Aku tahu ayah kutu buku sejauh ini.Selain setumpuk majalah di ruang tamu rumahnya, beberapa judul buku tebal juga dikoleksi.Ia sepertinya tidak tinggal jauh dari Samarinda yang harus ditempuh beberapa dengan kapal motor klotok. Meski di pedalaman Kutai seperti ini ayah terus mengikuti perkembangan informasi.Ia pembaca surat kabar serius. Dapat membahas halaman demi halaman majalah terbitan Jakarta sambil ditemani kopi bubuk.
"Ayah sebenarnya menolak disapa begitu. Mereka tetap saja memanggil Daeng. Ayah tak membayar mereka kan..." ayah malah bercanda. Kami jadi tertawa. Selorong sirene tanda jam kerja bagi karyawan perusahaan di beberapa titik terdengar seperti salvo. Kapal besi yang hendak mengangkat sauh pagi itu pun membunyikan klakson saat ditarik pemandu.
"Di Mandar, Daeng itu sapaan bagi bangsawan raja atau keturunan mereka. Tapi rakyat bisa saja tak lagi menyapa mereka dengan sebutan Daeng bila mereka melanggar adat dan kebiasaan.Mungkin itu bentuk sanksi sosial bagi mereka yang pantas 'dipedaeng', tapi berperilaku tidak seperti layaknya daeng."
"Lalu ayah..."
"Nah itu.Yuk, kita balik ke rumah.Tuh Mamamu menunggu," telunjuk ayah dilencang ke arah rumah ulin itu.
Ada beberapa rumah warga yang menjorok ke sungai, juga jemuran yang menghalangi sebagian pemandangan, tapi dari tepi dermaga kecil yang sekaligus halaman rumah ayah, mama yang berkulit hitam manis itu dapat menemukan kami. Meski berdiri jauh ia terlihat girang menemukan kami. Mungkin ia telah menyuruh orang-orang mencari kami yang sejak bakda subuh keliling kampung.
Aku melihat seorang perempuan tinggi semampai dengan hidung mancung melambai-lambaikan tangan.Tutup kepalanya seperti hendak diterbangkan angin.Pagi mulai hangat.
Mama yang berdarah Bugis itu memanggil sarapan.Aku langsung membayangkan ikan bakar, sayur labu bersantan, dan sambal yang diulek di atas batu.
***
Seperti sore yang lalu.Hilir-mudik perahu bermotor terlihat sibuk di daerah aliran sungai Saliki. Ada yang baru kembali dari pekerjaan di tepi hulu atau tengah pergi ke tempat lain. Lalu-lalang yang dipandang dari dermaga milik ayah ini seperti kotak besar televisi, gambarnya beriak dan memiliki volume dari mesin-mesin tempel itu.
Sebuah kapal motor melaju beberapa tombak dari tepi dermaga. Dari jauh terlihat lambaian tangan berusaha lebih tampak sebab suara mesin kapal yang pekak.