Mohon tunggu...
Agus Sutisna
Agus Sutisna Mohon Tunggu... Dosen - Lecturer I Researcher IInstagram : @kiagussutisna

Dosen | Pegiat Sosial | Menulis berharap ridho Allah dan manfaat bagi sesama.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Mencegah Kotak Kosong Ikut Pilkada

11 Juli 2024   16:59 Diperbarui: 17 Juli 2024   11:56 422
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bisa juga merupakan kombinasi sempurna dari keduanya. Di daerahnya mendominasi kepolitikan lokal sekaligus didukung oleh elit-elit nasional. Dalam beberapa kasus, fenomena hegemoni politik ini kadang terpisah dari eksistensi dan kiprah partai politik di daerah.

Situasi yang demikian memicu insecurities elit-elit partai politik di tingkat lokal dalam mengusung pasanga calon, termasuk ketika mereka sesungguhnya memiliki kader yang cakap dan pantas untuk dimajukan. Mereka tidak berani maju karena terlampau khawatir kalah atau menjadi bagian dari koalisi partai yang kalah.

Dalam cara berpikir politik kartel si biang kerok ini, kekalahan dalam kontestasi elektoral adalah kesialan yang harus dihindari. Karena kekalahan sama artinya dengan terlempar jauh dari lingkaran pusat kekuasaan dan karenanya tertutuplah semua akses untuk bisa memanfaatkan kekuasaan.

Pikiran semacam itu boleh jadi akan semakin "menghantui" partai-partai dalam perhelatan Pilkada ini mengingat pengalaman otentik Pilpres 2024 lalu perihal kedigdayaan pengaruh kekuasaan dalam membantu pemenangan paslon yang didukungnya.

Dampak Buruk

Pilkada dengan pasangan calon tunggal, terutama karena ketersanderaan partai-partai oleh perilaku politik kartel tentu tidak sehat dalam tradisi demokrasi, setidaknya karena empat alasan berikut ini.

Pertama, masyarakat tidak diberikan pilihan kecuali figur pasangan calon hasil kesepakatan elit yang sangat mungkin berlangsung dalam proses yang sarat dengan transaksi-transaksi gelap politik.

Kedua, calon tunggal dalam perhelatan bernama Pilkada cenderung menjadi pseudo-elektoral. Pemilihan yang semu. Karena paket pasangan calon yang ditawarkan kepada masyarakat hanya satu. Contradictio in terminis. Memilih itu artinya mengambil satu diantara minimal dua pasangan calon yang tersedia.

Ketiga, calon tunggal Pilkada mengisyaratkan bahwa partai-partai politik gagal menjalankan fungsinya sebagai sarana rekruitmen politik kepemimpinan sekaligus sarana artikulasi kepentingan kelompok-kelompok di dalam masyarakat yang dapat dipastikan tidak mungkin bersifat homogen.

Keempat, dominasi kelompok apalagi yang berbasis keluarga atau kekerabatan yang terlampau kuat dan dibiarkan berlangsung tanpa perlawanan potensial berdampak pada menyempitnya ruang publik untuk melahirkan pemimpin-pemimpin otentik di daerah, pemimpin yang memiliki integritas dan kapasitas unggul. 

Mencegah Kotak Kosong

Lantas bagaimana mencegah kotak kosong hadir sebagai "peserta" dalam perhalatan Pilkada? Ada dua langkah strategis yang bisa dilakukan.

Pertama, desak partai-partai politik untuk memiliki keberanian dan keseriusan menawarkan sebanyak mungkin figur-figur terbaik di daerahnya. Jangan egois, jangan hanya memikirkan kepentingan "keselamatan" partainya sendiri-sendiri, tetapi juga memikirkan keselamatan rakyat di daerahnya dari potensi terpilihnya pemimpin yang tidak cakap dan tidak pantas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun