Kelima, terdapat pasangan calon yang dikenakan sanksi pembatalan sebagai peserta Pilkada karena melakukan pelanggaran yang mengakibatkan jatuhnya sanksi pembatalan ini sebagaimana diatur dialam peraturan perundangan yang berlaku.
Selanjutnya pada ayat (2) Pasal 54C ini diatur, bahwa Pilkada dengan 1 (satu) pasangan calon dilaksanakan dengan menggunakan surat suara yang memuat 2 (dua) kolom yang terdiri atas 1 (satu) kolom yang memuat foto pasangan calon dan 1 (satu) kolom kosong yang tidak bergambar.
Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa Pilkada dengan 1 (satu) pasangan calon membuat kolom kosong atau kotak kosong menjadi "peserta," dan karenanya boleh dipilih. Bahkan juga boleh memenangi kontestasi seperti pernah terjadi pada Pilkada Walikota Makasar pada tahun 2018 silam.
Kala itu pasangan calon Walikota dan Wakil Walikota Makasar Munafri Arifuddin-Andi Rachmatika Dewi (Appi-Cicu) dipecundangi oleh kolom kosong dengan selisih suara sebanyak 36.550. Paslon Appi-Cicu meraih 264.245 suara, dan kolom kosong memperoleh 300.795 suara (Detik.com, 27 Desember 2018).
Politik Kartel si Biang KerokÂ
Kembali ke soal faktor penyebab munculnya calong tunggal yang berdampak pada hadirnya "peserta unik" Pilkada bernama kolom kosong tadi.
Dari kelima kondisi opsional tersebut, yang perlu mendapat perhatian adalah kondisi yang pertama. Yakni tidak adanya pasangan calon alternatif atau tidak adanya pasangan calon kompetitor.
Fenomena calon tunggal dengan faktor kondisional yang pertama ini penting dicermati karena kemunculannya kerapkali berkaitan dengan isu menguatnya fenomena politik kartel dalam perhelatan Pilkada.
Sebagaimana pernah saya tulis dalam beberapa artikel terdahulu, potensi munculnya kembali calon-calon tunggal dalam Pilkada di beberapa daerah nampaknya akan kembali membesar. Situasi ini dimungkinkan oleh makin menguatnya perlilaku kartel dalam politik elektoral.
Premis dasar politik kartel adalah bahwa partai-partai sesungguhnya tidak bersaing satu sama lain, melainkan berkolusi untuk melindungi kepentingan kolektif mereka dan memastikan partainya tetap memiliki akses terhadap ruang pemanfaatan kekuasaan.
Gejala politik kartel muncul sebagai akibat dari minusnya kepercayaan diri partai-partai politik untuk memajukan kader-kadernya ke arena konstestasi karena adanya kekuatan politik hegemonik di daerahnya yang sukar dilawan.
Kekuatan hegemonik itu bisa merupakan orang-orang kuat lokal (local strongmen) yang mendominasi kepolitikan daerahnya hingga berhasil menciptakan tradisi politik dinasti. Atau merupakan kekuatan politik yang disokong oleh elit-elit di tingkat nasional.