Persoalan kedua adalah Aloofness of Kinship (kerenggangan dalam hubungan kekerabatan). Masyarakat Bima antar kampung memang bersaudara, tetapi tidak menyadari hubungan persaudaraan antara mereka. Walaupun mengetahui ada hubungan kekerabatan satu sama lain, tetapi ada kerenggangan dalam kekerabatan tersebut.
Oleh karena itu, ketika ada pertentangan-pertentangan di masyarakat yang berujung pada percekcokkan, perkelahian dan tawuran antar kampung, sesungguhnya terjadi dalam kekerabatan. Hubungan kekerabatan atas dasar perkawinan tidak terlalu dipertimbangkan sebagai keluarga, begitu juga dengan kerabat yang atmosfir keintimannya kurang, tidak menghalangi mereka untuk saling menyerang, saling melukai, bahkan saling membunuh.
Konflik di Bima terjadi dalam hubungan kekerabatan baik yang disadari ataupun tidak disadari secara personal oleh anggota masyarakat. Saya menyebut ‘tidak disadari secara personal’ karena secara kolektif atau secara umum masyarakat Bima menyadari bahwa mereka bersaudara. Selain itu, identitas kampung lebih dijunjung tinggi daripada hubungan kekerabatan antara mereka.
Di Bima, konflik sudah terjadi sejak lama dan terus terjadi. Berkonflik dan melakukan tindakan kekerasan menjadi suatu kebiasaan dalam kebudayaan masyarakat Bima. Kebiasaan berkonflik dan melakukan tawuran antar kampung di Bima disebabkan oleh berbagai hal seperti sering adanya perkelahian di tempat keramaian pertandingan atau perlombaan olahraga, persinggungan di tempat hiburan malam (band, organ tunggal, dangdutan), gesekan saat pesta minuman keras atau judi dan sebagainya, selain adanya akar tradisi ndempa di masyarakat, kebiasaan kawin lari, konflik dalam perebutan warisan, ditambah dengan kondisi masyarakat yang tidak sadar hukum (unconsciousness under the law) dan sebagainnya.
Artinya, konflik sudah menjadi narasi yang terbentuk dari perilaku konflik atau tindakan kekerasan yang terus-menerus terjadi dalam masyarakat. Narasi itu menjadi gambaran konflik yang sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat sejak lama. Narasi itu pula menjadi acuan bagi terjadinya konflik berikutnya sampai pada batas mana narasi itu eksis. Selama narasi itu menjadi ingatan kolektif, maka perilaku masyarakat akan dipengaruhi oleh memori konflik tersebut ketika terjadi persinggungan di masyarakat.
Meminjam ‘jejaring makna’ Clifford Geertz (1973:5) bahwa konflik yang terjadi di Bima bisa menjelaskan perilaku masyarakat sebagai sebuah jendela untuk melihat kebudayaan masyarakat Bima. Tawuran antar kampung adalah ‘teks’ yang menjelaskan totalitas kumulasi sejarah atas perilaku masyarakat yang terjadi terus-menerus dari waktu ke waktu.
Narasi tentang konflik yang terus diregenerasi dalam interaksi sosial masyarakat merupakan ‘jejaring makna’ dalam kebudayaan masyarakat Bima. Perilaku konflik menjadi bagian dari terumbu karang sebagai ‘deposit’ yang terakumulasi terus-menerus dalam kehidupan sebagai bagian dari kebudayaan masyarakat Bima sebagaimana konsep kebudayaan Roger M Keesing (1994:301-310).
Karena merupakan bagian dari kebudayaan dan menjadi kebiasaan turun-temurun, konflik (tawuran antar kampung) memiliki relevansi dengan struktur. Konflik dan kekerasan dari waktu ke waktu melekat kuat dalam memori masyarakat dan menjadi deep structure masyarakat Bima. Struktur tersembunyi itu merupakan suatu kenyataan yang berada dalam kronologi-kronologi tindakan yang berdialektika dengan kesadaran dalam proses kehidupan atau kebudayaan masyarakat.
Seperti yang dijelaskan oleh Alfred Schmidt, ia tidak setuju sejarah atau narasi tindakan itu merupakan kemauan sadar manusia, tetapi ada kondisi-kondisi yang mengekang atau memaksa (constrain) orang dalam tindakan-tindakan tersebut. Menurutnya, sejarah adalah kemauan sadar manusia yang berdialektika dengan struktur. Ada banyak hal yang dilakukan oleh individu-individu dalam kehidupannya sehari-hari tanpa kesadaran historis atas tindakan mereka.[2]
Menurut Claude Levi-Strauss, sejarah memang harus dialektik, tetapi tidak merupakan sesuatu yang sadar. Sejarah berdasarkan narasi yang sesuai dengan kemauan orang, bagi Strauss, adalah ilusi. Strauss menghendaki kebudayaan sebagai bagian dari alam sebagai totalitas kesadaran dan dialektika struktur.[3]
Oleh karena itu, menurut saya, kebiasaan konflik yang terjadi di Bima merupakan buah dari narasi konflik yang diregenerasi dan diproduksi secara sadar oleh masyarakat, sekaligus dialektika struktur tersembunyi (deep structure) masyarakat Bima dalam realitas kehidupan mereka sehari-hari. Lantaran adanya narasi konflik dan deep structure tersebut, masyarakat secara sadar melihat narasi konflik dan secara tidak sadar dikendalikan oleh struktur tersembunyi yang meyakinkan mereka tentang hubungan konflik dengan kampung tetangga mereka.