Mohon tunggu...
Mulyadin Permana
Mulyadin Permana Mohon Tunggu... Antropolog Universitas Indonesia -

Everything needs process, your process is your future

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Konflik Sosial dalam Kekerabatan : Kajian Antropologi Terhadap Tawuran Antar Kampung di Bima Nusa Tenggara Barat

7 Februari 2016   01:44 Diperbarui: 7 Februari 2016   02:28 887
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Oleh Mulyadin Permana, M.Si

Departemen Antropologi, FISIP, Universitas Indonesia

(Ringkasan Tesis).

 

Abstrak

Tesis ini membahas konflik dalam kekerabatan yang terjadi di Bima Nusa Tenggara Barat. Masyarakat Bima berada dalam lingkaran kekerabatan, tetapi terselimut konflik di dalamnya. Studi ini bertujuan untuk menganalisis, mendeskripsikan dan mengungkap relasi konflik di balik fenomena tawuran antar kampung. Dalam kajian ini, penulis melakukan pengamatan langsung (observasi) dengan metode induktif, wawancara mendalam (deep interview) dan observasi partisipasi (participant observation), analisis deskriptif dan refleksi autobiografi penulis sendiri sebagai insider. Hasilnya, penulis menemukan adanya rentetan konflik di masa lalu yang telah menjadi sebuah ‘teks / narasi’ sebagai acuan bagaimana masyarakat melanggengkan konflik, sekaligus dialektika struktur tersembunyi atas pengalaman konflik dalam kebudayaan masyarakat Bima. Narasi konflik diregenerasi, diproduksi dan diperkuat oleh sentimen identitas spasial kampung yang menjadi solidaritas untuk melawan kampung lain, mengalahkan narasi kekerabatan antara mereka. Kemudian, konflik di Bima melibatkan banyak aktor kepentingan di dalamnya yang memainkan pengaruh terhadap konflik sehingga konflik dan tawuran antar kampung terus terjadi.

Kata Kunci:

Aktor; identitas; kebudayaan; kekerabatan; konflik; narasi; pengalaman; relasi; solidaritas; struktur tersembunyi; tawuran antar kampung

 

Social Conflict on Kinship : Anthropological Study of The Inter Village Communal Violance in Bima West Nusa Tenggara

 

Abstract

The focus of this study is about conflict on kinship in Bima West Nusa Tenggara’s society. The society is actually in a lineage of kinship, but veiled conflict in it. This study purposes to analyze, describe and reveal conflict relation behind the inter village communal violance. In this study, I took direct observation by inductive method, deep interview, participant observation, descriptive analysis and also my own autobiographical reflection. The result, I found the sequence of past conflict as a ‘text/narration’ referencing society to perpetuate conflict with ‘deep structure’ dialectic of conflict experience on the society’s culture. Conflict narration is regenerated, produced and strengthened by sentiment of identity spatial of village becoming solidarity to fight another village, more exist than kinship narration. Conflict involves many interest actors actuating influence on conflict to sustain conflict and the inter village communal violance continued in Bima.

Keyword:

Actor; conflict; culture; deep structure; experience; identity; kinship; narration; relation; solidarity; the inter village communal violance

 

Pendahuluan

Hubungan kekerabatan merupakan hubungan intim yang melibatkan emosi jiwa antar manusia yang biasa disebut sebagai hubungan emosional. Hubungan emosional berasal dari ikatan kekeluargaan secara genealogis antar manusia yang satu dengan yang lainnya. Ikatan emosional mengikat dengan kuat perasaan, psikologi dan suasana jiwa dalam sebuah keintiman.

Hubungan kekerabatan masuk ke dalam lingkaran nomor 3 dalam Psychological Homeostatis and Jen milik Francis L.K. Hsu (Koentjaraningrat 2009:100-107) yang disebut sebagai ‘lingkaran hubungan karib’ (intimate society). Menurut Hsu, lingkaran hubungan karib dihuni oleh orang tua, saudara kandung, kerabat dekat, sahabat karib dan lain-lain. Hubungan karib merupakan lingkaran individu yang dapat diajak bergaul secara mesra dan karib, juga dapat dipakai sebagai tempat berlindung dan mencurahkan isi hati.

Dalam konsep Hsu, hubungan kekerabatan dalam lingkaran hubungan karib menggambarkan konsep jen atau alam jiwa dari ‘manusia yang berjiwa selaras’. Kehidupan yang dimulai dengan orang tua dan saudara kandung atau saudara-saudara karib itu menjadi ‘masyarakat hubungan karib’ yang berjiwa selaras. Dalam kehidupan masyarakat karib, antara warga masyarakatnya saling menjadi tumpuan hidup, tempat berlindung, sumber pertolongan pertama, serta objek rasa kemesraan dan kasih sayang.

Konsep kekerabatan Hsu sebagai ‘hubungan selaras’ tidak jauh berbeda dengan definisi kekerabatan oleh seorang antropolog ternama Roger M. Keesing (1975:11-122) dalam bukunya Kin Groups and Social Structure. Menurut Keesing, kekerabatan adalah hubungan darah, bersifat alamiah dan mendasar seperti sesuatu yang taken for granted. Kekerabatan dalam masyarakat tribal adalah garis vertikal antara orang tua dan anak-anaknya, kemudian bercabang dalam hubungan antara saudara kandung.

Menurut Keesing, “Kinship is the network of relationships created by genealogical connections, and by social ties (e.g., those based on adoption) modelled on the “natural” relations and genealogical parenthood.”

Keesing menyebutkan bahwa dalam hampir semua masyarakat, sebuah lingkaran yang dimiliki oleh seseorang dalam kekerabatan memainkan bagian tertentu dalam kehidupan sosial. Mereka itu secara konseptual dikenal sebagai kategori kebudayaan (a cultural cathegory) dan sebuah kategori memiliki label antropologi tersendiri, yaitu kindred or personal kindred.

Seperti yang digambarkan oleh Keesing terkait a personal kindred bahwa seorang individu yang lahir dari orang tua yang berasal dari keturunan berbeda mengikatkan dirinya dalam satu kekerabatan dengan nenek-kakeknya (orang tua dari ayah dan ibunya) atau dengan saudara-saudara nenek-kakeknya (termasuk keturunannya, merupakan a kindred category), dengan saudara-saudara orang tuanya dan dengan anak-anak dari saudara orang tuanya, selain dengan saudara sekandungnya (Lihat BAGAN KEKERABATAN 1 (A Personal Kindred) Roger M. Keesing (1975:15)).

Menurut Keesing, hubungan kekerabatan dekat (close relatives) atau fellow clansmen sudah seharusnya saling mendukung satu sama lain, bekerja sama, menghindari pertengkaran dan sebagainya. Namun, menurutnya, para antropolog perlu melihat realitas-realitas yang terjadi di masyarakat yang mampu menciptakan polarisasi-polarisasi tindakan yang melahirkan hubungan baik maupun hubungan permusuhan. Para antropolog harus melihat perilaku sebagai hal yang mendasar berdasarkan individual self-interest dan strategi-strategi pencapaian tujuan oleh individu.

Dalam pandangan konflik – baik dalam hubungan kekerabatan ataupun interaksi sosial, manusia selalu dihadapkan pada konflik-konflik yang niscaya ada dalam kehidupannya. Persoalan koflik di Bima menjadi unik karena terjadi dalam lingkaran kekerabatan dan berbentuk kekerasan fisik yang dilakukan secara komunal.

Masyarakat Bima sebenarnya homogen; memiliki kebudayaan sama, bahasa, nilai-nilai, norma, agama dan kekerabatan yang sama. Tidak ada perbedaan kondisi sosial, kondisi alam dan kondisi ekonomi; masyarakat hidup dalam taraf ekonomi yang (hampir) sama. Namun, kesamaan dan jalinan kekerabatan tidak membuat masyarakat menahan diri untuk terlibat dalam konflik sosial; mereka saling menyerang, merusak dan bahkan saling membunuh dalam bentuk tawuran antar kampung.

Intensitas tawuran antar kampung dari waktu ke waktu semakin tinggi dan meluas. Tawuran antar kampung tidak hanya terjadi antar kampung tertentu tetapi omnipresent (hadir dimana-mana) antar kampung yang satu dengan kampung-kampung lainnya. Mereka tawuran menggunakan senjata tajam, panah beracun dan juga peluru tajam.

Pemicu tawuran sebenarnya hanya merupakan hal sepele atau bahkan hanya persoalan personal antar individu kedua kampung. Permasalahannya tidak hanya persoalan pemicu konflik, tetapi juga terkait dengan kebudayaan masyarakat setempat. Permasalahan mendasar yaitu tentang hubungan kekerabatan dalam masyarakat, lantaran konflik hadir di tengah-tengah lingkaran hubungan karib atau hubungan keluarga yang seharusnya terjalin keintiman.

Oleh karena itu, untuk memudahkan tercapainya tujuan penelitian terkait peristiwa tawuran antar kampung dan konflik di Bima, saya merumuskan pertanyaan sebagai berikut:

a.    Bagaimana konflik sosial dalam kekerabatan bisa terjadi dan persoalan kekerabatan apa yang melatarbelakangi konflik di Bima?

b.    Bagaimana kesejarahan dan perubahan kondisi yang mempengaruhi konflik di Bima?

c.    Bagaimana narasi konflik dan identitas spasial kampung mengalahkan narasi tentang kekerabatan?

Fenomena tawuran antar kampung di Bima selalu terulang dan terjadi dimana-mana, eskalasinya semakin tinggi dan meluas sehingga sangat sulit untuk menghentikannya. Bagi sebagian orang, konflik di Bima dipandang sebagai hiburan, disenangi dan menjadi tontonan, juga menjadi hobi.

Namun, di balik hobi dan kesenangan dalam melihat atau terlibat tawuran, terdapat luka yang sangat dalam akibat tawuran antar kampung yang sudah banyak merenggut nyawa, korban luka-luka dan kerugian materi yang cukup besar. Konflik semakin berbahaya karena penggunaan senjata tajam, panah beracun, senapan angin dan senjata api rakitan semakin masif.

Belum diketahui secara pasti ikatan apa yang menyebabkan mayoritas anggota masyarakat mau terlibat tawuran secara massal dengan kerabat atau tetangga mereka tersebut. Namun, terlihat jelas ada solidaritas di antara mereka tanpa mempertimbangkan dasar persoalan yang terjadi, siapa yang salah atau yang benar, serta apa dampak dari tawuran tersebut. Konflik menjadi memori kolektif atau sebuah narasi yang membenarkan tawuran terjadi lagi.

Oleh karena itu, penelitian tesis ini bertujuan mengungkapkan, mendeskripsikan dan menganalisis konflik yang terjadi dalam kekerabatan di balik fenomena tawuran antar kampung di Bima. Untuk mewujudkan tujuan itu, saya merumuskan kalimat operasional sebagai berikut:

a.    Mengetahui penyebab terjadinya konflik sosial berbentuk tawuran antar kampung dan persoalan kekerabatan yang melatarbelakangi konflik di Bima;

b.    Memahami kesejarahan konflik dan perubahan kondisi yang mempengaruhi konflik di Bima;

d.   Memahami bagaimana narasi konflik dan identitas spasial kampung mengalahkan narasi tentang kekerabatan.

 

Tinjauan Teoritis

Kata ‘konflik’ dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti percekcokan; perselisihan; pertentangan; dalam kesusastraan konflik adalah ketegangan atau pertentangan di cerita rekaan atau drama (pertentangan antara dua kekuatan, pertentangan dalam diri satu tokoh, pertentangan antara dua tokoh dan sebagainya) (http://kbbi.web.id/konflik).

Begitu juga dalam Kamus Bahasa Inggris menyebutkan bahwa konflik merupakan kata kerja tanpa objek yang memiliki arti sebuah tubrukan atau pertentangan, menjadi bertolak belakang atau kontradiksi, berbeda dan berselisih atau berada dalam kondisi oposisi; perselisihan atau bentrokan. Bisa juga berarti bertengkar atau bercekcok atau melakukan pertempuran (to become into collision or disagreement; be contradictory, at variance, or in opposition; clash; to fight  or contend; do battle) (http://dictionary.reference.com/browse/conflict).

M. Afzalur Rakhim (2010:16) mengajukan definisi konflik sebagai sebuah proses interaksi yang dimanifestasikan dalam ketidaksesuaian, ketidaksetujuan atau ketidakcocokan di dalam atau antara entitas sosial. Konflik memiliki arti kolektifitas atau dimensi sosial, walaupun Rakhim juga menyebutkan bahwa konflik bisa terbatas pada satu individu yang berkonflik dengan dirinya sendiri (the intrapersonal conflict).

Robert A. Baron (1990:197-216) menulis definisi konflik sebagai suatu kondisi dimana ada interest-interest yang saling berlawananan antara kelompok yang berada dalam situasi titik nol, harus ada keyakinan dari masing-masing pihak bahwa pihak lain sedang melakukan atau akan melakukan sesuatu yang berlawanan dengan mereka. Keyakinan itu menjadi justifikasi atas tindakan yang mereka ambil. Konflik adalah sebuah proses karena merupakan perkembangan dari interaksi yang terjadi sebelumnya.

Definisi konflik oleh Michael Nicholson (1992:9-22) menjelaskan konflik sebagai suatu aktivitas yang terjadi ketika manusia sebagai mahluk sadar (conscious beings) baik sebagai individu atau kelompok ingin melakukan tindakan-tindakan yang tidak konsisten mutualis (mutually inconsistent acts) sesuai dengan keinginan, kebutuhan atau kewajiban mereka. Maka, konflik adalah eskalasi dari suatu pertentangan yang ditandai dengan eksistensi perilaku konflik manusia sebagai conscious beings yang secara aktif selalu mencoba merusak satu dengan yang lainnya.

Lewis A. Coser (1956:37) mengartikan konflik – untuk membedakan dengan perilaku permusuhan atau sentimen – sebagai tindakan yang terjadi dalam interaksi antara dua atau lebih individu. Konflik dipandang sebagai sesuatu yang selalu bersifat trans-action (Conflict is always a trans-action).

Oleh karena itu, bagi saya, seperti pandangan Michael Nicholson bahwa konflik adalah eskalasi dari suatu pertentangan yang ditandai dengan eksistensi perilaku konflik. Artinya, ada manifestasi tindakan konflik atau konflik dimanifestasikan dalam tindakan atau konflik merupakan a type of behavior seperti yang dikemukakan oleh M. Afzalur Rakhim. Maka, konflik sosial dalam tesis ini adalah konflik sebagai a type of behavior dalam entitas sosial; konflik yang terjadi baik antar individu, di dalam atau antar kelompok ataupun organisasi yang terjadi dalam dimensi sosial sebagai sebuah proses sosial. Dalam tesis ini, konflik juga sebagai situasi (situation). Konflik sebagai a type of behavior karena merupakan life experience masyarakat Bima, sedangkan konflik sebagai situasi karena merupakan narasi yang direproduksi terus-menerus.

Lewis A. Coser mendefinisikan konflik sosial sebagai pertentangan atau perjuangan yang bersifat langsung dan disadari antara individu atau kelompok untuk memperoleh pengakuan status, kekuasaan, pengaruh dan sumber daya. Pada saat yang sama masing-masing pihak yang bertentangan berusaha melenyapkan pengaruh dan kekuasaan pihak lawannya (Achmad Fedyani Saefuddin 1986:VI-VII).

Bagi Simmel (1904), konflik adalah agen yang paling penting dalam membangun ego identitas dan otonomi yang menjadi pembeda antara dirinya atau kelompoknya dengan dunia luar sehingga konflik sangat membantu penyatuan identitas (Lewis A. Coser 1964:33).

Dalam hal ini, konflik diyakini dapat mengatur batas-batas antara kelompok dalam sistem sosial dengan memperkuat kesadaran kelompok atas keterpisahan mereka dengan kelompok luar, kemudian membangun identitas kelompok dalam sistem sosial. Saling tolak (reciprocal ‘repulsions’) antara kelompok mampu mempertahankam sistem sosial secara keseluruhan (a total social system) dengan membuat suatu keseimbangan di antara berbagai kelompok yang ada. Misalnya, konflik antara kasta-kasta di India yang mungkin membuat pemisahan dan pembedaan berbagai kasta, tetapi juga memastikan stabilitas struktur sosial masyarakat India secara keseluruhan.

Simmel juga mengatakan bahwa suatu perselisihan, perbedaan di dalam (kelompok) dan kontroversi di luar (kelompok) terbungkus di dalamnya berbagai elemen yang ujungnya membuat kelompok terus bersama dalam kesatuan. Baginya, permusuhan tidak hanya mencegah hilangnya batas-batas dalam kelompok, tetapi juga membuat kelas-kelas dan individu-individu yang ada dalam kelompok saling mengisi posisi yang tidak pernah ditemukan jika tidak ada permusuhan (George Simmel 1955:17-18)

Artinya, ada dinamika dalam konflik yang mampu menggerakkan sistem dan struktur sosial dalam masyarakat, baik dalam internal kelompok maupun dengan kelompok luar.

Coser juga melihat konflik dapat merupakan proses yang bersifat instrumental dalam pembentukan, penyatuan dan pemeliharaan struktur sosial. Munculnya konflik, menurut Coser, sebagai sinyal bahwa sebenarnya struktur sosial sedang menyesuaikan diri dengan perubahan kondisi (Rulas Lebardo 2002:10).

Menurut Coser, pembeda antara kami, kelompok kami (the we-group) atau dalam internal kelompok (in-group) dengan orang luar atau kelompok-kelompok lain, kelompok-kelompok luar (out-groups) hanyalah dalam atau melalui konflik. Fungsi positif konflik yang memperkuat struktur dapat terlihat pada saat suatu kelompok sedang mengalami konflik dengan orang luar atau kelompok luar. Kelompok dalam satu strata atau kasta akan terikat dalam satu solidaritas yang kuat akibat permusuhannya atau penolakannya terhadap anggota strata atau kasta yang lain. Dalam hal ini, hierarki posisi kelompok tetap dipertahankan sebagai respon atas penolakan dengan kelompok-kelompok lain tersebut (Coser 1956:35).

Konflik di Bima terjadi dengan kelompok atau kampung lain yang masih memiliki hubungan kekerabatan, baik hubungan kekerabatan dalam ikatan genealogis sebagaimana a kindred category Roger M. Keesing, maupun ikatan kekerabatan sosial (social ties) seperti hubungan pernikahan. Namun, kindred category dalam masyarakat Bima mengalami dinamika bersama konflik yang eksis di masyarakat karena ada permasalahan kekerabatan seperti unfixed identity of kinship, aloofness of kinship dan sebagainnya yang dibahas dalam tesis ini.

 

Metode Penelitian

Dalam penelitian tentang konflik dalam kekerabatan di Bima, subyek penelitian dalam tesis saya adalah masyarakat pelaku tawuran antar kampung yang mengalami langsung proses terjadinya tawuran dan juga orang-orang tua (sesepuh, tokoh masyarakat dan sebagainya) yang berpengalaman menghadapi konflik.

Selain pelaku tawuran, subyek penelitian ini yaitu masyarakat Bima secara umum yang mengetahui bagaimana proses dan dinamika tawuran antar kampung, mengetahui sistem dan pola-pola konflik yang terjadi dan mengetahui bagaimana identitas kolektif dan tindakan kolektif berbentuk tawuran itu terjadi, serta orang yang mengetahui sejarah dan genealogi terjadinya tawuran antar kampung.

Karena fenomena tawuran antar kampung belum diketahui akar permasalahannya dalam situasi konflik yang sangat kompleks, maka pengumpulan data yang saya lakukan yaitu dengan metode etnografi (penelitian etnografi). Penelitian etnografi dilakukan untuk memperoleh data etnografi yang merupakan hasil pengamatan terhadap situasi ‘alamiah’ atau aktual yang terjadi dalam tawuran antar kampung di Bima. Umumnya penelitian etnografi, penulis melihat secara utuh dan seobyektif mungkin apa yang sebenarnya terjadi pada fenomena tawuran tersebut dengan meminimalisir asumsi-asumni penulis pribadi.

Selain melakukan pengamatan langsung (observasi) dengan metode induktif, penulis melakukan berbagai wawancara mendalam (deep interview) dan observasi partisipasi (participant observation) yang melibatkan informan dan juga mengumpulkan data dokumentasi yang berkaitan dengan fenomena tawuran tersebut.

Dalam penelitian lapangan di Bima, penulis menggunakan cara deskripsi, yakni cenderung bertanya “bagaimana” tentang proses dan terjadinya fenomena tawuran tersebut sehingga penulis bisa mengungkapkan secara rinci jejaring relasi dan proses interaksi sosial yang melingkupi atau melatarbelakangi fenomena tawuran antar kampung berdasarkan penjelasan para informan.

Selain analisis deskriptif, penulis juga menggunakan pengalaman (life experience) penulis sebagai bagian dari analisa permasalahan. Maka, studi ini merupakan kolaborasi dari deskripsi hasil pengamatan langsung dan refleksi autobiografi penulis sendiri.

Oleh karena itu, dalam proses penelitian tersebut, penulis mengharapkan tercapainya inferensi kausal untuk melihat secara jernih hubungan-hubungan kondisional yang terjadi dalam proses dan terjadinya tawuran antara kampung di Bima. Penelitian ini diharapkan mampu menemukan struktur tersembunyi (hidden structure) yang ada dalam masyarakat yang mengatur pola konflik dalam kekerabatan di masyarakat Bima.

Setting penelitian dalam melihat tawuran antar kampung ini yaitu di Kabupaten dan Kota Bima; antara lain di rumah penduduk, di tempat tongkrongan anak muda (pinggir jalan, balai-balai, persimpangan jalan, gang dan lain-lain), di tempat keramaian (pertandingan bola, voli, pesta dangdutan, organ tunggal dan lain-lain) yang mempertemukan masyarakat antar kampung, di tempat terjadinya perkelahian dan tawuran, di terminal bus, di sekolah dan kampus, di kendaraan tradisional (andong) dan bus antar desa, antar kecamatan dan antar kabupaten-kota. Maka, penulis bisa mendapatkan perspektif utuh dari berbagai kalangan masyarakat terhadap persoalan tawuran antar kampung yang terjadi di Bima.

Untuk memperoleh data dan pemahaman komprehensif, penulis melakukan penelitian selama empat bulan di Bima (bulan Februari-Mei 2015), termasuk menggali perspekstif dari wilayah lain seperti Lombok dan Mataram sebagai ibukota NTB.

 

Hasil Penelitian

Sistem kekerabatan di Bima berbasis klan dengan sistem bilateral dan menggunakan garis keturunan bapak (patrilineal). Berbasis klan karena garis keturunan berdasarkan strata dan kategori tertentu. Ada beberapa kategori strata sosial di Bima berdasarkan garis keturunan yaitu keturunan Ruma, Dae, Ama, Aba, Uba, Pua, Ince, Teta, Lalu dan Muma.

Dae adalah keturunan bangsawan kerajaan Bima. Tingkat kebangsawanan orang berketurunan Dae disebut Rato sehingga ada istilah ‘Ruma ra Rato’. Artinya, orang berketurunan bangsawan totok. Ruma adalah kasta tertinggi yang merupakan keturunan langsung dari raja/sultan dan tingkat kedua adalah Rato.

Untuk rakyat yang tidak memiliki darah bangsawan, tetapi memiliki jabatan di kerajaan Bima biasanya dipanggil (berklan) Uba. Selain pejabat kerajaan, Uba adalah orang-orang yang memiliki keahlian khusus yang dibutuhkan kemampuannya oleh kerajaan. Keturunan rakyat biasa adalah Ama (laki-laki) dan Ina (perempuan). Ama dan Ina adalah klan asli keturunan Bima yang dahulu bermukim di Desa Donggo tanpa campuran dari luar. Termasuk Baba yang merupakan golongan rakyat biasa. Biasanya, mereka adalah petani dan nelayan.

Sementara para pendekar dan mubalig yang mengawal kepulangan Sultan Abdul Kahir dari Makassar ke Bima (tahun 1605) merupakan orang Melayu berjulukan datuk. Orang-orang Melayu itulah asal-muasal keturunan (klan) Ince (encik) di Bima.

Klan Pua yang berasal dari Bugis (Kasta bangsawan, ‘Puang’ dalam bahasa Bugis) tidak memiliki prestige di Bima. Ketika mereka datang ke Bima sebagai pedagang, maka mereka hanya orang biasa, bukan bangsawan. Pua di masyarakat Bima yaitu orang-orang asal Bugis yang menetap di wilayah pesisir seperti Karumbu, Sape dan lain-lain. Begitu pula dengan klan istimewa orang Lombok; klan Lalu merupakan keturunan bangsawan di Lombok, tetapi di Bima tidak dipandang sebagai klan yang lebih istimewa dari Dae. Dalam hal ini, nilai prestige suatu klan tergantung dari kedudukan mereka di istana Kerajaan Bima.

Secara horizontal, masyarakat Bima terbagi atas sejumlah ‘dari’ yang berjumlah 44 (Henri Chambert-Loir dan Siti Maryam R. Salahuddin, 2002).[1] Dari empat puluh empat dari yang memiliki hubungan dengan sultan, gelar Lalu dan Teta diperoleh dari kedudukannya di istana. Lalu adalah keturunan panglima perang, sedangkan Teta adalah keturunan abdi dalem istana.

Selain Teta, Ince, Lalu dan Pua, salah satu klan keturunan yang berasal dari luar (orang asing) yaitu Aba. Aba adalah orang Bima keturunan Arab atau Arab Melayu. Pasangan Aba adalah Umi, tetapi jika belum naik haji, orang Bima tidak akan pernah memanggil Umi. Kecuali memang di lingkungan keluarga Arab sendiri. Panggilan umum untuk orang Bima keturunan Arab adalah Habe.

Ada juga panggilan khusus untuk orang yang sudah naik haji yaitu Abu (laki-laki) dan Umi (perempuan). Panggilan Abu hanya diperuntukkan bagi orang-orang yang sudah naik haji, kalau belum naik haji tidak boleh. Abu dan Umi tidak bisa diwariskan, hanya sebagai titel. Titel haji sangat dihormati di Bima sehingga setiap orang yang sudah naik haji harus dicantumkan ‘H’ (haji) di depan namannya, jika tidak, yang bersangkutan akan marah. Namun, klan keturunan tetap melekat pada setiap orang. Orang berketurunan bangsawan tidak mau melepas statusnya, biasanya titel haji dan panggilan klannya digabung misalnya Muma Haji, Dae Haji, Teta Haji dan lain-lain. Orang yang berketurunan Ama/ Baba akan mengalami peningkatan status ketika sudah menyandang gelar haji (Abu). Mereka tidak lagi dipanggil Ama/ Baba, tetapi dipanggil Abu/ Aji/ Haji.

Seluruh orang Bima berada dalam kategori garis keturunan (klan). Orang yang berketurunan Dae harus dipanggil Dae. Orang yang berketurunan Dae akan marah jika tidak dipanggil dengan Dae. Walaupun ada penyimpangan yang terjadi dalam kategori klan, kontrol sosial bekerja dalam menstruktur dan meluruskan identitas klan di masyarakat.

Saya sendiri adalah keturunan klan Dae (saya tidak mengetahui garis keturunan saya sampai ke Raja Bima yang mana), yang jelas, semua saudara yang memiliki hubungan darah dengan ayah saya berjulukan Dae. Keturunan ayah saya menyebar di Kecamatan Woha dan beberapa kecamatan lainnya. Semua orang yang bermukim di desa saya (Desa Rabakodo) memiliki riwayat keturunan yang sama dengan ayah saya, kecuali para pendatang. Maka, saya pun dipanggil Dae Lia (Mulyadin; nama panggilan Lia) oleh orang-orang di kampung saya.

Panggilan nama berdasarkan klan masih tetap kuat sampai sekarang di Bima, walaupun tinggi atau rendahnya klan seseorang tidak berbanding lurus dengan kemasyuran atau kekayaan yang dimiliki. Namun, tingginya klan memiliki nilai kewibawaan tersendiri yang tidak dapat diraih secara materi. Dalam perkawinan, mencari bibit, bebet dan bobot seseorang atas latar belakang klan masih sangat diperhatikan.

Lantaran kuatnya sistem klan tersebut, maka berpotensi menjadi konflik sosial di dalam masyarakat. Konflik lahir sebagai pertentangan atau perjuangan individu atau kelompok untuk memperoleh pengakuan status atas klan superior mereka yang berujung pada hasrat merebut pengaruh di masyarakat. Sementara klan biasa akan berusaha memantapkan kekuasaan dan penguasaan terhadap sumber daya untuk tetap bisa bersaing. Pada saat yang sama masing-masing pihak yang bertentangan berusaha melenyapkan pengaruh dan kekuasaan pihak lawannya seperti yang dijelaskan oleh Lewis A. Coser. Dalam memantapkan dan melenyapkan pengaruh itulah sesungguhnya konflik eksis di antara individu dalam masyarakat Bima.

Konflik antar individu tersebut menjadi penyumbang terjadinya konflik antar kelompok atau tawuran antar kampung. Konflik yang terjadi terus menerus dalam skala individual akan membentuk struktur konflik di masyarakat. Artinya, pertentangan-pertentangan yang terjadi menjadi jejaring relasi dan interaksi yang melatarbelakangi konflik sebagai fenomena partikular pada tempat dan waktu tertentu (di Bima).

Dalam hubungan kekerabatan, bagi orang Bima, kerabat adalah orang yang memiliki hubungan darah, sementara hubungan kekerabatan atas ikatan perkawinan memiliki batas tertentu. Banyak kasus dimana kerabat atas ikatan pernikahan ataupun kerabat satu kakek-nenek yang tidak saling mengenal satu sama lain karena berbeda kampung. Jangankan menjalin keintiman untuk mencurahkan kasih sayang dengan kerabat, saling kenal juga tidak. Maka, ketika ada persinggungan, tidak heran antara kerabat saling menyerang dan bahkan saling membunuh.

Hubungan kekerabatan atas ikatan pernikahan terputus sampai kepada mereka yang menjadi pasangan kerabat kita (misal suami/istri sepupu atau bahkan suami/istri saudara kadung), sementara kerabat mereka tidak masuk menjadi bagian keluarga dalam lingkaran kekerabatan kita. Misalnya, hubungan saya dengan kakak saya satu bapak bernama Ismail (Dae Mo’i). Saya hanya mengenal istri Dae Mo’i, tidak mengenal sama sekali siapa saja kerabat istrinya tersebut. Begitu juga dengan kerabat suami/istri kakak kandung saya yang lain, tidak terjalin keintiman, bahkan tidak saling mengenal.

Definisi kekerabatan juga saya dapatkan ketika saya berbincang dengan Ua Hajijah (kakak perempuan ayah saya). Ua menceritakan kondisi anak saudara suaminya yang sedang sakit, sekilas saya mendengar bahwa orang yang diceritakannya itu (si A) adalah anak saudara kakek saya. Lantas saya menawarkan diri untuk berkunjung ke rumah si A bersamanya, ua pun mengiyakan. Namun, ketika perbincangan berselang, ua berkata, “Boleh saja berkunjung, tapi si A itu orang lain (bukan kerabat saya).” Saya kemudian sadar bahwa si A yang ua ceritakan itu adalah kerabat dari suaminya, artinya saya tidak memiliki hubungan kekerabatan dengannya. 

Pada saat saya wawancara, banyak orang Bima menjelaskan arti hubungan kekerabatan. Mereka menyebut bahwa sesama Islam adalah saudara, bahkan sesama manusia adalah saudara karena lahir dari keturunan yang sama yaitu Adam dan Hawa, apalagi hubungan saudara karena pernikahan. Mereka meyakini hal itu, tetapi tidak menjalin hubungan sebagaimana ungkapan tersebut. Mereka menyebut bahwa sentimen identitas kampung mengalahkan keyakinan mereka terhadap hubungan kekerabatan yang mereka miliki karena memang ada persoalan dalam kekerabatan mereka.

