Bayi yang lahir secara lembut bahkan bisa bereaksi mirip orang yang baru saja bangun tidur; matanya membuka perlahan, raut wajahnya sangat tenang, sorot matanya pun hadir. Ia tetap menangis saat dilahirkan, namun tidak terdengar histeris.
Sementara bayi yang dilahirkan penuh intervensi dan berada dalam suasana panik, atau bising, umumnya menangis melengking dengan nada tinggi, seolah menunjukkan reaksi terkejut, marah, dan sedih.
Yang lebih memprihatinkan, bayi tersebut seringkali masih harus menerima rangkaian prosedur lagi; pemotongan tali pusat saat denyutnya belum berhenti, pembersihan saluran pernapasan menggunakan selang, langsung dimandikan, dipisahkan dari Sang Ibu, dan masih banyak lagi.
Saya juga baru tahu, bahwa teriakan memberi semangat yang dilakukan saat ibu bersalin, omelan, kecemasan dokter, bidan, suster, suami, ibu mertua, kesedihan, kelelahan yang dialami sang Ibu, semuanya bisa dirasakan oleh bayi, dan terekam kuat dalam pikiran bawah sadarnya, serta dibawa hingga dewasa.
Rupanya... water birth, yang semula menarik perhatian saya, “belum ada apa-apanya”.
Dia hanya sekadar metode.
Sementara hal prinsip yang mendasari proses kehamilan dan persalinan yang ramah jiwa dan minim trauma, yang sering disebut gentle birth (persalinan yang dilakukan secara santun, lembut, mengoptimalkan potensi tubuh Ibu, dan memposisikan ilmu pengetahuan serta kearifan alami secara seimbang) justru jarang diungkap.
Padahal, ia ingin mengembalikan manusia pada “fitrah”-nya, dengan kepercayaan bahwa setiap perempuan memiliki potensi untuk menjalani proses kehamilan dan persalinan dengan aman dan nyaman, serta menjadikan momen-momen tersebut sebagai sarana transformasi ke tingkat spiritual yang lebih tinggi. Asalkan, potensi yang sudah ada di dalam dirinya diberdayakan.
Jadi, esensi gentle birth ini BUKAN untuk menghindari rasa sakit.Sekadar mencari rasa nyaman.
Apalagi untuk gaya-gayaan.