap definisinya. Jika pun definisinya didebat, maka perdebatan ini hanya bisa dilakukan pada 'contextual ground' atau ruang yang didefinisikan Abu Janda.  Ilustrasi sederhananya, mari kita ganti kata evolusi dengan kata 'bola' : "Sudah selesai kau main bola?" lalu tanpa konfirmasi kita langsung berasumsi bahwa yang dimaksud bermain bola adalah 'bola kaki/ sepak bola" Lantas kita membuat kesimpulan tentang 'bola' dalam ranah 'lapangan bola kaki'. Belum tentu kan? Jika yang bertanya kemudian berdalih "saya tidak menanyakan anda tentang bola kaki, yang saya maksudkan adalah bola volley" . Pertanyaan, atas dasar logika apa kita mendebat atau memperkarakan si penanya?

 

Makanya, dalam kasus Abu Janda, adalah sebuah kesalahan fatal jika pihak lain memaknai kata ini secara auto rasis. Misalnya mengaitkan ini dengan teori Darwin -- yang juga banyak disalah mengerti. Jika memang ini harus diperdebatkan di ranah hukum, maka sebenarnya sangat mudah bagi Abu Janda untuk meminta pembuktian terbalik, "buktikan bahwa yang saya maksudkan dengan evolusi adalah ujaran rasis" Jika mereka yang auto rasis ini menyebut kesimpulan yang salah atau argumen dalam ranah evolusi biologis, justru mereka yang bisa kena tuduhan rasis. 

 

Dalam sebuah diskursus, memang tidak semua terminologi harus didefinisikan secara eksplisit. Karena ada hal hal yang secara implisit maknanya disepakati sebagai sebuah  konsensus kebenaran umum atau  general truth.  Contohnya dalam diskursus tentang matahari dan tata surya, mungkin kita perlu mendefinisikan waktu waktu tertentu dalam satu hari, tapi secara konsensus kita tidak perlu mendefinisikan bahwa matahari terbit dari arah timur dan tenggelam di barat. Itu secara konsensus disepakati sebagai sebuah kebenaran umum atau general truth. Dalam hal kata 'evolusi', konsensus tersebut tidak berlaku dan berasumsi bahwa ketika menyebut 'evolusi' otomatis bermakna perubahan morfologis dari gorilla/ orang utan menjadi manusia dan bahwa yang belum selesai proses evolusinya berbentuk morfologis seperti gorilla, ini adalah sebuah kesalahan yang sangat fatal. Butuh konsensus dulu tentang konteks evolusinya baru bisa berdebat  atau berperkara secara substantif.

 

Apa yang salah dari cuitan Abu Janda? Menurut saya Abu Janda keliru dalam dua hal. Pertama, membuat cuitan media sosial yang emosional. Meskipun Abu Janda secara personal memiliki hak untuk memposting apa saja, namun sebagai sosok publik figure postingan ini kurang elok dan kurang cerdas secara sosial. Kedua, Abu Janda keliru secara konseptual terhadap konsep dan pengertian 'evolusi'. Kesalahannya adalah Abu Janda menganggap bahwa "evolusi" adalah sebuah proses yang berhenti pada suatu titik sehingga ada yang prosesnya sudah selesai ada yang belum. Jika cuitan Abu Janda kita 'paksakan' untuk dimaknai Abu Janda menganggap proses evolusi Natalius Pigai belum selesai dan bahwa secara implisit Abu Janda menganggap dirinya telah selesai berevolusi; maka dalam hal ini Abu Janda keliru. Karena seperti yang saya jelaskan sebelumnya evolusi adalah proses yang berlangsung sepanjang waktu.  Menganggapnya berhenti pada satu titik adalah sebuah kesalahan konseptual. Ini dua kesalahan Abu Janda. Jika dua kesalahan ini dijadikan landasan bagi pihak yang berseteru untuk membawah keranah hukum dengan tuduhan"rasisme" atau ujaran kebencian yang mengandung unsur SARA, menurut saya ini terlalu dipaksakan dan merupakan logical fallacy yang hanya akan menjadi lelucon didunia penegakan hukum kita. Kenapa? Karena rumusan nalarnya (Proposisi/Argument -- Premise -- Konklusi) kira kira akan jadi seperti :

 

Polisi memeriksa Abu Janda atas laporan KNPI dengan tuduhan melakukan ujaran kebencian yang mengandung SARA kepada Natalius Pigai dalam cuitan twitternya yang berbunyi 'sudah selesai evolusi kau?"

 

Ini dapat diurai lagi dengan pendekatan penalaran seperti berikut:

 

  • Polisi memeriksa Abu Janda

Penalarannya: Polisi Memeriksa/meneliti/memahami/menginterpretasi,  delik aduan yang disusun berdasarkan 'interpretasi' yang salah tentang tulisan Abu Janda tentang "evolusi" yang juga keliru di interpretasi. Singkatnya: "menginterpretasi hasil interpretasi yang keliru terhadap interpretasi yang keliru". Ribet atau lucu?

 

  • KNPI menuduh Abu Janda melakukan ujaran kebencian yang mengandung unsur SARA: 

 

Penalarannya: Tuduhan KNPI didasarkan pada interpretasi terhadap kata 'evolusi' . Keduabelah pihak , KNPI dan Abu Janda tidak memiliki kesepakatan definisi yang menjadi common ground atau contextual ground untuk perdebatan atau point of clash nya. KNPI keliru dengan interpretasi bahwa kata 'evolusi' itu automatically mengandung isu rasis, Abu Janda, secara konseptual juga keliru menganggap evolusi adalah sebuah proses yang berhenti dan sempurna pada suatu titik. Jadi yang terjadi adalah yang melapor keliru interpretasi terhadap orang yang keliru interpretasi. Alangkah lucunya!

 

Tentang upaya Natalius Pigai untuk menuntut Abu Janda karena ujaran yang menurutnya rasis, kita hormati itu hak dia. Karena siapapun di negara ini punya hak dan kewajiban yang sama didepan hukum. Hak mendapatkan keadilan adalah hak asasi. Namun jika benar yang dilakukan adalah menuntut test DNA (seperti yang diucapkan beliau dalam berita TV) sebagai contra argument dan alat pembuktian tuduhan rasis, maka sebaiknya memperjelas dulu hal hal berikut:

 

Pertama, isu rasis mana yang ingin dibuktikan dan dituduhkan ke Abu Janda berdasarkan kata "evolusi"? Konteks 'evolusi"nya harus diperjelas dulu. Evolusi Biologis? Evolusi Psikologis? Evolusi apa? Ingat, 'evolusi' itu multi konteks!

 

Kedua, seandainya pun -- lepas dari apapun konteksnya -- pemeriksaan DNA digunakan untuk membuktikan bahwa proses 'evolusi' dirinya sudah selesai dan ujaran pertanyaan tentang tuntas tidaknya proses evolusi yang dipertanyakan Abu Janda adalah penghinaan, ini pun adalah sebuah tindakan logical fallacy -- kesalahan logika yang percuma. Kenapa? common ground tentang 'evolusi' itu tidak jelas. Jika evolusinya ternyata didefinisikan Abu Janda dalam ranah psikologi atau seperti kata Abu Janda ranah "akhlak" maka, test DNA ini jadi lelucon karena irrelevant. Selain itu, disemua konteks, proses evolusi itu sedang berlangsung, Pemeriksaan DNA untuk membuktikan tentang 'ketuntasan' evolusi adalah lagi lagi sebuah logical fallacy- kesalahan logika.

 

Ketiga, Seandainya pun contextual ground nya 'dipaksakan' menjadi 'evolusi' dalam konteks biologi dan lantas perdebatannya akan ada di ranah evolusi versi teori Darwin, maka test DNA pun akan jadi lelucon. Kenapa, karena test DNA ini harus dibawah dan telisik pada rantai perubahan DNA yang berusia jutaan tahun dan jika ternyata titik akhirnya bertemu pada kesimpulan  bahwa Abu Janda dan Natalius Pigai dua duanya adalah hasil proses evolusi panjang dari common ancestor yang sama yakni  primata Dryopithecus. Lantas untuk apa test DNA? Karena dalam konteks evolusi ini, kita semua yang adalah homo sapiens adalah turunan hominis dari primata Dryopithecus. Soal moyang kita bentuknya seperti apa itu takdir kita semua. Kita tidak bisa memilih moyang! Akan menjadi sebuah lelucon yang tidak lucu jika cuitan Abu Janda kemudian dipaksakan menjadi kasus hukum karena ini akan membuktikan betapa bodohnya kita, betapa sempitnya nalar kita. Meskipun demikian kasus ini semakin membuktikan bahwa benar, kita masih sedang berevolusi dan evolusi kita termasuk evolusi kemampuan berfikir dan bernalar kita memang masih jauh dari sempurna.

Sebagai catatan akhir, tulisan ini tidak bermaksud menggurui, karena kemampuan bernalar saya pun masih terbatas dan masih sedang berevolusi. Tulisan ini semata mata saya tujukan untuk dijadikan salah satu bahan untuk memperkaya referensi  teman teman polisi yang sedang memerikas kasus ini; dan juga untuk saudara saudara saya yang sedang  bertikai untuk mencoba berfikir dengan nalar yang sedikit lebih jernih, agar kita bisa menjaga kewarasan kita dan tidak membesar besarkan permasalahan yang berujung pada potensi perpecahan kita sebagai bangsa. Saya percaya, Indonesia hanya bisa kita jaga keutuhannya jika kita semua berifikir waras. Mari kita jaga kewarasan agar kita bisa menjaga Indonesia.

 

 

Salam Indonesia Damai,

 

Tomy Bawulang

Petambak beberapa ekor ikan Nila di Kampung Utaurano - Sangihe

#catatanbulanan

#anthologythebeeandhoney

#KM91

CATATAN KAKI:

[1] Bowler, Peter J., 1975, "The Changing Meaning of 'Evolution'", Journal of the History of Ideas, 36(1): 95--114. doi:10.2307/2709013

[2] Futuyma, Douglas J., 2005, Evolution, Sunderland, MA: Sinauer Associates.

[3] Van Valen, Leigh, 1973, "Book Review: Festschrift for George Gaylord Simpson" Science, 180(4085): 488. 

[4] Bowler, Peter J., 1975, "The Changing Meaning of 'Evolution'", Journal of the History of Ideas, 36(1): 95--114. doi:10.2307/2709013

[5] Buss, D. M. (2009). The great struggles of life: Darwin and the emergence of evolutionary psychology. American Psychologist, 64, 140-148.

[6] Baca misalnya artikel oleh Bardeen dan Cerpa tentang evolusi teknologi retrieved: scielo.conicyt.c

[7] Baca juga artikel Mario Coc cia (2019) berjudul Comparative Theories of the evolution of the Technology

[8] Baca artikel Dietz, T., Burns, T.R. & Buttel, F.H. Evolutionary theory in sociology: An examination of current thinking

[9] Stanford

[10] Bisa dibaca di sini, Berkeley

[11]Britannica

[12] CDC

[13] Berkeley

[14]Pendekatan Logic ini bisa di baca di buku  A Concise Introduction to Logic, (12th Edition) Patrick J. Hurley terbitan Cengage Learning tahun 2015.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun