Mohon tunggu...
Teddi Prasetya Yuliawan
Teddi Prasetya Yuliawan Mohon Tunggu... profesional -

Founder of "Indonesia NLP Society" Author of "NLP: The Art of Enjoying Life" Facilitator at "Dunamis Foundation"

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Apa Sih NLP Itu? (2)

14 April 2010   04:58 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:48 199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Masih saja mendengar pertanyaan seperti ini dari beberapa orang yang membaca tulisan saya sebelumnya, maka saya pun menggunakan jurus lain.

“OK, Anda pernah kesal?” tanya saya.

“Ya jelas pernah lah,” jawab orang tersebut.

“Coba ceritakan salah satunya.”

“Mm…terakhir kali, kesel banget tuh, sama tetangga saya.”

“Wah, bagus. Bagaimana Anda bisa kesal?”

“Ya, dia kan lagi bangun rumah. Berisik banget! Saya ingatkan agar tidak terlalu menganggung tetangga, eh, malah dia marah-marah. Naik pitam lah saya.”

“Maaf, yang tanyakan adalah, bukan ‘Mengapa Anda kesal?’, tapi ‘Bagaimana Anda bisa kesal?’”

“Loh, apa bedanya? Ya itu tadi penyebabnya.”

“Nah, itu dia bedanya. Saya tidak bertanya penyebabnya. Saya bertanya proses menjadi kesalnya itu.”

“Oh, maksudnya?”

“Misalnya, ada orang yang pada awalnya biasa saja, tapi begitu mendengar nama orang tuanya di sebut-sebut, maka ia tiba-tiba naik pitam. Jadi, prosesnya adalah mendengar nama orang tuanya disebut, lalu dia naik pitam. Nah, Anda bagaimana?”

“Oh, begitu. Ya, waktu dia bilang, ‘Dimana yang namanya bangun rumah ya berisik Pak. Kalau mau pindah rumah aja dulu,’ saya jadi naik pitam.”

“Apa persisnya yang membuat Anda naik pitam?”

“Maksudnya?”

“OK, coba saya yang bilang ke Anda seperti itu ya, ‘Dimana yang namanya bangun rumah ya berisik Pak. Kalau mau pindah rumah aja dulu,’ apa perasaan Anda?”

“Biasa aja tuh.”

“Nah, kalau begitu apa yang membuat perkataan itu kalau dikatakan oleh tetangga Anda lalu bisa membuat Anda naik pitam?”

“Ah, cara ngomongnya itu lho. Nggak ngenakin banget. Sinis gitu kayaknya. Nadanya agak tinggi lagi.”

“Nah, itu yang saya maksud. Itulah NLP.”

“Loh, kok? Apa hubungannya?”

“Ya banyak. NLP itu kan bagaimana Anda menggunakan bahasa atau kata-kata untuk mempengaruhi program di dalam neurologi Anda. Nah, perasaan marah, atau naik pitam itu, itu kan tidak lebih dari susunan saraf. Dan, Anda baru saja menjawab sendiri soal program. Yaitu, ketika tetangga Anda berbicara dengan cara tertentu, maka Anda merespon dengan naik pitam. Sedangkan kalau saya yang berbicara dengan kalimat yang persis sama, tapi dengan cara yang berbeda, Anda biasa saja. Bisa disimpulkan sementara ini, kalau seperti itulah salah satu cara bekerja program naik pitam Anda,” urai saya panjang kali lebar kali tinggi.

“Oooooh…begitu…..”

“Ya, begitu lah kira-kira. Nah, coba sekarang, apa program Anda untuk bahagia?”

“Mm…berarti, bagaimana cara saya bisa bahagia ya?”

“Betul!”

“Pengalaman terakhir kali sih, waktu maju ke panggung pas diberi penghargaan karyawan teladan.”

“Nah, bagaimana Anda memunculkan perasaan bahagia itu?”

“Mm…Waktu itu, nama saya disebut oleh pembawa acara untuk naik ke panggung. Terus, ada suara musik yang menggelegar. Tiba-tiba saya merasa luar biasa!”

“Aha, seperti apa rasanya?”

“Wah, luar biasa lah pokoknya. Tidak bisa tergambarkan dengan kata-kata.”

Ketika saya melihat wajahnya berubah begitu drastis, saya berasumsi bahwa ia sedang terasosiasi dengan kondisi bahagia itu. Maka tanpa dia sadari, saya pun memasang sebuah anchor sentuhan pada lengan atas kirinya.

“Eh, tadi Anda tanya soal NLP kan?”

“Eh, iya. Sori ya Pak.”

“Nggak apa. OK, jadi, ketika Anda bahagia…,” saya picu anchor di lengan atas kirinya. Dan, seketika wajahnya berubah lagi. “Ini yang Anda rasakan? Apa yang muncul?”

“Wah, mantab Pak. Suara musik itu seperti terdengar lagi.”

“Nah, itu juga NLP.”

“Hah? Maksudnya?”

“Anda punya program bahagia. Baru saja saya lakukan sedikit modifikasi pada program tersebut, dengan memasang sebuah stimulus di lengan kiri atas Anda. Stimulus ini biasa disebut anchor. Fungsinya adalah pemicu untuk memunculkan sebuah kondisi pikiran-perasaan tertentu, tanpa perlu repot-repot mengingatnya kembali.”

“Wah, bisa begitu ya?”

“Tentu. Inilah yang di artikel saya sebelumnya saya maksud dengan melakukan reprogram terhadap program yang sudah ada di diri kita. Namanya kan Neuro-Linguistic Programming. Nah, kata program memiliki asumsi bahwa ia bisa diinstal, uninstal, dikode ulang, dan di-reinstal, layaknya program komputer. Program komputer itu kan merupakan model dari program dalam diri kita, anyway,” jelas saya lagi panjang kali lebar kali tinggi.

“Wah, saya mengerti sekarang. Rupanya begitu ya.”

“Kira-kira begitulah.”

“Kok kira-kira terus sih pak?”

“Ya, karena saya juga tidak tahu apa kah memang ini yang sebenarnya terjadi di dalam diri kita atau tidak. Yang jelas, inilah ‘buku manual’ yang coba disusun oleh NLP. Lebih spesifiknya, ini adalah pemahaman seorang Teddi terhadap ‘buku manual’ yang disusun oleh NLP. Tapi, yang paling tahu kebenarannya ya hanya Sang Pencipta lah. Karena itulah, para penggagas NLP selalu melakukan perbaikan di sana sini. Evolusi belum selesai. NLP yang sekarang beda dengan yang dulu. Bisa jadi juga beda dengan yang akan datang. Tapi, sementara ini, ya seperti inilah NLP.”

“Hmm…OK deh Pak kalau begitu.”

Nah, rekan-rekan NLPers pembaca yang budiman. Saya tidak tahu apakah Anda setuju atau tidak. Namun yang pasti saya baru benar-benar memahami sesuatu ketika ia telah saya praktikkan sendiri. Sebuah bacaan adalah stimulus bagi saya untuk mengalami dan menemukan kunci-kunci rahasianya. Maka jika Anda setuju, mengapa tidak Anda mempraktikkan saja latihan yang saya lakukan bersama seorang rekan di atas? Mari kita eksplorasi program yang kita miliki untuk memunculkan kondisi bahagia, syukur, pembelajaran yang mudah, dan…apa saya yang Anda inginkan.

Dan, agar pembelajaran yang Anda lakukan itu segera terinternalisasi dan memunculkan pembelajaran baru, Anda boleh menuliskan komentar Anda di bawah artikel ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun