Mohon tunggu...
Mulyadin Permana
Mulyadin Permana Mohon Tunggu... Antropolog Universitas Indonesia -

Everything needs process, your process is your future

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Konflik Sosial dalam Kekerabatan : Kajian Antropologi Terhadap Tawuran Antar Kampung di Bima Nusa Tenggara Barat

7 Februari 2016   01:44 Diperbarui: 7 Februari 2016   02:28 887
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ada beberapa hal yang mejadi kesimpulan dari hasil penelitian saya tentang konflik dalam kekerabatan di Bima, sekaligus sebagai jawaban atas pertanyaan penelitian saya, yaitu sebagai berikut :

1.    Konflik di Bima terjadi karena ada persoalan dalam sistem kekerabatan di masyarakat. Persoalan dalam kekerabatan muncul akibat persinggungan dalam upaya mendapatkan, mempertahankan, menghilangkan atau pertarungan prestige strata sosial dalam klan, selain sempitnya batas kekerabatan, renggangnya hubungan kekerabatan (aloofness of kinship) dan identitas kekerabatan yang tidak tepat atau ambigu (unfixed identity of kinship).

Konflik sering terjadi dalam hubungan kekerabatan dalam ikatan perkawinan karena tidak saling mengenal satu sama lain ataupun jika saling mengenal tidak dipandang sebagai hubungan yang mampu menghentikan konflik yang terjadi. Berangkat dari ketidakpedulian dalam memposisikan diri dalam kekerabatan, membuat orang Bima cepat melupakan kerabat yang sudah jauh. Akibatnya, konflik dalam kekerabatan bisa terjadi kapan pun dengan orang yang tidak disadari sebagai kerabat mereka atau berkonflik dengan orang-orang yang tidak dipandang memiliki kedudukan penting (intim) dalam garis kekerabatan mereka.

Ada satu hal penting yang menjadi konklusi dari penelitian saya di Bima dan menjadi intisari dari berbagai persoalan yang menyebabkan terjadinya konflik dalam kekerabatan berupa tawuran antar kampung yaitu konflik menjadi bagian dari kebudayaan masyarakat Bima yang lahir dari kebiasaan dan pengalaman turun-temurun. Dengan kata lain, konflik dan tawuran adalah buah dari struktur yang ditransformasikan melaui life experience masyarakat Bima.

2.    Kesejarahan konflik di Bima berangkat dari semangat perjuangan masyarakat dalam perang melawan penjajah seperti Perang Ngali, Perang Rasa Nggaro, Perang Dena, Perang Donggo dan lain-lain. Sejarah itu menjadi ingatan kolektif bagi masyarakat Bima sebagai dasar keberanian dan superioritas keperkasaan yang melekat pada kampung mereka. Keperkasaan itu diwariskan dalam arena adu fisik (perkelahian) berbentuk ndempa.

Ketika ndempa dilarang oleh pemerintah orde baru, akibatnya, masyarakat menyalurkan energi (inner energies) yang hanya dapat dipuaskan melalui perkelahian dengan tawuran antar kampung. Tawuran antar kampung bukan merupakan transformasi langsung dari ndempa, tetapi ndempa menjadi narasi tentang perkelahian yang pernah terjadi sebelumnya yang hadir ketika ada gesekan antar kampung. Gesekan antar kampung itu disebabkan oleh banyak hal yang terjadi di masyarakat yang menggerakkan tawuran antar kampung.

Selain itu, banyak perubahan kondisi yang mempengaruhi konflik di Bima seperti hilangnya beberapa tradisi dan berbagai ritual keagamaan di masyarakat, perubahan tren sistem klan dari orientasi hierarki klan menjadi orientasi materi dan penguasaan terhadap sumber daya, perubahan kondisi dalam kebiasaan kawin lari yang dahulunya masih menjunjung tinggi etika dan moral kepada kawin lari yang mengabaikan nilai-nilai dalam masyarakat, perubahan kondisi dari perkelahian tangan kosong menjadi perkelahian menggunakan senjata tajam, panah beracun dan senjata api, serta berbagai perubahan kondisi lainnya.

Secara kolektif, peristiwa-peristiwa konflik itu membentuk pola pikir konflik dalam masyarakat yang biasa merasakan atau menyaksikan peristiwa tersebut. Sebuah struktur sosial yang terbentuk dari perilaku konflik yang terjadi terus-menerus secara akumulatif.

3.    Pengalaman konflik dan kekerasan yang terjadi dari waktu ke waktu menjadi ingatan kolektif bagi masyarakat Bima. Ingatan kolektif itu berbentuk narasi yang direproduksi terus-menerus sebagai acuan bagi praksis pelanggengan konflik berikutnya.

Narasi tentang konflik bisa hadir dan direproduksi di masyarakat Bima karena adanya sentimen identitas spasial kampung yang sangat kuat. Kuatnya identitas kampung tidak hanya terjadi karena kesamaan pola pikir, pengalaman dan rasa persaudaraan sekampung, tetapi identitas itu hadir dan direproduksi ketika mendapatkan ancaman dari identitas kampung lain.

Identitas kampung yang terancam itu lebih utama daripada identitas kekerabatan yang terjalin dengan anggota kampung lawan atau euforia tawuran membela nama kampung mengalahkan kesadaran atas hubungan kekerabatan dengan anggota masyarakat kampung lawan. Sementara, narasi tentang kekerabatan tidak hadir dalam tawuran antar kampung, hanya narasi tentang konflik yang hadir sebagai dorongan semangat untuk mengalahkan kampung lawan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun