Indonesia memang unik, bahkan vaksin saja ada jokinya. Motif orang menggunakan jasanya juga cukup sederhana. Selain karena komorbid, penyakit bawaan, tryphopobhia (Ketakutan pada jarum suntik), dan korban hoaks yang akut. Â Pengguna Joki vaksin covid-19 ada yang mengakui karena komorbit (ambien, darah tinggi, dan sakit punggung).
Namun secara umum, karena kebutuhan formalitas dari instansi di mana pekerja bernaung, yang mengharuskan seorang pegawai, atau pekerjanya wajib vaksin sebagai prasyarat perpanjangan kontrak atau ketentuan aagar dapat tetap bekerja.
Ada tiga pertanyaan penting yang menguat di ruang publik berkaitan dengan fenomena tersebut.
Pertama; Pertanyaan publik terkait dampak dan efektifitas vaksin bagi upaya pencegahan covid-19. Apakah ada perbedaan dampak antara masing-masing jenis vaksin yang berbeda. Karena dalam pelaksanaan vaksin di Indonesia, pemerintah menggunakan 11 jenis vaksin. Meliputi; Sinovac,Vaksin Covid-19 Bio Farma, AstraZeneca, Sinopharm, Moderna, Pfizer, Sputnik V, Janssen, Convidecia, Vaksin Zifivax ,Vaksin Covova
Kedua;Bagaimana dampaknya bagi kesehatan orang yang mendapat dosis melebihi jumlah normal. Apakah akan berdampak buruk menyebabkan kematian atau cacat, atau gangguan pada tubuhnya?.
Ketiga; Sistem Pengawasan yang kendor; Kasus Joksin, menjadi semacam pembuktian, bahwa kemungkinan sistem pengawasan dalam program vaksin dianggap masih lemah dan bisa kebobolan. Apalagi dalam program vaksinasi massal yang begitu intensif, yang berpeluang "menyumbang" munculnya blunder kasus joksin.
Meskipun harus dipertimbangkan juga, seperti dituturkan  pelaku Joksin Abdul Rahim, bahwa dalam melakukan tindakannya ia memang menjalankan modus layaknya pelaku "penipuan".
Memilih pusat vaksinasi yang berbeda-beda. Dari 17 kali dosis vaksin yang diterimanya dalam kurun waktu 3 bulan, Â ia melakukannya di 5 pusat vaksin massal yang berbeda. Â Pemilihan tempat yang berpindah, adalah caranya mengelabui petugas, sekalipun ia terkadang tidak mengenakan masker saat beroperasi.
Berdasarkan pengakuan 9 orang saksi, ke 17 orang itu berbeda-beda profesi, namun seumuran dengannya, sehingga menyulitkan petugas untuk mendeteksi secara jeli. Apalagi ia memanfaatkan situasi crowded, situasi ramai dalam program vaksinasi massal. Bahkan ketika ia menyodorkan KTP dari pelanggan yang menggunakan jasanya, petugas juga tidak merasa curiga.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!