"Itu seperti hadiah.Cara mereka menghormati pemilik rumah..." ayah terkekeh sendiri ketika aku bertanya sejak kapan kebiasaan orang-orang kapal itu.Tawanya seperti itu.Agak khas dengan jejer giginya yang rata.Raut gagahnya tetap meninggalkan kesan mendalam.
"Itu kebiasaan dari kampung yang mereka bawa.Seharusnya kita juga membalasnya dengan hadiah, tapi begitu, diajak ngobrol pun tak pernah lama.Jadi biasa saja.Mereka senang dapat berlabuh di sini."Kata ayah sambil membaca majalah terbitan bulan lalu.
***
"Mengapa mereka memanggil ayah Daeng?"Pertanyaan itu seperti batu apung.Terombang-ambing sesaat.
Beberapa lama ayah terlihat lebih fokus pada jembatan kayu yang dirajut darurat.Seperti tak mendengar pertanyaanku.Pagi itu kami melewati area perkampungan yang menjorok di tepi sungai Saliki.Di beberapa titik ruas permukiman ini hanya ditaut semeteran jalan yang hanya cukup bagi dua pejalan bersisian.
"Ayah tak pernah meminta dipanggil demikian, orang-orang itu sendiri." Rupanya ayah mendengar hanya saja ia terus memperhatikan setapak papan atau balok yang di sana-sini berlubang. Salah injak sedikit saja, minimal alas kaki yang bakal cemplung ke air berawa-rawa yang menggenangi seputaran kampung ini.
"Tapi kan..." Aku menggugatnya dari balik bahu ayah. Kami tak berjalan bersisian, selain jalur sempit, itu juga cara menghormati beliau.
"Yang nggak boleh itu, jika ayah yang meminta dipanggil Daeng. Meski itu  pantas saja." Beberapa orang yang kami lewati atau melewati terlihat membungkukkan badan.Atau terlihat melambai dari pintu rumah mereka.
"Dengan siapa Daeng..." seorang warga malah menambah daftar pertanyaanku. Pria dewasa yang sedang rehat di terasnya bergegas menyalami ayah.
"Ini dengan adikmu, baru datang dia..."
"Mampirki dulu Daeng..."