Ternyata benar. Baru selesai mandi dan hendak kembali ke kamar, nyeri kontraksi berganti sensasi lain. Kaki saya gemetar. Saya yang waktu itu sedang berdiri, merasakan bahwa lutut seolah spontan menekuk, sulit ditahan. Saya memutuskan  duduk di closet, dan pada saat itulah terasa seperti ada dorongan dari dalam, dan air hangat mengalir dari kedua selangkangan. Ketuban saya pecah.
Usai  membersihkan diri, saya kembali masuk ke kamar., dan mengatakan bahwa ketuban baru saja pecah. Mbak Yesie mengadakan pemeriksaan dalam, ternyata pembukaan sudah lengkap!
Waduh.. ternyata prosesnya berjalan lebih cepat dari yang saya bayangkan.
Teorinya kan, saya masuk kolam pada sekitar pembukaan 5 atau 6, supaya bisa merasakan rileksnya berendam di air hangat. Lah, ini... rileks juga... tau-tau pembukaan 5 dan 6 malah sudah terlewatkan.
Ternyata, memang (bisa) tidak perlu mengejan.. Â sama sekali!
Saya pun segera masuk ke kolam.
Mbak Yesie mempersilakan saya memposisikan diri dengan nyaman.
Begitu nyemplung, insting saya menuntun untuk mengambil posisi merangkak-berlutut sambil bersandar pada pinggiran kolam. Usai menyiapkan kamera, Mas ikut masuk ke kolam dan menempatkan dirinya di belakang saya, kembali mempraktikkan endorphin massage. Ia mengelus punggung dan memeluk saya dari belakang. Begitu damai, menenangkan.
Sekitar 5 menit setelah masuk kolam, perlahan-lahan saya merasakan kepala bayi mulai turun, turun..turun lagi… dan terasa menampakkan sebagian ujungnya di liang vagina (crowning). Saat itulah, demi kemudahan menerima bayi yang meluncur sebentar lagi, saya mengubah posisi, dari berlutut menjadi setengah duduk, dengan punggung bersandar pada pinggiran kolam.
Saat itu, kami membuktikan sendiri bahwa bayi ternyata punya kemampuan untuk keluar secara alami, sehingga saya tidak perlu mengejan, sama sekali.
Yang saya lakukan hanya bernapas dan terus berusaha rileks, karena semakin rileks, terasa sekali ia keluar semakin lembut. Bayi dan tubuh kita, bisa saling bekerjasama.