Mohon tunggu...
Puji Darmanto
Puji Darmanto Mohon Tunggu... -

SAYS AND UP !!!

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Sute Senja

23 Juni 2015   16:41 Diperbarui: 23 Juni 2015   21:39 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Aku cuma takut Jo, sayangmu terbagi pada orang lain termasuk juga pada Sute, aku minta maaf Jo”, tambah Surti lirih.

“Pada Sute…?”, tanya Tejo spontan.

”…huhh”, Surti menghela napas panjangnya melalui hidung.

“Hahaha…” Tejo tertawa lantang.

” Sute itu anak kita Sur,sebagai kepala keluarga aku harus berlaku adil dalam mencintai satu sama lain,” Tejo berusaha memberi penjelasan

“Kalau kamu berpikiran seperti itu, buang jauh-jauh pikiranmu itu. Itu racun Sur, racun…”, tambah Tejo.

Sute hanya memandangi ke arah Surti-Tejo. Kasihan sebenarnya, hati kecil Sute harus melihat sesuatu yang bukan skalanya. Tapi terlanjur sudah, ia tahu apa yang membuat pelik di keluarga itu. Ya dirinya itu ternyata. Namun, apa yang dapat ia perbuat saat ini. Ia hanya bisa bergantung pada mereka berdua. Sute nampaknya memang perlu bimbingan dan kasih sayang. Di usianya yang masih sebelas tahun, ia harus hidup keras menggelandang di hutan yang menyeramkan. Tapi ia kini tidak. Dia berada di dalam asuhan. Dalam hati kecilnya ia bertanya, kenapa selalu ia yang dipermasalahkan. Padahal apakah salah anak kecil itu ? Kurangnya apa, dan mintanya mereka itu seperti apa. Hanya Tuhan dan mereka lah yang tahu. Tak pernah dirembukan pula, yang ada mereka hanya debat kusir saja. Tiap betemu, jadilah perdebatan itu. Entahlah mereka dapat ilmu nya dari mana. Semua mengalir begitu saja. Dan dibalaslah tatapan Sute tadi oleh Surti. Tambah lah takut dia.

Surti memandanng ke arah Sute sambil mendekatinya,”maafkan emak ya nak. Sebenarnya emak sayang sekali sama Sute,,” ujar Surti dengan sepenuh hati.

“Iya mak, tapi aku bukan kerikil kan ?” balik tanya.

Surti menangis lagi, ia merasa sangat bersalah. “Bukan nak, kau anakku Sute,” tambah Surti.

            Rupanya ia tak tahan dengan sandiwara yang dilakukanya selama ini. Seperti yang telah dikatakan oleh Encingnya tempo hari. Diakhirilah sandiwaranya ini hari. Setiap kali Surti melakukan hal-hal buruk kepada Sute, ia selalu lari ke hutan. Dan menangislah ia di sana. Ia sadar tak bisa memberikan momongan, tapi ia sudah kepalang bilang diawal-awal. Emosinya menggerus kasih sayang yang ada pada dirinya. Ia gengsi menarik ulur apa yang telah ia katakana. Entah itu, ia tak mau mengakui Sute sebagia anak dan entah apalah itu, kata-katanya begitu kasar. Tapi sebenarnya di lubuk hati Surti yang paling dalam, ia hatinya tak kuasa bila melihat seorang anak. Apalagi itu seorang anak kecil. Mungkin itu akibat rasa hausnya terhadap momongan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun