Mohon tunggu...
Syarifah Lestari
Syarifah Lestari Mohon Tunggu... Freelancer - www.iluvtari.com

iluvtari.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pada Bangku dan Dedaunan

3 November 2020   20:05 Diperbarui: 3 November 2020   20:32 488
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Pria ini terlalu suka berkata-kata, sehingga tak ada pengunjung taman yang berkenan duduk di sampingnya. Bukan tanpa sebab, melainkan karena cerita yang ia umbar itu itu saja. Manusia adalah makhluk pembosan.

"Namaku Tora Nomi. Ibuku punya teman yang sangat baik," katanya pada seseorang yang tengah berhenti sejenak dari lari pagi.

Pengunjung yang hanya lewat itu, tersenyum pada Tora.

"Ia suka membawakanku mainan. Suatu hari sambil bercanda, dia bilang aku adalah anaknya. Tapi sejak hari itu ia hilang."

Orang itu lalu melanjutkan larinya. Tora berhenti bicara, menunggu seseorang yang lain untuk mendengar ceritanya.

Beberapa pengunjung yang sering datang ke taman melintas. Melihat ada Tora, mereka memilih tempat lain. Tora tersenyum pada mereka, menyapa dari kejauhan.

"Kalau sedang sedih, aku suka memandangi langit. Itu membuatku sulit untuk menangis. Kau perlu coba cara itu!" Tora menyarankan seseorang yang berhenti untuk mengikat tali sepatu di depannya.

Orang itu berlalu saja, tak menghiraukan Tora sama sekali.

"Namaku Tora Nomi. Belum lama ini ada yang membelikanku mainan, padahal aku sudah besar."

Baca juga: Kencan atau Taaruf?

"Dia pasti sayang padamu," balas seseorang yang datang, duduk, lantas membaca di sebelah Tora.

"Kau pernah dibelikan mainan oleh orang yang menyayangimu?" tanyanya pada orang tersebut.

Orang itu menutup sebentar bukunya. "Aku punya buku bagus. Kau harus baca juga!" Ia mengangsurkan satu buah novel.

Tora mengambil, memandangi buku itu, lalu mengembalikannya. "Aku tidak pandai membaca."

Orang itu memicing. "Oh, maaf. Tapi aku ke sini agar bisa konsentrasi membaca."

"Yang membelikanku mainan, sering masuk ke kamar Ibu. Mereka tertawa-tawa di dalam. Aku tidak suka diberi mainan, tapi ibuku diambil." Tora melanjutkan.

Orang itu pelan-pelan berpindah tempat. Tora mendongak, ia memandangi awan yang bergerak pelan di matanya.

Seorang anak kecil datang dengan balon di tangan kiri dan es krim di tangan kanannya. Anak itu duduk di sebelah Tora.

"Hai, namaku Tora ... "

Tiba-tiba bocah itu ditarik oleh seorang perempuan, yang sambil berjalan cepat, memarahi si anak.

Sepi menyelimuti kami. Angin meniup daun-daun yang berjatuhan dari pohon. Beberapa jatuh di tanah, sebagian mendarat di sebelah Tora. Pemuda ini bergeming. Tak tertarik mengajak daun itu bicara.

Menjelang sore, sepasang lansia datang entah dari mana. Melihat mereka mendekat, Tora mengambil posisi di tengah. Keduanya tidak pindah ke bangku lain, malah saling berbagi tempat. Masing-masing duduk di sebelah Tora, kanan dan kirinya.

"Namaku Tora ..."

"Nomi," keduanya menyambung bersamaan. Ketiganya tersenyum.

"Ibuku pernah kedatangan tamu ... "

"Itu tamu yang keberapa?" tanya si nenek.

Tora berpikir sejenak.

"Kemarin kau sudah cerita yang ketujuh. Lanjutkan saja, Nak! Jangan diulang dari awal," pesan si kakek.

"Baik, kuingat-ingat dulu," ujar Tora.

Kedua lansia itu sabar menunggu.

"Waktu itu hujan. Aku sendirian di kamar. Suara petir keras sekali, aku sangat ketakutan. Aku ingin memeluk Ibu, tapi kamarnya terkunci. Ibu pasti berlindung dalam pelukan temannya yang lain lagi.

Kadang aku pikir ibuku adalah orang yang curang. Ia suka mengobrol dengan banyak orang, teman-temannya itu. Tapi tak mau bicara banyak denganku. Ia seperti orang-orang di taman ini, yang selalu menjauh karena tak ingin mendengar ceritaku." Tora mendongak. Hening.

"Aku tidak marah tak disekolahkan, tidak diajak bermain, tak pernah jalan-jalan. Aku tidak benci Ibu, tidak pernah. Aku malah ikut menangis waktu ia berteriak-teriak kesakitan, sementara temannya tertawa di kamar Ibu.

Aku bahkan ingin memeluknya waktu itu. Tapi ketika temannya keluar, Ibu tetap bermanis-manis padanya. Aku tetap sendirian. Setelah temannya pulang, Ibu masuk ke kamar. Padahal aku ingin tau, apa yang dilakukan temannya sampai ibuku berteriak?

Tapi di antara sekian banyak pertanyaanku, yang tak satu pun terlontar, aku hanya ingin satu hal terjawab ... "

Baca juga: Cerpen Psikologi

"Maaf, Nak. Kami pamit dulu, anak kami sudah datang menjemput," sela si kakek.

"Tunggu dia menyelesaikan," istrinya menegur.

"Anak kita harus segera bekerja, jangan buat dia menunggu."

"Kami akan datang kemari besok," kata si nenek, membesarkan hati Tora.

"Kau tidak pulang?" tanya si kakek.

Tora menggeleng.

"Kami pergi dulu. Kau pulanglah, ibumu mungkin kebingungan mencarimu!" si nenek menyarankan.

Tora masih bergeming. Sepasang lansia itu tertatih menjauh. Sebuah mobil menunggu mereka di pinggir jalan, bagian luar taman.

Tora memandangi langit yang perlahan kelabu. Kali ini upayanya tak berhasil. Air matanya tetap jatuh, membentuk parit di pipi. Ia biarkan dirinya sesenggukan.  

Teruslah bercerita, Tora. Aku suka mendengarnya. Tapi Tora tak bisa mendengar ucapan sebuah bangku taman.

"Aku ingin tau, di antara teman-teman Ibu, yang mana ayahku?"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun