tribunews.com
Kirman langsung memasukkan hp-nya ke kantong, sambil melihat ke arah Ambar istrinya yang sejak tadi mengawasi dengan penasaran. Â Bos-nya menelepon dari pool busway, tempatnya kerja empat tahun ini.Â
Ia sengaja menjauh dari istrinya yang sedari tadi merengek, menagih uang belanja, SPP  anak sulungnya yang duduk di bangku SMP sudah 3 bulan nunggak SPP.  Apalagi  Kirman sempat was-was, takut kalau-kalau ia ditelepon untuk dipecat, atau dipindah ke pool jadi tukang nyuci, gara-gara ikutan demo kemarin.
***
Barusan ia terima tawaran, mengambil alih rute yang biasa di pegang sohib sekerjanya di pool Busway, Simon, meskipun ia tak tega. Cuma tadi ia pikir, kalaupun nanti Simon balik ke belakang stir, toh sahabatnya sendiri yang menggantikan.Â
Semua gara-gara Simon menolak kerja 12 jam sehari, karena sang istri sedang hamil tua dan butuh teman karena sejak pindah dari Medan ke Jakarta, mereka cuma tinggal berdua. Ia harus rela pindah di pool jadi tukang cuci mobil. jadi tak ada sangkut paut dengan keahlian Simon nyetir. Â Ini soal manajemen yang tidak jelas.
Simon bukan orang baru di belakang stir, semua jenis perusahan taksi sudah dilakoni, semua aman-aman saja. Bari di Busway, perusahaan plat hitam punya pemerintah, ia kena batunya. ia mimpi juga jadi pegawai tetap, biar nggak jadi mainan "orang dalam" busway.
Bukan apa-apa, pegawai tetap dalam sangkaan idealismenya, pastilah punya gaji tetap, kerja pakai aturan jelas, dan pesangon, tunjangan, kartu sehat, dan pasti tak mudah goyah oleh makian para operator yang sok berkuasa.
Tapi kali ini ia memang apes, sial kutuknya, tapi sekali lagi demi istrinya yang tengah hamil tua anak pertama, jelas ia tak mau gegabah menuruti nafsu, melawan operator, bisa-bisa berakhir terlempar di jalanan.Â
Mengepit ijazah, cari lowongan. Hari gini mana ada yang mau terima ijazah SMA, kecuali jadi pekerja buruh harian. Beruntung Busway tak butuh ijazah tinggi, bisa jalan belakang, yang penting nurut, "kumaha juragan wae", biar dilirik operator.
***
"Dari siapa sih Mas", tanya istrinya, ketika suaminya kembali dari belakang rumah setelah menerima telepon. "Dari Busway-ada teman minta ganti sopir", jawabnya datar, raut mukanya susah ditebak. Istrinya tahu ada yang tak biasa.Â
"Jadi, kenapa malah lemes gitu, kan dapat obyekan'. Tanya istrinya penasaran.Â
Kirman cuma meringis, dan menimpali cepat, "tapi, Simon di tendang ke pool". "bisa apa Simon di pool!", orang biasa ngelus setir, disuruh ngepel bus".Â
"Itulah dik, biasalah, Mas pun kalau tak menurut apa kata me-re-ka, ia menyebut dengan sedikit tekanan, bisa bernasib sama dengan Simon".
***
Pagi sekali ia sudah bergegas, dari rumah ke pool kurang  lebih se-jam-an. Ia  melihat ke cermin, memelintir kumisnya yang tipis, dan memandang ke dalam kaca.Â
Gagah juga suaminya, pikir istrinya yang sudah berada dibelakangnya, "Mas sarapan dulu, jangan nanti lemas, terus pingsan, nanti pindah ke pool", katanya istrinya setengah bercanda. Â Sambil menggamit suaminya.
"Mas cocok jadi pejabat pakai baju begitu", kata istrinya sambil membetulkan kerah bajunya. "Ia, pejabat kelas cere, yang kerjanya disuruh-suruh", jawab Kirman ketus.Â
"Mendingan lah Mas daripada pejabat kelas kakap di gedung dewan pemerentahan yang kerjanya curi-curi mulu", Â istrinya cergas membalas.
Mereka saling senyum. Ambar menarik kursi untuk suaminya, menyendokkan makanan dan memberinya sepotong telur dadar  yang sudah dipotong empat bagian seperi biasa.
"Mas, apa SPP anak-anak bisa dibayar bulan ini?. Tanya Ambar duduk menemani suaminya makan. Sambil menyuap, Kirman mengangguk, "mudah-mudahan dik".Â
Ia melanjutkan makan, kali ini agak tergesa, karena ia tak mau telat. Bus yang ia pakai kali ini milik Simon. Untung Simon sopir jago, jadi kurang lebih sama dengan caranya  bawa mobil, gumam Kirman.
Coba kali si Jontor, yang bawa bus, sudah ugal-ugalan, suka ngasal kalau ngerem. Bikin mesin cepat aus. Ia mantan sopir angkot jalanan era sebelum Busway lahir. Bus bercat kuning bergaris biru hitam.Â
Bahkan ia pernah ngetem angkot. Ia pernah cerita, " begitulah aku dulu, waktu bawa angkot, dimana ada orang, ya berhenti, tak peduli  mau ramai, apa sepi, yang lain harus antri. Kan siapa didepan dia yang pimpin".
Macet ya macet, katanya asal jeplak.Â
"Berangkat dik", teriak Kirman dari depan rumahnya, sambil menstater motor, dan istrinya memburunya dari dalam, "salam dulu Mas", katanya, sedikit bungah karena suami dapat obyekan baru.
***
Kirman memarkir kereta bututnya di samping kereta hijau daun, Astuti-Astrea Tujuh Tiga, milik jSimon, ia cari-cari Simon tak kelihatan batang hidungnya jadi ia langsung mengambil kunci di petugas pool dan langsung ke bus.
Baru ia menarik pintu, di lihatnya Simon sedang bebersih. "Maan!, teriak Simon mendahuluinya. "Eh Mon, aku yang diminta ganti bawa mobil kau, gimana ceritanya?. Kirman berbasa-basi.Â
"Macam kaow tak tahu saja Man", Jangan macam-macam sama mobilku, nanti aku kudeta balik itu mobil". Katanya berseloroh.Â
"Sorry Mon, Â aku pinjem busnya, kata Kirman setengah hati menjawabnya, karena merasa tak enak dengan rekan kerjanya yang satu itu. Sejak masuk pertama ketemu di pool mereka berdua cocok dan aman-aman saja, satunya Batak Karo, satunya Banyumasan. Tapi luwes juga.
***
Ini minggu ketiga ia membawa bus Simon. Kirman merasa sedikit kesal karena janji kerja 10 jam sudah ditambah jadi 12 jam, jadi ia selalu telat pulang.
Setiap pulang istrinya Ambar, pasti duduk di kursi depan rumah menunggunya. Sudah berkali-kali ditegur tapi istrinya bilang, "nggak apa-apa saya nunggu Mas jadi belum mau tidur dulu", katanya selalu.
Setiap pulang, badan pegal semua. Istrinya paham makanya ia tak mau tidur duluan. Â
Maka Kirman tak mau main-main dengan kerjaanya, dengan kepercayaan istri dan anaknya itu. Biasanya ia sudah menghangatkan makanan jika ia tahu suaminya sebentar lagi mau pulang.Â
Meskpun cuma pakai hp  jadul, ia selalu minta kabar supaya ia bisa menyiapkan nasi panas terhidang begitu suaminya pulang dari poll.
Mas mandi dulu, itu ada baju ganti di kursi dekat kamar mandi, sekalian handuknya, kata Ambar dengan nada manis. Kirman hanya mengikut, apalagi badan sudah pegal semua seharian dudk dibelakang kemudi.Â
Sambil lewat dilihatnya di meja, ada sup masih mengepul ayam sisa kemarin, Â baunya harum, jadi ia bergegas mandi.
Tak sampai lima belas menit ia sudah keluar dengan handuk, yang dengan segera disambar istrinya, lantas ia diminta duduk. Kirman masih tercenung, ketika melihat istrinya meletakkan nasi didepannya.Â
Ia masih memikirkan cerita Parijan yang kemarin siang baru kecelakan gara-gara mengantuk dan mobilnya menabrak pembatas jalan. Akibatnya ia kena skorsing, atau kena hukuman lain jika menolak, termasuk dipecat!. Nasib itu bisa saja menimpanya,Â
***
sudah empat tahun dengan teman-temannya Kirman menunggu hasil putusan direksi Busway untuk mengangkat mereka jadi pegawai tetap, tapi tetap saja, mulur janji.Â
Demo kemarin sama sekali tak memberi efek, malah memberi ancaman baru, jangan-jangan yang mengkoordinir dan bicara keras di demo kemarin malah dapat ancaman putus hubungan kerja atau tak diperpanjang lagi kontraknya.
Ia sebenarnya bukan siapa siapa dalam serikat itu, karena ia dulu mantan mahasiswa dan sering demo jalanan, maka ia tak kuat menahan diri ketika mereka demo, jadi ia sempat menyambar mikrofon dan bicara apa adanya tentang nasibnya sendiri. Itu saja!.
Ia lantas melanjutkan makan, karena Surti tiba-tiba datang menyodorkan  minuman hangat. "Diminum Mas, biar nggak masuk angin".
***
Beberapa masalah dirumah kelar dengan bekerja seperti setan itu. 12 jam  sehari, dari pagi ke malam, istirahat sebentar dan lanjut lagi. Belum lagi kalau mumet sedikit.Â
Tapi lama-lama ia merasa tak nyaman juga karena kesehatannya, ia kemarin batuk-batuk, dan meskipun sudah divaksin, ia kena demam ringan juga. Dalam kondisi puyeng ia minta izin, tapi malah cuma dikasih  dua tablet obat paracetamol generik, obat pereda deman dan nyeri, jadi ia paksakan juga bawa bus hari itu.
Tengah hari, pusingnya makin menggila, ia sendirian di bus, jadi ketika jam sibuk ia tak lagi begitu peduli dengan para penumpang. Beberapa penumpang berteriak karena seorang tua yang terlambat masuk hampir kejepit dengan ulahnya.
Tapi apa mau dikata, di bus sebesar itu ia sendirian di jam sibuk pula. Ia tak lagi mengurus, apakah ibu hamil, para tua renta dapat duduk nyaman di tempat bertanda khusus yang tersedia. Toh operator dan manajemen yang buat aturan sendiri.
Ia baru, menaikkan gas ke gigi empat, dan menoleh ketika seorang anak kecil tiba-tiba menangis keras dan menggagetkannya. Ketika berbalik ke depan, dilihatnya seorang pengendara sepeda motor dengan seorang bocah melintas melompat dari pagar Busway, menghindari razia polisi.
Ia segera menarik rem dengan cepat, dan menarik cepat ke arah kiri, menghindari korban, kali ini bus membentur pembatas posko polisi  di pinggiran jalan yang dipenuhi orang lalu lalang yang dengan segera melompat.Â
Ditariknya lagi rem itu dengan lebih kencang, ia hampir terjerembab kedepan , sampai akhirnya bus berhenti menghempas di posko hingga hancur berantakan. Bamper, kaca depan pecah, ia hampir terjepit, kalau tidak cepat menarik badan ke kanan.Â
Beruntung hanya luka ringan. Apes!!.
Ia merasa kepala pusing, dan kemudian tak sadarkan diri. Dalam mimpinya ia sedang dimaki para operator, dan sedang gantian dengan Simon sedang ngelap bus.Â
Ia hampir melompat terjaga, ketika seorang perawat menepuknya. Begitulah resiko bekerja dengan "jam setan",bisa-bisa harus dibayar dengan nyawa, beruntung kali ini cuma luka ringan. Nasibnya bisa saja lebih apes, dan hingga detik ini impiannya jadi pegawai tetap, masih tidak jelas. Beruntung, hari ini cuma busnya yang rusak, lain waktu bisa saja nyawanya yang melayang. Apa aku musti pamit dari Busway?.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H