Mohon tunggu...
Puji Darmanto
Puji Darmanto Mohon Tunggu... -

SAYS AND UP !!!

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Sute Senja

23 Juni 2015   16:41 Diperbarui: 23 Juni 2015   21:39 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Dasar kamu ini, maunya ditindas melulu. Makanya kalau jadi kepala keluarga itu yang tegas,” ucap Surti seraya mendorong Tejo.

Nguping ditutup secara simbolik, ya itu… apalagi kalau tidak adu mulut. Mata langit pun kian memuncak, menggeser langit yang kegerahan. Si tukang sayur dan kumpulan mulut-mulut itu mulai beranjak dari konspirasinya. Tadinya, tak perduli perut para lakinya kering, namun sidang palsu sering-sering ialah yang terpenting bagi mereka.

Esoknya, Tejo bangun amat merapat. Sampai sang dewi malam pun belum lengser dari singgasananya. Bayu fajar pun masih berlaku kejam. Yang selalu menusuki Tejo sampai ke tulang-tulang. Sebenarnya Tejo hendak meronta, namun harus pada siapa, sedang hanya suara pejantan yang terdengar. Memang masih begitu gelap, semburat langit tiada kontak. Bejonya, kepala-kepala obor itu masih mau membahu. Terlihat, riak-riak tanah menyapa, menuntun kaki kecil Tejo yang keriput. Benar, dewasa Tejo kini mulai hilang. Matanya kini mulai rabun, mengiringi uban-uban rontok yang menggerogoti kepalanya. Kepala Tejo kini makin bulat, licin, dan terasa aneh versi Surti. Ahh..tak terasa hari kian terik, membakar ubun-ubun sampai ke dalam. Lucunya, mengapa daun-daun itu tetap bersulang riang. Apa mungkin, ia sedang menertawakan Tejo yang bersimbah peluh ? Siapa juga yang perduli. Tapak demi setapak Tejo menginjaki jalanan hutan kering kerontang, mengumpulkan gabah dari duit kayu perapian. Namun, belum sebongkok penuh ia mengais, bulu kuduknya telah tegak menantang. Aneh katanya, suara misterius itu semakin lama kian terdengar. Bulu kuduknya kini begitu meninggi. Kepalanya menengok-nengok, entah ke belakang atau ke semak suram. Hati Tejo kenapa begitu gundah-gulana. Dalam hatinya, hari itu terasa tak biasa, tapi ia tetap besarkan hatinya, demi sesuap nasi dan penghidupan dua nyawanya.

Pikirannya semakin aneh-aneh,” Si Mbah jangan marah ya? Pait, pait, pait….!” ucap Tejo keseringan pada pohon-pohon besar. Rupanya, Tejo tak mau mati konyol di hutan itu. Namun rasa penasarannya tak bisa terkalahkan. Hutan yang suram tak jadi penghalang. Akhirnya Tejo melangkahkan kakinya ke suara seram. Patahan demi patahan ranting itu selalu menyelimuti nyali kecilnya yang kian ciut.

“Astagafirulah…!” teriak Tejo sekeras-kerasnya.

Bukan apa-apa, lucunya, hanya buah mahoni kering yang menduduki bahunya. Dada Tejo kian berdegup kencang, nyalinya terbang entah kemana , tertiup oleh pusaran bayu. Lagi-lagi, Tejo menghela napasnya panjang-panjang. Dan ia mulai lagi.

Batin Tejo kian pasti,”mungkinkah suara itu datang dari semak yang itu ? Iya,” umpan balik pada dirinya sendiri. Serpihan demi serpihan ia mulai kumpulkan, ya hati ciutnya tadi. Dan kini dengan hati yang separuh utuh, ia membuka semak yang rimbun itu dengan pelannya. Namun apa yang terjadi, Tejo malah tergerus kejengkelan. Ternganga… Tak ada apa-apa, nyawa Tejo kembali.

“Alhamdulillah, slamet, slamet, slamet..”, katanya sambil menyetel jantungnya. Bukan kepalang, tiba-tiba Tejo segera berbalik dan terbirit. Berapa banyak duit yang telah ia kumpulkan, siapa yang perduli. Pokoknya harus pulang,jiwa pengecut itu mulai muncul satu demi satu semenjak suara aneh itu terdengar lagi di telinganya.”Stt..sstt..ssstt”,suara itu jelas datang dari arah belakang bersamaan dengan hentak kaki kecil yang mengikutinya.Tejo serasa terus diawasi oleh seseorang. Dicopotnya lagi hati dan jantung yang telah susah-susah ia pasang.

Sesekali ia menengok kebelakang dan menelan ludahnya, “halo… adakah orang disini ?”. Tapi tidak mungkin pikirnya, di hutan yang selebat ini apakah ada yang berani menempatinya. Kalau gak binatang buas,kan ya gondoruwo dan teman-temannya saja. Tejo bergumam terus menerus untuk menghilangkan rasa takutnya. Tapi jalanya kian dipercepat, suara tapak dari kaki lain kian mematahkan keheningan hutan. Tejo berhenti lagi, hujan mulai menyambut dengan tenang. Perjalanan Tejo pun terhenti sejenak. Ia berteduh pada rimbunnya pepohonan. Hujan pun kian deras mendera. Hari itu terlihat gelap, segelap hati Tejo saat itu. Langit murung, dan kilat tertawa keras menggelegar seakan mengejek Tejo yang menggigil kedinginan. Bibirnya biru naik turun, kulitnya tambah keriput saja, tersapu kabut yang kian tebal. Mata Tejo yang rabun tak bisa melihat dengan jelas saat itu.

“Haduh.. mata tua ini lagi, apa yang sekarang bisa aku perbuat?”, keluhnya memuncak. Lalu dia diam lagi. Ia terheran, kenapa hujan tak kunjung reda, langit tak kunjung cerah, dan hatinya tak kunjung senang. Sekali lagi rasa was-was. Kenapa juga ia tak bosan dengan pikirnya itu. Padahal tadi ia sedikit melupakannya. Entah apalah itu ? Bayang-bayang fajar seakan datang, padahal waktu itu mulai menunjukan kesorean.

Redalah hujan, seabad dinanti-nanti akhirnya datanglah juga. Langit kembali tersenyum kegirangan. “Waktunya pulang…!” suara Tejo melengking kekanak-kanakan. Semburat langit terlihat jelas. Kabut seakan hilang, terbawa hilangnya hujan. Bau tanah , bau bangkai, dan semuanya jadi bau. Hujan membahui segala bau yang ada di hutan. Binatang kecil mulai merayapi tanah kebasahan, meramaikan suasana yang tak ada ramai-ramainya. Perjalanan Tejo masih panjang, hutan lembo ini memang sangat luas. Banyak bukit, jalanan setapak dan jurang-jurang. Perlu waktu setengah abad untuk Tejo menyusuri jalanan tersebut. Kaki Tejo kan rapuh, butuh waktu lama untuk perjalanan yang sejangkah saja. Sembari pulang Tejo mengais rezeki lagi, dari ranting-ranting yang jatuh sehabis hujan. “Alhamdulilah… gabah-gabah”, ucap Tejo mengucapkan kegembiraanya. Berbongkok-bongkok sudah ranting yang Tejo kumpulkan. Lesung pipi keriputnya menyambut berbarengan dengan hatinya yang sumringah. Tak perduli basah ataupun tanah yang berlumpur, Tejo tetap semangat menyongsong langkah kakinya. Setengah hutan sudah ia jalan, langkah kakinya yang renta kini sudah mencapai hutan lombe. Memang tak seperti biasanya, Tejo mencari kayu sampai ke hutan seberang, padahal sedanglah banyak konflik disana. Tejo tak memperdulikannya, demi sesuap nasi ia memberanikan diri. Lagi pula, hutan lombe kini mulai gundul, tergerus tangan tangan jahil yang tak bertanggung jawab. Terus, kalau tidak ke hutan lembo mau mencari kemana lagi. Hanya disanalah banyak kayu kering berjatuhan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun