“Eh, iya. Sori ya Pak.”
“Nggak apa. OK, jadi, ketika Anda bahagia…,” saya picu anchor di lengan atas kirinya. Dan, seketika wajahnya berubah lagi. “Ini yang Anda rasakan? Apa yang muncul?”
“Wah, mantab Pak. Suara musik itu seperti terdengar lagi.”
“Nah, itu juga NLP.”
“Hah? Maksudnya?”
“Anda punya program bahagia. Baru saja saya lakukan sedikit modifikasi pada program tersebut, dengan memasang sebuah stimulus di lengan kiri atas Anda. Stimulus ini biasa disebut anchor. Fungsinya adalah pemicu untuk memunculkan sebuah kondisi pikiran-perasaan tertentu, tanpa perlu repot-repot mengingatnya kembali.”
“Wah, bisa begitu ya?”
“Tentu. Inilah yang di artikel saya sebelumnya saya maksud dengan melakukan reprogram terhadap program yang sudah ada di diri kita. Namanya kan Neuro-Linguistic Programming. Nah, kata program memiliki asumsi bahwa ia bisa diinstal, uninstal, dikode ulang, dan di-reinstal, layaknya program komputer. Program komputer itu kan merupakan model dari program dalam diri kita, anyway,” jelas saya lagi panjang kali lebar kali tinggi.
“Wah, saya mengerti sekarang. Rupanya begitu ya.”
“Kira-kira begitulah.”
“Kok kira-kira terus sih pak?”