Persolan dalam sistem kekerabatan orang Bima yaitu unfixed identity of kinship  atau identitas kekerabatan yang tidak tepat atau ambigu. Ada kesalahan atau ketidaktepatan dalam menempatkan identitas dalam kekerabatan. Seolah-olah identitas kekerabatan itu tidak penting sehingga bisa diubah atau diposisikan tidak tepat.

Persoalan kedua adalah Aloofness of Kinship (kerenggangan dalam hubungan kekerabatan). Masyarakat Bima antar kampung memang bersaudara, tetapi tidak menyadari hubungan persaudaraan antara mereka. Walaupun mengetahui ada hubungan kekerabatan satu sama lain, tetapi ada kerenggangan dalam kekerabatan tersebut.

Oleh karena itu, ketika ada pertentangan-pertentangan di masyarakat yang berujung pada percekcokkan, perkelahian dan tawuran antar kampung, sesungguhnya terjadi dalam kekerabatan. Hubungan kekerabatan atas dasar perkawinan tidak terlalu dipertimbangkan sebagai keluarga, begitu juga dengan kerabat yang atmosfir keintimannya kurang, tidak menghalangi mereka untuk saling menyerang, saling melukai, bahkan saling membunuh.

Konflik di Bima terjadi dalam hubungan kekerabatan baik yang disadari ataupun tidak disadari secara personal oleh anggota masyarakat. Saya menyebut ‘tidak disadari secara personal’ karena secara kolektif atau secara umum masyarakat Bima menyadari bahwa mereka bersaudara. Selain itu, identitas kampung lebih dijunjung tinggi daripada hubungan kekerabatan antara mereka.

Di Bima, konflik sudah terjadi sejak lama dan terus terjadi. Berkonflik dan melakukan tindakan kekerasan menjadi suatu kebiasaan dalam kebudayaan masyarakat Bima. Kebiasaan berkonflik dan melakukan tawuran antar kampung di Bima disebabkan oleh berbagai hal seperti sering adanya perkelahian di tempat keramaian pertandingan atau perlombaan olahraga, persinggungan di tempat hiburan malam (band, organ tunggal, dangdutan), gesekan saat pesta minuman keras atau judi dan sebagainya, selain adanya akar tradisi ndempa di masyarakat, kebiasaan kawin lari, konflik dalam perebutan warisan, ditambah dengan kondisi masyarakat yang tidak sadar hukum (unconsciousness under the law) dan sebagainnya.

Artinya, konflik sudah menjadi narasi yang terbentuk dari perilaku konflik atau tindakan kekerasan yang terus-menerus terjadi dalam masyarakat. Narasi itu menjadi gambaran konflik yang sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat sejak lama. Narasi itu pula menjadi acuan bagi terjadinya konflik berikutnya sampai pada batas mana narasi itu eksis. Selama narasi itu menjadi ingatan kolektif, maka perilaku masyarakat akan dipengaruhi oleh memori konflik tersebut ketika terjadi persinggungan di masyarakat.

Meminjam ‘jejaring makna’ Clifford Geertz (1973:5) bahwa konflik yang terjadi di Bima bisa menjelaskan perilaku masyarakat sebagai sebuah jendela untuk melihat kebudayaan masyarakat Bima. Tawuran antar kampung adalah ‘teks’ yang menjelaskan totalitas kumulasi sejarah atas perilaku masyarakat yang terjadi terus-menerus dari waktu ke waktu.

Narasi tentang konflik yang terus diregenerasi dalam interaksi sosial masyarakat merupakan ‘jejaring makna’ dalam kebudayaan masyarakat Bima. Perilaku konflik menjadi bagian dari terumbu karang sebagai ‘deposit’ yang terakumulasi terus-menerus dalam kehidupan sebagai bagian dari kebudayaan masyarakat Bima sebagaimana konsep kebudayaan Roger M Keesing (1994:301-310).

Karena merupakan bagian dari kebudayaan dan menjadi kebiasaan turun-temurun, konflik (tawuran antar kampung) memiliki relevansi dengan struktur. Konflik dan kekerasan dari waktu ke waktu melekat kuat dalam memori masyarakat dan menjadi deep structure masyarakat Bima. Struktur tersembunyi itu merupakan suatu kenyataan yang berada dalam kronologi-kronologi tindakan yang berdialektika dengan kesadaran dalam proses kehidupan atau kebudayaan masyarakat.

Seperti yang dijelaskan oleh Alfred Schmidt, ia tidak setuju sejarah atau narasi tindakan itu merupakan kemauan sadar manusia, tetapi ada kondisi-kondisi yang mengekang atau memaksa (constrain) orang dalam tindakan-tindakan tersebut. Menurutnya, sejarah adalah kemauan sadar manusia yang berdialektika dengan struktur. Ada banyak hal yang dilakukan oleh individu-individu dalam kehidupannya sehari-hari tanpa kesadaran historis atas tindakan mereka.[2]

Menurut Claude Levi-Strauss, sejarah memang harus dialektik, tetapi tidak merupakan sesuatu yang sadar. Sejarah berdasarkan narasi yang sesuai dengan kemauan orang, bagi Strauss, adalah ilusi. Strauss menghendaki kebudayaan sebagai bagian dari alam sebagai totalitas kesadaran dan dialektika struktur.[3]

Oleh karena itu, menurut saya, kebiasaan konflik yang terjadi di Bima merupakan buah dari narasi konflik yang diregenerasi dan diproduksi secara sadar oleh masyarakat, sekaligus dialektika struktur tersembunyi (deep structure) masyarakat Bima dalam realitas kehidupan mereka sehari-hari. Lantaran adanya narasi konflik dan deep structure tersebut, masyarakat secara sadar melihat narasi konflik dan secara tidak sadar dikendalikan oleh struktur tersembunyi yang meyakinkan mereka tentang hubungan konflik dengan kampung tetangga mereka.

Selain itu, kebiasaan konflik lahir dari struktur kekerasan yang hadir terus-menerus dalam kehidupan masyarakat Bima sebagaimana diskursus historis Kenneth M. George (1996:1-20) tentang kekerasan yang merupakan hasil reproduksi terus-menerus secara diakronik oleh masyarakat Pengunungan Mambi Sulawesi Selatan.

Berdasarkan keterangan Kenneth, kekerasan yang biasa dilakukan oleh orang-orang Mambi yang merupakan pengayau terus diproduksi menjadi budaya masyarakat setempat hingga saat ini. Para pengayau menciptakan konflik dengan cara yang sangat buas pada waktu lampau. Namun, orang Mambi sudah lama menyimpan dan menyingkirkan senjata-senjata para pengayau lama itu, tetapi kekerasan yang dipraktekkan oleh para pengayau tetap diingat sebagai bagian dari budaya masyarakat.

Artinya, ada riwayat kekerasan yang menjadi ‘narasi’ dalam kebudayaan masyarakat Mambi Sulawesi Selatan sebagaimana kekerasan (dalam konflik) yang menjadi kebiasaan masyarakat Bima Nusa Tenggara Barat. Mengakarnya kebiasaan berkonflik di masyarakat Bima berangkat dari sejarah dan memori perang melawan penjajah, kebiasaan ndempa, konflik dalam perebutan warisan, budaya kawin lari dan sebagainnya.

Selain beberapa instrumen penyebab konflik seperti yang saya sebutkan di atas, dalam penelitian di Bima, saya menemukan banyak pemicu konflik yang menggerakkan tawuran antar kampung, yaitu kuatnya sentimen identitas dan solidaritas kampung, kesadaran mereka atas kelemahan lawan, adanya masalah penegakan hukum, ketidakpercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum, ketidakberanian aparat melakukan penindakan dan sebagainya.

Persoalan apa pun yang ada menjadi semakin pelik karena banyaknya pengangguran dan kenakalan remaja, selain karena kerasnya watak orang Bima, adanya degradasi moral yang terjadi pada generasi muda, juga karena rendahnya Sumber Daya Manusia (SDM). Secara politik, pemicu konflik biasanya karena ada provokasi, kontestasi politk, inkonsistensi pemerintah dan juga karena persoalan eksploitasi Sumber Daya Alam.

Salah satu penyebab konflik di Bima yaitu kuatnya sentimen identitas antar kampung. Orang Bima merasa bangga dengan kampung sendiri dan meremehkan kampung lain. Kampung tempat mereka tinggal dipandang lebih superior, lebih hebat, lebih kuat dan sakti dari kampung lainnya. Ketika terjadi percekcokan atau perkelahian dengan anggota kampung lain, identitas kampung dikoordinir menjadi solidaritas melawan identitas kampung lain tersebut.

Identitas kampung dikonstruksi dari perbedaan walaupun perbedaannya sangat kecil. Bahkan, perbedaan itu selalu dicari dan dikonstruksi menjadi identitas berbeda dengan kampung lainnya. Identitas itu saya sebut sebagai constructed identity yaitu identitas konstruktif yang menjadi sentimen identitas sebagaimana tesis Tania Murray Li yang mengatakan bahwa identitas-identitas itu sesungguhnya dikonstruksikan melalui perbedaan dan lahir dari relasi individu dengan ‘the other’. Sentimen identitas terbentuk dari kesadaran atas perbedaan yang nyata dengan the other (Tania Murray Li, 2000).

Identitas kolektif itu terbentuk melalui proses panjang dalam kehidupan masyarakat setempat. Ada pola-pola berdasarkan status dan peran masyarakat yang melahirkan identitas kolektif yaitu pola primordial seperti yang disebutkan oleh Eisenstadt (Zulfahmi 2003:14). Identitas kolektif hadir begitu saja, kemudian dikonstruksi terus-menerus dalam kesadaran primordialitas masyarakat yang hidup dalam satu kampung. Mereka sadar bahwa dalam satu kampung mereka adalah saudara yang menjadi kekuatan kolektif mereka untuk mencintai dan menjaga kampung melebihi apapun yang berada di luar kampung mereka. Menjunjung tinggi dan membela nama kampung adalah sebuah keniscayaan, bahkan rela mati demi superioritas identitas kampung.

Namun, satu hal yang saya temukan di Bima yaitu solidaritas tidak semata-mata lahir dari konstruksi sosial dari batasan-batasan (boundaries) yang dibentuk oleh pembedaan antara kita (us) dan orang lain (others), tetapi solidaritas yang muncul di Bima lebih karena desakan atas ancaman yang membahayakan hidup mereka dalam kelompok (kampung).

 

Kesimpulan

Ada beberapa hal yang mejadi kesimpulan dari hasil penelitian saya tentang konflik dalam kekerabatan di Bima, sekaligus sebagai jawaban atas pertanyaan penelitian saya, yaitu sebagai berikut :

1.    Konflik di Bima terjadi karena ada persoalan dalam sistem kekerabatan di masyarakat. Persoalan dalam kekerabatan muncul akibat persinggungan dalam upaya mendapatkan, mempertahankan, menghilangkan atau pertarungan prestige strata sosial dalam klan, selain sempitnya batas kekerabatan, renggangnya hubungan kekerabatan (aloofness of kinship) dan identitas kekerabatan yang tidak tepat atau ambigu (unfixed identity of kinship).

Konflik sering terjadi dalam hubungan kekerabatan dalam ikatan perkawinan karena tidak saling mengenal satu sama lain ataupun jika saling mengenal tidak dipandang sebagai hubungan yang mampu menghentikan konflik yang terjadi. Berangkat dari ketidakpedulian dalam memposisikan diri dalam kekerabatan, membuat orang Bima cepat melupakan kerabat yang sudah jauh. Akibatnya, konflik dalam kekerabatan bisa terjadi kapan pun dengan orang yang tidak disadari sebagai kerabat mereka atau berkonflik dengan orang-orang yang tidak dipandang memiliki kedudukan penting (intim) dalam garis kekerabatan mereka.

Ada satu hal penting yang menjadi konklusi dari penelitian saya di Bima dan menjadi intisari dari berbagai persoalan yang menyebabkan terjadinya konflik dalam kekerabatan berupa tawuran antar kampung yaitu konflik menjadi bagian dari kebudayaan masyarakat Bima yang lahir dari kebiasaan dan pengalaman turun-temurun. Dengan kata lain, konflik dan tawuran adalah buah dari struktur yang ditransformasikan melaui life experience masyarakat Bima.

2.    Kesejarahan konflik di Bima berangkat dari semangat perjuangan masyarakat dalam perang melawan penjajah seperti Perang Ngali, Perang Rasa Nggaro, Perang Dena, Perang Donggo dan lain-lain. Sejarah itu menjadi ingatan kolektif bagi masyarakat Bima sebagai dasar keberanian dan superioritas keperkasaan yang melekat pada kampung mereka. Keperkasaan itu diwariskan dalam arena adu fisik (perkelahian) berbentuk ndempa.

Ketika ndempa dilarang oleh pemerintah orde baru, akibatnya, masyarakat menyalurkan energi (inner energies) yang hanya dapat dipuaskan melalui perkelahian dengan tawuran antar kampung. Tawuran antar kampung bukan merupakan transformasi langsung dari ndempa, tetapi ndempa menjadi narasi tentang perkelahian yang pernah terjadi sebelumnya yang hadir ketika ada gesekan antar kampung. Gesekan antar kampung itu disebabkan oleh banyak hal yang terjadi di masyarakat yang menggerakkan tawuran antar kampung.

Selain itu, banyak perubahan kondisi yang mempengaruhi konflik di Bima seperti hilangnya beberapa tradisi dan berbagai ritual keagamaan di masyarakat, perubahan tren sistem klan dari orientasi hierarki klan menjadi orientasi materi dan penguasaan terhadap sumber daya, perubahan kondisi dalam kebiasaan kawin lari yang dahulunya masih menjunjung tinggi etika dan moral kepada kawin lari yang mengabaikan nilai-nilai dalam masyarakat, perubahan kondisi dari perkelahian tangan kosong menjadi perkelahian menggunakan senjata tajam, panah beracun dan senjata api, serta berbagai perubahan kondisi lainnya.

Secara kolektif, peristiwa-peristiwa konflik itu membentuk pola pikir konflik dalam masyarakat yang biasa merasakan atau menyaksikan peristiwa tersebut. Sebuah struktur sosial yang terbentuk dari perilaku konflik yang terjadi terus-menerus secara akumulatif.

3.    Pengalaman konflik dan kekerasan yang terjadi dari waktu ke waktu menjadi ingatan kolektif bagi masyarakat Bima. Ingatan kolektif itu berbentuk narasi yang direproduksi terus-menerus sebagai acuan bagi praksis pelanggengan konflik berikutnya.

Narasi tentang konflik bisa hadir dan direproduksi di masyarakat Bima karena adanya sentimen identitas spasial kampung yang sangat kuat. Kuatnya identitas kampung tidak hanya terjadi karena kesamaan pola pikir, pengalaman dan rasa persaudaraan sekampung, tetapi identitas itu hadir dan direproduksi ketika mendapatkan ancaman dari identitas kampung lain.

Identitas kampung yang terancam itu lebih utama daripada identitas kekerabatan yang terjalin dengan anggota kampung lawan atau euforia tawuran membela nama kampung mengalahkan kesadaran atas hubungan kekerabatan dengan anggota masyarakat kampung lawan. Sementara, narasi tentang kekerabatan tidak hadir dalam tawuran antar kampung, hanya narasi tentang konflik yang hadir sebagai dorongan semangat untuk mengalahkan kampung lawan.

 

Daftar Referensi

Buku-buku:

Baron, Robert A. (1990). Conflict in Organizations, dalam Kevin R. Murphy; Frank E. Saal, Psychology in Organizations: Integrating Science and Practice. United Kingdom: Psychology Press.

Chambert-Loir, Henri & Salahuddin, Siti Maryam, R. (2002). Bo’ Sangaji Kai: Catatan Kerajaan Bima, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Coser, Lewis A. (1956). The Functions of Social Conflict. New York: The Free Press.

Geertz, Clifford. (1973). The Interpretation of Cultures: Selected Essays. New York: Basic Books.

George, Kenneth M. (1996). Showing Signs of Violence: The Cultural Politics of Twentieth-Century Headhunting Ritual. United States: University of California Press.

Keesing, Roger M. (1975). Kin Groups and Social Structure, New York: Harcourt Brace Javanovich College Publisher.

Keesing, Roger M. (1994). Theories of Culture Revisited, Assessing Cultural Anthropology, ed. R. Borofsky. New York: McGraw-Hill.

Koentjaraningrat. (2009). Pengantar Ilmu Antropologi, Edisi Revisi 2009. Jakarta: Rineka Cipta.

Levi-Srauss, Claude. (1996). The Savage Mind, Bab 9: History and Dialectic. United States: The University of Chicago Press.

Li, Tania Murray. (2000). Articulating Indigeneous Identity in Indonesia: Resource Politics and Tribal Slot. Published by Institute of International Studies, University of California.

Nicholson, Michael. (1992). Rationality and the Analysis of International Conflict. New York: Cambridge University Press.

Rahim, M. Afzalur. (2010). Managing Conflict in Organizations. United States: Transaction Publishers.

Saefuddin, Achmad Fedyani. (1986). Konflik dan Integrasi: Perbedaan Faham dalam Agama Islam. Jakarta: Rajawali.

Schmidt, Alfred. (1981). History and Sructure. An essay on Hegelian-Marxist and structuralist theories of history. Translated by Jeffrey Herf. Cambridge, Mass.: MIT Press.

Simmel, George. (1955). Conflict, trans. Kurt H. Wolff. New york: The Free Press of Glencoe.

 

Skripsi, Tesis:

Lebardo, Rulas. (2002). Identitas Sosial Para Pelaku Konflik dalam Konflik Sosial antara Warga Bearland dan Palmeriam. Skripsi, Program Sarjana Universitas Indonesia, Depok.

Zulfahmi. (2002). Konflik Sosial di Lingkungan Ketetanggaan dan Penanganannya: Kasus Tawuran antar Kampung di Pegangsaan, Jakarta. Tesis magister, Program Pascasarjana Universitas Indonesia, Depok.

 

Sumber online:

http://dictionary.reference.com/browse/conflict

http://kbbi.web.id/konflik

[1] ‘Dari’ adalah kelompok masyarakat berdasarkan keturunan seperti sebuah marga. Setiap dari dikepalai oleh seorang anangguru dan mempunyai tugas khusus terhadap istana. Seluruhnya ada empat puluh empat dari. Para anggota satu dari bertalian sanak saudara, namun tersebar di seluruh kerajaan. Beberapa dari diwakili di setiap desa; kepala desa (gelarang) dipilih dari dari yang terbesar di desa masing-masing. Setiap dari mempunya lahan persawahan secara kolektif. Setiap orang Bima menjadi anggota satu dari, dengan pengecualian: a) para bangsawan tinggi bergelar Ruma; b) orang asing (Melayu, Bugis, Arab, dll); c) para dou Nggaro/Lewi yang dijadikan tukang kebun; e) para budak.

[2] Lihat Alfred Schmidt, History and Sructure. An Essay on Hegelian-Marxist and Structuralist Theories of History, translated by Jeffrey Herf. Cambridge, Mass.: MIT Press, 1981.

[3] Lihat Claude Levi-Srauss, the Savage Mind, Bab 9: History and Dialectic, The University of Chicago Press, 1996

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun