beritasatu.com
Kondisi ekonomi yang morat-marit selama masa pandemi ternyata menyebabkan orang gelap mata dan bertindak diluar nalar. Meskipun alasannya sangat manusiawi, untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari, tapi mengorbankan kesehatan untuk sesuatu yang sangat berbahaya adalah sebuah tindakah sangat absurd. Tapi apa mau dikata, jika urusan perut tak lagi bisa kompromi.
Bahkan demi bayaran Rp.100.000, sampai Rp. 800.000,- Abdul Rahim (49) rela "menggadaikan" tubuhnya sebagai pengganti penerima dosis vaksin bagi pemesannya. Sehingga 17 kali dosis vaksin jenis Sinovac dan Astrazeneca kini bersarang di tubuhnya.
Peristiwa itu menjadi preseden buruk bagi dunia medis dan program vaksinasi nasional. Kasus ini juga memicu polemik, terutama tentang kepercayaan masyarakat terhadap efektifitas vaksin itu sendiri dan pengawasan Program  Vaksinasi Nasional oleh Pemerintah yang langsung dinilai lemah dan "kebobolan".
Publik juga menilai bahwa kemunculan kasus ini ibarat fenomena gunung es (Iceberg Theory). Ketika sebuah kasus ditemukan, bisa jadi ada kasus serupa yang jumlahnya tidak diketahui dan belum terdeteksi. Hal ini mencuat dalam wawancara langsung dengan Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan (CNN Indonesia; 22/12/2021).
Video Bikin Heboh
Dalam video berdurasi 31 detik yang viral di medsos itu, Senin (20/12/2021), Abdul Rahim, seorang pekerja informal, warga Pinrang, Sulawesi Selatan, dengan santai menceritakan, pengakuannya sebagai joki vaksin (Joksin).
Bahwa dirinya telah melakukan vaksinasi pengganti bagi 14 orang, dengan menerima 17 kali dosis vaksin. Sementara motif Abdul Rahim menggugah videonya, belum diketahui secara pasti.
Sontak pernyataan Abdul Rahim membuat geger medis. Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan, langsung mengerahkan tim ke Kabupaten Pinrang untuk memeriksa kebenaran dari pengakuan Abdul Rahim, sekaligus mengamankan dan meminta kesaksian 4 pengguna jasanya
Bisa jadi kemunculannya di medsos, merupakan modusnya untuk melakukan promosi, atau sekedar tampil tanpa mengetahui konsekuensinya secara hukum. Publik di buat penasaran menunggu hasil penyelidikan pihak kepolisian. Apalagi berkembang informasi jika pelaku, mengalami gangguan mental.Â
Menurut pengakuan Abdul Rahim, ia sebenarnya belum mau berhenti dari profesinya sebagai joksin jika saja tidak ketahuan. Â Dan hanya akan berhenti jika mengalami, muntah-muntah atau sakit jantung atau jika sakitnya parah.
Selama ia melakukan aksinya sebagai penerima vaksin pengganti layaknya "Stunt man", ia mengaku hanya  mengalami gejala pusing dan sedikit lemas. Semuanya di atasi hanya dengan mengandalkan minum air kelapa sebelum dan sesudah vaksinasi.
Padahal begitu banyak orang yang ketakutan terhadap dampak vaksin. Bahkan selama ini menjadi momok bagi sebagian orang, sehingga timbul berita hoaks yang membuat orang enggan melakukan vaksin, padahal kebenarannya belum pasti. Dari satu sisi, kasus Abdul Rahim seolah mementahkan berita hoaks itu sendiri, vaksin yang menakutkan.
Menurut pihak medis, semua masih harus dibuktikan secara medis dengan penyelidikan dan pemeriksaan intensif, mengambil sampel urine dan darah pelaku joksin. Tapi berita yang menyebar dengan cepat, menimbulkan kebingungan yang meluas. Publik kini bertanya-tanya soal efektifitas vaksin dan dampak vaksin terhadap tubuh manusia.
Dampak dan efektifitas vaksin, sebenarnya sangat tergantung pada banyak faktor, seperti komorbid atau penyakit bawaan , dan daya tahan tubuh masing-masing orang. Â Itulah mengapa dalam proses vaksinasi oleh para vaksinator, peserta vaksin harus melalui diagnosa terlebih dahulu.
Hal itu untuk memastikan, apakah seseorang dapat menerima dosis vaksin atau tidak. Jika hasil diagnosa tidak memungkinkan dilakukan vaksinasi, maka vaksinasi akan ditunda hingga pasien sembuh atau dibatalkan dengan dibarengi tindakan preventif medis lainnya dan pengetatan prokes.
Dalam kasus Abdul Rahim  warga pinrang, kita belum mendapat kepastian, apalagi joki vaksin telah melewati standar dosis suntikan vaksin yang masuk ke tubuh. Kini kasus ini dalam pemantauan intensif. Â
Dalam kasus Abdul Rahim belum terlihat dampak apapun. Efek vaksin juga dipengaruhi oleh jenis vaksin, usia dan komorbid orang yang menerima suntikan vaksin. Sejauh ini belum pernah ada uji klinis yang secara spesifik menyuntikkan 16 dosis vaksin Covid ke tubuh manusia.
Apalagi penyuntikan itu terjadi, dalam rentang dua-tiga kali sehari.Tes awal yang dilakukan, menelusuri kebenaran pernyataan joki vaksin itu dan efek yang ditimbulkan terhadap tubuhnya setelah menjalankan suntikan 15 dosis pertama dan dosis kedua  dosis dari vaksin jenis Sinovac dan Astrazeneca. Apakah ini juga berkaitan dengan jenis vaksin yang digunakan.
Publik Dalam Dilema
Indonesia memang unik, bahkan vaksin saja ada jokinya. Motif orang menggunakan jasanya juga cukup sederhana. Selain karena komorbid, penyakit bawaan, tryphopobhia (Ketakutan pada jarum suntik), dan korban hoaks yang akut. Â Pengguna Joki vaksin covid-19 ada yang mengakui karena komorbit (ambien, darah tinggi, dan sakit punggung).
Namun secara umum, karena kebutuhan formalitas dari instansi di mana pekerja bernaung, yang mengharuskan seorang pegawai, atau pekerjanya wajib vaksin sebagai prasyarat perpanjangan kontrak atau ketentuan aagar dapat tetap bekerja.
Ada tiga pertanyaan penting yang menguat di ruang publik berkaitan dengan fenomena tersebut.
Pertama; Pertanyaan publik terkait dampak dan efektifitas vaksin bagi upaya pencegahan covid-19. Apakah ada perbedaan dampak antara masing-masing jenis vaksin yang berbeda. Karena dalam pelaksanaan vaksin di Indonesia, pemerintah menggunakan 11 jenis vaksin. Meliputi; Sinovac,Vaksin Covid-19 Bio Farma, AstraZeneca, Sinopharm, Moderna, Pfizer, Sputnik V, Janssen, Convidecia, Vaksin Zifivax ,Vaksin Covova
Kedua;Bagaimana dampaknya bagi kesehatan orang yang mendapat dosis melebihi jumlah normal. Apakah akan berdampak buruk menyebabkan kematian atau cacat, atau gangguan pada tubuhnya?.
Ketiga; Sistem Pengawasan yang kendor; Kasus Joksin, menjadi semacam pembuktian, bahwa kemungkinan sistem pengawasan dalam program vaksin dianggap masih lemah dan bisa kebobolan. Apalagi dalam program vaksinasi massal yang begitu intensif, yang berpeluang "menyumbang" munculnya blunder kasus joksin.
Meskipun harus dipertimbangkan juga, seperti dituturkan  pelaku Joksin Abdul Rahim, bahwa dalam melakukan tindakannya ia memang menjalankan modus layaknya pelaku "penipuan".
Memilih pusat vaksinasi yang berbeda-beda. Dari 17 kali dosis vaksin yang diterimanya dalam kurun waktu 3 bulan, Â ia melakukannya di 5 pusat vaksin massal yang berbeda. Â Pemilihan tempat yang berpindah, adalah caranya mengelabui petugas, sekalipun ia terkadang tidak mengenakan masker saat beroperasi.
Berdasarkan pengakuan 9 orang saksi, ke 17 orang itu berbeda-beda profesi, namun seumuran dengannya, sehingga menyulitkan petugas untuk mendeteksi secara jeli. Apalagi ia memanfaatkan situasi crowded, situasi ramai dalam program vaksinasi massal. Bahkan ketika ia menyodorkan KTP dari pelanggan yang menggunakan jasanya, petugas juga tidak merasa curiga.
Kini yang justru menjadi kekuatiran besar adalah, para pengguna jasa joksin, yang ternyata adalah pegawai aktif dan memiliki mobilitas tinggi hingga keluar dari propinsi, dengan membawa sertifikat vaksin palsu.
Dalam kondisi belum divaksin, jika terjangkit pandemi, akan sangat berbahaya bagi orang yang melakukan kontak dengannya. Tindakan tersebut juga berbahaya bagi keluarga dan lingkungan sekitar para pemakai jasa joksin.
Lantas bagaimana  informasi keberadaan joksin bisa ditemukan oleh ke-17 orang tersebut?. Menurut pengakuan joksin, para penggunanya, menemukan informasi mouth by mouth, informasi menyebar dari mulut ke mulut. Jadi tidak menggunakan media khusus. Awalnya, Abdul Rahim menerima tawaran dari beberapa kenalannya untuk digantikan di vaksin.
Sejak saat itu, pelaku juga kemudian menawarkan diri untuk menggantikan vaksin bagi yang membutuhkan. Rata-rata ke 14 orang tersebut adalah kenalan Abdul Rahim yang berada di lingkungan rumahnya.
Pengawasan Lemah?
Melihat pola yang digunakan Abdul Rahim, memang ditujukan mengelabui petugas, pengawasan menjadi sebuah titik lemah yang selama ini, ternyata tidak begitu ketat. Apalagi ketika kita tengah mendorong program vaksinasi yang masif.
Semakin banyak masyarakat yang datang dan bersedia divaksin tentu menjadi keuntungan besar bagi keberhasilan program ini. Namun justru dalam sikon inilah blunder itu dimanfaatkan pelaku joksin.
Pengalaman penulis ketika melakukan vaksin di pusat Vaksinasi propinsi, juga berada dalam situasi ramai, karena dilakukan secara massal. Pendaftaran melalui online, kemudian peserta vaksin di arahkan pada sesi dan jam tertentu untuk memecah konsentrasi antrian.
Jadi meskipun kita mendaftar menggunakan gadget teman, tetap saja KTP dan identitas lain membantu mendeteksi kita sebagai peserta vaksin. Namun jika sedari awal modus penipuan dilakukan oleh si pelaku, mungkin pengawasan ketatpun bisa ditembus.
Bagaimanapun kasus ini harus menjadi perhatian intens oleh pemerintah. Agar dosis vaksin yang jumlah terbatas di satu tempat tidak tersia-sia oleh kasus seperti ini. Konon lagi jika kelak ditemukan, bahwa ternyata joksin ini adalah sebuah fenomena biasa, seperti orang mengikuti UMPTN dengan jasa joki dan bisa lulus karena lucky.
Peristiwa ini juga memnjadi preseden buruk yang dapat menghilangkan  kepercayaan masyarakat terhadap efektifitas vaksin. Meskipun sekali harus di garis bawahi bahwa efektifitas vaksin juga di pengaruhi banyak faktor.
Bisa jadi Abdul Rahim adalah, sample kasus orang yang bisa tahan, namun setelah melalui penelitian intensif dan pengamatan untuk jangka waktu lama, bisa jadi efeknya baru akan terasa. Jadi kasus ini masih harus melalui fase pembuktian yang membutuhkan waktu.
Seperti muncul dalam diskusi CNN Indonesia, (22/12/21), pihak pemerintah juga tidak mau disalahkan atau dianggap lalai dengan kejadian ini, karena jelas pelakunya menggunakan modus untuk mengelabui.
Berikutnya tugas pemerintah yang urgen dalam menangani kasus ini adalah menjadikan joksin Abdul Rahim, sebagai sample-penelitian efektifitas vaksin, dampaknya terhadap tubuh dalam kasus over dosis, dampak jenis vaksin tertentu terhadap tubuh, dampak vaksin terhadap daya tubuh tertentu.
Medis juga harus memastikan bagaimana kondisi kesehatan joksin Abdul Rahim, apakah ada imunitas tertentu yang dimilikinya, termasuk efek minum air kelapa sebagai penangkal dampak sebelum dan sesudah vaksin.
Langkah lain sebagai antisipasi berulangnya kasus, adalah pengawasan yang lebih intensif oleh vaksinator dalam pelaksanaan program vaksinasi di lapangan. Semisal dengan melakukan wawancara dan pemeriksaan singkat.
Karena pengalaman saya, di tingkat puskesmas saja, ketika saya mengantar teman untuk vaksin, ada sedikit wawancara, termasUk pertanyaan apa aktifitas terakhir, bekerja dimana, ada kunjungan ke luar kota, dan terakhir termasuk juga check up singkat.
Ketika terbukti teman saya itu tidak fit, maka petugas puskesmas merekomendasikan penjadwalan ulang.
Pemerintah juga harus mendorong lebih itensif edukasi tentang konsekuensi kesehatan tentang pantingnya vaksin, dan kali ini harus ditambah, edukasi tentang konsekuensi hukum jika melakukan, tindakan layaknya joksin.
Namun kekuatiran yang timbul, jika informasi ini justru disalahpahami oleh mereka yang sedang kesulitan ekonomi dan justru akan lebih banyak lagi Abdul Rahim-Abdul Rahim lain yang menggadaikan tubuhnya demi duit cepat.
Ini menjadi pekerjaan rumah bagi Pemerintah untuk mengevaluasi kembali tata laksana dalam Program vaksinasi nasional, agar blunder ini tidak mencoreng nama baik negara juga. Siapa tahu ada pihak lain yang mulai "kasak kusuk" mencari tahu mengapa Indonesia berhasil program vaksinasinya. Apalgi jika kita tidak melakukan tindakan preventif yang bisa dibuktikan secara sistem dengan indikator-indikator yang terukur dan dapat dideteksi.
Program Intensif Vaksinasi Lebih Hati-Hati
Kasus kemunculan joksin, bisa jadi juga dipicu masifnya program vaksinasi secara nasional, terutama harapan untuk pencapaian yang optimal. Dalam urusan vaksinasi, Indonesia terbilang negara yang berhasil dalam pelaksanaan pemulihan covid-19.
Posisi Indonesia lebih baik diantara negara-negara yang tergabung dalam  WHO SEARO atau World Health Organization South-East Asia Regional Office (WHO SEARO), yaitu Bangladesh, Bhutan, The Democratic People Republic of Korea, India, Maldives, Myanmar, Nepal, Sri Lanka, Thailand, Timor-Leste dan Indonesia. World Health Organization (WHO) bahkan memuji capaian program vaksinasi nasional yang sangat masif tersebut.
Dalam pertemuan G20, Menkes menyampaikan bahwa Indonesia telah menyuntikkan 108 juta dosis vaksin kepad 69 juta orang. Untuk ketersediaan vaksin, saat ini Indonesia telah mendapat pasokan 11,7 juta vaksin tambahan untuk vaksinasi tahap ke-2.
Menurut Kementerian Kesehatan, pemerintah tahun ini menargetkan pengamanan 340,5 juta dosis vaksin dari lima merek, yakni Sinovac (125,5 juta), AstraZeneca (59 juta), Covax (54 juta), Novavax (52 juta), dan Pfizer (50 juta).
Hingga kuartal I-2022, diharapkan ada tambahan 86,3 juta dosis vaksin dari kelima produsen tersebut. Total jumlah vaksin sebagai pengaman diharapkan akan terkumpul 426,8 juta dosis vaksin untuk diberikan kepada 260 juta penduduk Indonesia.
Capaian itu tentu saja berkat Intensifnya Program Vaksinasi Nasional kita, sebagaimana sering kita lihat, berkali-kali iklan pariwara menayangkan harapan Presiden Joko Widodo, agar masyarakat Indonesia waspada dengan kehadiran varian Omicron.
Gelombang ketiga pandemi Covid-19 yang bisa bermutasi berkali-kali dan dianggap virus bandel, dengan kampanye jangan kendor menggunakan masker dan melakukan vaksinasi.
Kita harus lebih waspada karena virus covid-19 terus bermutasi, dan semakin memuncak paska berkembangnya Omicron. Omicron adalah generasi kesekian sejak ditemukan pada tahun 1960-an. Coronavirus telah berkembang pesat, tahapan mutasinya;
HCoV-229E (alpha coronavirus) adalah generasi awal (1960-an), HCoV-NL63 (alpha coronavirus -2004), HCoV-OC43 (beta coronavirus-1967), HCoV-HKU1 (beta coronavirus-2005), SARS-CoV (beta coronavirus Severe Acute Respitory Syndrome-2003), MERS-CoV (beta coronavirus Middle East Respiratory Syndrome-2012) dan 2019-nCoV/SAR-CoV-2 (novel coronavirus), dan kini Omicron. (kompas.id)
Meskipun covid-19 memiliki kategori  ringan, sedang dan tinggi, dengan efek dan penanganan berbeda, namun solusi preventif yang ditempuhnya sama. Selain menggunakan masker, menjaga jarak juga melakukan vaksinasi.
Dua solusi pertama sangat tergantung pada inisiatif dan pemahaman yang baik, sehingga masker dan social distancing  banyak dipilih, namun juga banyak dilanggar.
Sedangkan solusi vaksinasi dapat memberi perlindungan atau imunitas yang lebih fleksibel dan lebih permanen dibandingkan solusi lainnya, apalagi di lingkungan sekolah, sehingga dianggap solusi yang paling efektif memutus mata rantai penyebaran covid-19.Vaksinasi menjadi basis penguatan kelompok (Herd Immunity) terhadap klaster-klaster yang dianggap dapat menjadi pemicu meluasnya penyebaran covid-19.
Namun menariknya Ketua Komisi Nasional Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (Komnas KIPI) Hindra Irawan Satari mengatakan tidak ada efek berbahaya untuk tubuh seseorang yang menjadi joki vaksin. Bahkan Hindra menambahkan, seseorang yang disuntik vaksin berkali-kali justru akan sia-sia saja. Sebab, antibodi sudah terbentuk setelah dua kali vaksinasi. Antibodi seseorang akan menurun setelah enam bulan menerima vaksin terakhir. Oleh karena itu, pemberian booster atau suntikkan ketiga dianjurkan setelah enam bulan dari vaksinasi dasar.
Meskipun pernyataan itu bisa dipertanggungjawabkan, namun informasi itu dapat disalahgunakan oleh oknum joksin dan dapat memicu kemunculan joksin-joksin baru. Solusi paling substansial dari kejadian itu adalah, bagaimana pemerintah dapat mencegah terulangnya kasus yang sama, agar tidak menjadi preseden buruk bagi suksesnya program vaksinasi nasional kita.
Referensi; 1, 2, 3
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H