“Sudahlah Jo, biarkan anak sialan itu keliaran seperti habitat aslinya sana. Lagi pula dia kan cuma anak pungut saja”, sindir Surti bukan main.
“Ti…,” jawab Tejo belum kelar, tapi sudah di hujam oleh perkataan dari Surti.
“Ahh… Sekarang lihat aku Jo, aku ini istrimu..istrimu Jo, kenapa kau tak ada sedikit-sedikitnya memperdulikan aku?” ujar Surti meninggi.
“Kenapa sih kamu benci sekali dengan Sute sih Sur ? Ingat Sur, dia itu anak kita,” jelas Tejo meruncingkan pembicaraan.
“Anak… ngaca dulu deh Jo, kita itu hidup sudah susah, pakai ngangkat anak segala. Mending itu anak kita…dia itu anak nggak jelas Jo !” Surti berupaya merangkai kata-kata untuk pembelaannya.
Debat kusir yang coba dihindari oleh Tejo rupanya malah benar-benar terjadi. Makin gerahlah suasana yang ada di rumah itu.
“Bukan begitu maksudku Sur. Materi bisa dicari tapi kalau anak ?” ujar Tejo pasti melanjutkan pembicaraannya.
“Ah… apapun katamu, aku tak perduli. Kamu tau Jo, dia itu hanya kerikil bagi kita Jo ! Dia itu cuma akan jadi batu sandungan bagi kita. Kerikil Jo, encamkan itu !” berontak Surti.
“Sebentar, maksudmu itu apa Sur, kerikil ?” Tejo balik tanya.
“Bagus benar pertanyaanmu, mau tau ?” ujar Surti sambil turun dari emperan.
Dan, cetak…. Sebongkah kerikil melayang tepat ke kepala Tejo.